Bagian - 20

555 23 7
                                    

Apa yang lebih mengerikan daripada mimpi buruk yang menjadi kenyataan?

Hampir satu jam Devi berdiri di depan ruangan berkaca itu. Hanya berdiri, diam menyaksikan dari balik benda bening sang adik kecil—yang tentu sekarang sudah tidak kecil lagi—terbaring dengan sekian banyak alat-alat medis terpasang di tubuh kurusnya.

Devi hanya tidak percaya. Devan yang biasanya selalu punya seribu ide usil untuk menjahilinya kini terbaring ringkih di ruangan ICCU. Belum juga membuka mata. Bahkan Dokter Kevin pun tak dapat memastikan kapan Devan akan memperoleh kembali kesadarannya.

Pening.

Devi membalikkan badan. Pikirannya mulai tak karuan. Gadis itu tak ingin membayangkan skenario terburuk yang berpotensi terjadi. Namun, ia harus mulai mempersiapkan diri.

Ingatannya kembali melayang pada kejadian beberapa hari lalu. Ketika Devan tampak baik-baik saja bergurau bersamanya, sekian detik kemudian laki-laki itu bertarung dengan kesakitan luar biasa. Ingin sekali Devi melupakan bagaimana ekspresi Devan kala itu. Hati Devi terlalu sakit menyaksikan saudara satu-satunya yang ia punya harus menderita seperti itu.

Devi meringsut bersandar pada dinding luar ICCU. Air matanya yang baru mengering kembali menetes ketika ponsel milik Devan yang ada di kantong jaketnya bergetar.

Anne Cantik is calling ...

Devi menggigit bibir. Dilema kembali menerpanya.

Haruskah ia mengangkat telepon Anne dan menceritakan semuanya?

Atau seperti yang sudah-sudah, ia hanya akan mengabaikan gadis itu, sekadar membalas seadanya jika memang Anne membombardir room chat.

"Dek, bangun ... kamu dicariin Anne ..." gumam Devi dengan suara lirih.

Gadis itu pun kembali menyembunyikan wajah di balik tangan. Membiarkan segenap kesedihan kembali menguasai, sebab ia tak tahu harus merasakan apa lagi selain sedih. Meminta izin beberapa menit saja kepada waktu agar memperbolehkannya menangis sepuas hati.

Anne mengomel tanpa henti. Lagi, Devan tidak mengangkat panggilannya. Jam istirahat pertama baru dimulai, tapi Anne sudah sangat malas. Absennya Devan dari kelas beberapa hari ini membuat suasana hati Anne jadi buruk seburuk-buruknya. Belum lagi Devan yang mengabaikan pesan dan tak mengangkat telepon sama sekali. Anne makin kesal, flashdisk titipan Arka bahkan belum sempat ia berikan.

"Anne, ada waktu?"

Sebuah suara membuat Anne yang sebelumnya menelungkupkan wajah di atas meja mengangkat kepala dengan enggan. Namun, ia gelagapan begitu melihat siapa yang berdiri di hadapannya.


"Kak Leon."

Leon hanya tersenyum melihat Anne yang tampak kusut. Ia duduk di bangku kosong depan Anne dan mengamati gadis itu lekat-lekat.

"Kenapa, An? Keliatannya lagi bad mood gitu."

"Devan itu tuh, Kak, ngeselin banget. Masih nggak ada kabar, ngilang gitu aja. Ke mana sih ini anak?!" gerutu Anne.

Elegi Sebuah Pagi (On-Revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang