Trauma *Flashback*

170 12 0
                                    

"Allah ingin membentuk punggung mu menjadi punggung yang kuat dengan masalah yg di berikan padamu"
~Ayu.Az~

.
Happy Reading...
.

"Cukup buk!, cukup!?" teriakan ayah dari ruang makan menghentikan langkahku dan mematung di balik tembok menuju kearah dapur.

Sebenarnya bukan hanya saat ini, aku sudah sering mendengar pertengkaran antara ayah dan Mama, sejak SD mungkin, lebih tepatnya sejak aku kecil.

Saat Ayah dan Mama bertengkar Aku selalu bersembunyi di kamar dan hanya samar2 terdengar suara mereka.

Tapi saat ini ada yg berbeda, kalau biasanya Nenek -Ibunya Mama- menjadi pendengar dan penengah saat Ayah dan Mama bertengkar, kali ini justru Ayah melampiaskan emosinya yang memuncak kepada Nenek.

Aku bingung, aku mematung mendengar isakan Nenek yang menyayat.

"Tapi nak.." ucap Nenek dengan isakannya yang tidak dapat di tahan.

"Cukup, aku sudah muak dengan semua ini, aku.." sebelum Ayah menyelesaikan kalimatnya, aku berlari meninggalkan Rumah.

Bukan, bukan kabur, tapi pergi kesekolah.

Hari ini adalah hari ujianku, selain pertengkaran dirumah, yang membuatku semakin kesal yaitu ujian hari ini adalah matematika.

Harusnya Aku mencium tangan Mama sebelum pergi ke sekolah, salah satu kebiasaan ku jika pergi keluar tanpa Mama.

Segala sesuatu yang menantiku diluar sana akan aku hadapi dengan tenang karena mencium tangan Mama, tapi karena masalah pertengkaran itu hariku menjadi buruk.

Terlebih lagi aku hanya bisa menjawab sebagian kecil soal dari jumlah keseluruhan 50 soal, padahal aku sudah belajar dengan sungguh-sungguh tapi hatiku sakit dan rasanya tidak sanggup memikirkan hal lain selain tangisan Nenek yang ku dengar pagi tadi.

Aku meninggalkan kelas lebih dulu dan berlari menuju toilet.

Entahlah, entah apa yang ingin ku tangisi,
yang jelas hatiku sakit.

Bahkan candaan teman-teman ku untuk menghiburku pun rasanya tidak berarti, hatiku tetap sakit.

Kenapa mereka sering kali bertengkar?
Apa yg salah?
Kenapa mereka menikah jika hanya ingin bertengkar?

Aku hanya ingin hidup seperti teman-temanku, tidak mengharapkan lebih.

Aku berharap tidak terjadi apa-apa dengan Nenek, walaupun ayah kasar saat marah, aku tau dia tidak pernah main tangan, tapi dia melampiaskannya kepada barang-barang terdekatnya. Seperti telphone genggam atau pintu kamar.

***

Saat aku pulang kerumah Ayah sudah tidak ada, bahkan sampai esok harinya pun Ayah tidak ada dirumah.

Salah satu kebiasaan Ayah jika bertengkar adalah pergi keluar kota dan meninggalkan rumah, dan baru akan pulang jika Mama menjemputnya.
Hal ini sudah terjadi berulang kali.

Aku memutuskan mencari Ayah kerumah Ibunya, letaknya tidak jauh, hanya 11 km dari rumah.

Yah tidak ada yang spesial yang ku dapatkan, justru ucapan-ucapan buruk mengenai Mama yang ku dapat dari keluarga Ayah.

Tak berselang lama, satu persatu keluarga Ayah meninggalkan ku sendirian di ruang tamu, karena merasa di tinggalkan aku pun berjalan keruangan lain di rumah nenek dan  ternyata mereka berkumpul di meja makan.

Aku tersentak, tak tau bagaimana tiba-tiba saja air mataku jatuh saat aku mendengar suara Ayah dari telephone yanh di loudspeaker.

"Iya, anakmu Syaima datang kerumah" kata Nenek.

"Tapi dia gak taukan kalau Umar menghubungi?" Tanya Ayah.

"Eggk, udahlah biarin, dia masih kecil gak tau apa-apa" jawab Nenek.

Aku tersenyum, lebih tepatnya tersenyum atas kepahitan yang ku terima.

Bagaimana bisa mereka meninggalkanku sendiri di depan, sedangkan mereka berkumpul dan berbincang dengan Ayah via tlfn?

"Sungguh, keluarga yg ajaib"

Aku berjalan pelan meninggalkan Rumah orang yang aku anggap keluargaku, yang aku anggap menyayangiku.

Tapi mereka malah mendukung memisahkan Ayah dari anaknya?

Aku menghentikan sepeda motorku di sebuah taman yang tidak terlalu ramai, aku menghabiskan setengah hariku dengan terus menangis di sudut taman yang sunyi.

Yups!
Menangisi nasib burukku!?

"Mama... Syaima sakit Ma..Syaima sakit..
Kenapa orang yang Syaima sayang malah jahatin Syaima... kenapa?
Syaima salah apa sama mereka?"

Sambil menekan dadaku yang terasa begitu sakit, aku menumpahkan air mataku dengan derasnya.

"Orang bilang, Ayah adalah cinta pertama putrinya, cinta sejati putrinya, apa cinta itu selalu berakhir sakit walapun dengan keluarga sendiri?"

Aku terisak semakin kuat

"Kenapa Tuhan!? Kenapaa!?"

"Aku benci ini, aku benci orang-orang munafik itu, aku benci !? aku benci!?"
Teriakku tertahan, seandainya ada tempat untukku agar bebas berteriak, rasanya ingin sekali aku datang kesana.

***

Please! Jangan Lari (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang