Kwang menggantikan Wijaya dan Lev untuk berjaga ketika matahari sudah terbit. Dia mengatakan bahwa dia juga perlu memeriksa sekitar untuk mencari informasi.
Wijaya memarkir subutai di antara nesti dan ZHY di bagian dalam celah tebing. Kwang memutuskan untuk berkeliaran tanpa ZHY. Mungkin untuk menghindar risiko ketahuan.
Bunyi bagai besi panas dicelupkan ke air berdengung di dalam kokpit saat penutup kokpit Subutai membuka. Wijaya membuka laci kecil di bagian bawah kursinya dan mengambil sebuah kantong tidur. Dia bersyukur mulut tebing ini menghadap barat laut, setidaknya sinar matahari di luar sana belum cukup terang untuk menyilaukan matanya.
Semerbak bau embun pagi menyapa Wijaya saat dia meraih pegangan kecil berbentuk lingkaran di sisi kanan penutup kokpit. Dia lalu melompat turun dari subutai sambil bergelantungan pada tali metal yang muncul saat pegangan tersebut ditarik.
Wijaya sendiri tidak langsung istirahat. Dia menyempatkan diri mencoba memikirkan cara memperbaiki bahu kiri subutai yang rusak. Menurut Win dan Lev, hal itu mustahil dilakukan karena kerusakannya cukup parah dan subutai perlu lengan baru.
Win, masih tersenyum seperti biasanya, hanya berdecak, "Seharusnya Sawamura ikut kita ke lapangan daripada disuruh menemani Pak Tua. Kita perlu kemampuan 'sihir'-nya."
"Cih," Lev mendengus sambil menyiapkan kantung tidurnya. "Dan dia akan memaksa kita membayar agar dia melakukan hal yang memang seharusnya jadi tugasnya itu."
"Lalu kau ada cara untuk memperbaiki benda ini?" tanya Win dan Wijaya bersamaan.
"Las saja dan kunci posisi sendinya," gerutu Lev. "Jangan minta aku melakukannya, aku mau tidur."
Wijaya dan Win hanya bisa memandang datar pada Lev yang meringkuk di balik batu tanpa memedulikan rekan-rekannya.
"Kau punya las yang cukup besar?" tanya Wijaya pada Win.
"Memangnya kau mengerti yang dimaksud Lev dan cara melakukannya?"
"Tentu saja tidak."
"Sudah kuduga. Sana tidur, aku saja yang kerjakan, seharusnya ada las besar di kotak perkakas nesti, harusnya jiangdong-ku bis....."
Win menghentikan kata-katanya. Dia menyikut Wijaya lalu dengan diam-diam menunjuk pada Yon. Rekan mereka yang pendiam itu tampak memandangi bahu kiri subutai dengan serius walau matanya masih tampak kosong.
Yon lalu menepukkan tangannya sekali, gestur yang membuat Win dan Wijaya sama-sama tersentak. Dia lalu menoleh pada Wijaya dan tersenyum. Dia berlari ke T-11 dan mulai menyalakan stielkrugernya itu. Dengan manis, sebelum menutup kokpit, Yon memberi isyarat agar Wijaya dan Win menyingkir.
T-11 bergerak ke depan subutai dan menjulurkan tangannya agar berada tepat di depan bahu subutai. Yon kembali membuka kokpit, keluar dengan membawa sekotak perkakas, lalu memulai perbaikan ke bahu subutai.
"Aku tidak tahu kalau Yon itu juga mekanik handal," komentar Wijaya.
"Aku tidak tahu kalau Yon menyukaimu."
"Ha, apa?" Wijaya mengernyit pada Win.
Sembari menunjuk Yon, Win mendesis setengah berbisik, "Enam bulan kita kenal dia, ini pertama kalinya dia mengurus stielkruger orang lain."
"Aku kira dia memang tidak bisa mengurus stielkruger, seperti aku."
"Wijaya, dia dari kelompok militan di Semenanjung Daehan, dia pasti bisa mengurus stielkrugernya sendiri. Kau lupa dia dulu melawan kita menggunakan stielkruger ala kadarnya yang penuh tambalan dan suku cadang dari berbagai macam stielkruger?"
Wijaya mengangkat bahu, "Maksudku, bisa saja orang lain yang mengerjakannya."
"Terserah, tapi bukti berkata berbeda sekarang."
Wijaya mengangguk. Kata-kata Win terdengar ada benarnya. Memang, selama ini Wijaya kurang banyak memerhatikan rekan terbarunya itu. Namun, hal yang terpenting adalah Yon sudah mau mengulurkan tangan tanpa diminta maupun memprotes.
"Terima kasih, Yon," Wijaya melambaikan tangannya.
Yon berhenti mengelas, lalu membuka topeng las. Dia tersenyum kecil pada Wijaya.
"Nanti kutraktir kau makan setelah misi selesai," lanjut Wijaya.
Yon mengangguk dan tersenyum manis sampai matanya menutup. "Es krim vanilla," katanya singkat sebelum melanjutkan perbaikan.
Kalau Wijaya tidak salah ingat, ini sepertinya pertama kalinya Wijaya mendengar Yon berbicara selain saat memperkenalkan dirinya beberapa bulan lalu. Saat itupun Yon hanya menyebutkan nama dan stielkruger yang akan dia gunakan.
Anak yang aneh.
Wijaya berjalan melewati Win yang tampak begitu terguncang mendengar Yon berbicara. Tanpa banyak pikir panjang dia masuk ke kantong tidur dan terlelap tidak lama kemudian.
***
Tujuh bulan yang lalu, operasi di Semenanjung Daehan.
Wijaya masih relatif baru di regu Vrka, tetapi dia sudah mulai terbiasa dengan posisinya. Memberikan perlindungan dari jauh dengan melumpuhkan lawan-lawan yang mengancam anggota regunya.
Semua bisa dia lakukan dengan lancar, kecuali pada satu target. Sudah dua kali pertempuran mereka berhasil dikacaukan oleh satu orang pilot dengan stielkruger tua.
Aneh memang, satu stielkruger bisa dengan lincah bergerak di medan tempur memanfaatkan puing-puing bangunan dan kondisi alam untuk merepotkan satu regu khusus stielkruger.
Dari informasi yang mereka dapatkan, dan yang Wijaya lihat sendiri, stielkruger yang dikendalikan pilot itu bergerak bagai benda mati yang dirasuki roh halus. Orang lokal memanggilnya sebagai 'dokkaebi'.
[Cih, iblis itu lagi! Bagaimana mungkin dia bisa bergerak selihai itu dalam hujan deras macam ini?]
Lev berseru kesal diikuti protes serupa dari regu Vrka. Hanya Boris dan Kwang yang masih tidak banyak berkomentar.
Wijaya menarik napas dalam. Dua kali sudah dia gagal menjatuhkan dokkaebi itu. Di pertarungan penentu kali ini, dia tidak boleh kalah. Keberhasilan misi mereka menjadi taruhannya.
Deru angin dan deras hujan menerpa wajah Wijaya melalui bagian depan kokpit yang terbuka. Sawamura pasti memarahinya nanti karena membuat kokpit subutai basah, tetapi Wijaya tidak perlu memedulikan itu. Hal yang perlu dia pedulikan hanyalah melumpuhkan mangsa.
[Wijaya, aku ingin dia hidup-hidup.]
[Hidup-hidup? Pak tua, kau sudah gila, ya?]
[Aku tidak mau bakat sehebat itu terbuang sia-sia, Lev.]
"Aku mengerti," jawab Wijaya singkat.
[Kau benar-benar mau melakukan perintah sinting ini?]
[Tutup mulutmu, Lev. Dia perlu berkonsentrasi.]
[Jangan sok memimpin kau, mata-mata. Aku masih wakil ketua regu ini.]
Pembicaraan rekan-rekan satu regunya mengabur. Napas Wijaya melambat. Mata sang penembak runduk membuka lebar. Dia memerhatikan setiap gerak-gerik targetnya dengan seksama dari senapan pembidik pada kokpitnya.
Tidak ada pola tertentu yang dilakukan dokkaebi. Gerakannya begitu buas dan mematikan bagai seorang kesatria dadakan yang terlatih di alam liar. Percuma mengikuti atau berusaha memprediksi gerakannya. Jika dokkaebi bertarung menggunakan insting, maka Wijaya juga.
Wijaya menarik napas dalam, menahan napas, memantapkan bidikan, lalu menarik pelatuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stielkruger: Re-Mission
ActionPer 18 Mei 2020, Semua chapter sebelumnya di unpublish dan cerita dilakukan perombakan. Setahun berlalu semenjak Wijaya, seorang penembak runduk dari Nusa Antara, bergabung dengan regu khusus stielkruger bernama Vrka. Mereka kini ditugaskan untuk m...