Part 4

18 12 0
                                    

Di kantor, pemegang uang kas sudah pasti Mbak Melyssa. Yang bertugas nagih si Friska. Kalo ada yang tanya kenapa mereka yang dipilih, udah pasti karena sama-sama galak. Si Friska ini selain galak dalam nagih uang kas, dia juga udah seperti infotainment berjalan. Buat yang terpaksa berangkat pagi-pagi ke kantor dan nggak sempat nonton tayangan infotainment, nggak perlu repot-repot, cukup nyamperin mejanya lalu bertanya gosip terhangat, si Friska pasti tahu.

Selain hafal artis-artis infotainment, Friska juga hapal jalan-jalan di kota ini. Padahal dia bukan asli sini. Dia baru tinggal di sini sejak mulai bekerja. Saking hapalnya sama jalanan, gue curiga kalau dia sempat jadi kenek Metro Mini. Gue yang besar di sini aja cuma hapal jalan dari rumah ke kantor dan sebaliknya. Jadi gak heran kalau gue dan teman yang lain yang bukan asli sini menggunakan jasanya dia sebagai peta berjalan atau bahkan cukup telepon dia, maka dia akan membimbing ke jalan yang benar.

Hal ini berbeda ketika gue udah kenal yang namanya GPS. Suatu ketika, gue mau ke suatu daerah. Dengan kepercayaan penuh, gue gantungkan nasib perjalanan gue pada sang GPS. Hingga pada suatu titik si GPS nyuruh gue belok kiri padahal saat itu gue lagi di atas jembatan yang jalannya benar-benar lurus. Terus belok ke kiri dari mana? Kepala gue pun dengan bingungnya menoleh. Ternyata sebelah kiri yang dimaksud berada nun jauh di bawah sana. Sejak saat itu gue berkesimpulan, selain petunjuk jalan, GPS juga bermanfaat buat penunjuk cepat menuju kuburan.

***

Di ruangan gue, kaum hawanya memang sedikit. Namun di ruangan yang lain, kaum hawanya ada banyak. Jadi kalau gue mau ngerumpi biasanya harus berkeliling ke ruangan-ruangan lain. Tinggal cari yang lagi ngerubung sambil menggelar makanan. Lumayan bantuin ngabisin camilan orang.

Bisa ditebak sih, cewek-cewek yang sedang berkerumun itu, kalau nggak lagi rujakan atau buka oleh-oleh dari orang yang tugas ke luar kota, pasti lagu jualan. Iya, rata-rata mereka punya usaha sampingan sendiri. Seperti Mbak Eka, jualannya Tupperware. Gue sempet beli dagangannya dengan iming-iming diskon 25% padahal nggak tahu mau dipakai untuk apa.

Ada lagi si Karla, jualannya makanan ringan kayak kripik singkong, kacang atom, dan banyak lagi. Saking banyaknya dia sampai bikin katalog.

Mbak Tina beda lagi. Dia spesialisasi produk sandang. Apa aja ada. Mulai dari kaos, kemeja, celana, rok, sampai pakaian dalam juga ada.

Ada lagi satu. Bu Juli. Jualannya unik, semuanya ada. Tinggal pesan lalu sebutin spesifikasinya, besoknya itu barang udah ada di meja. Mulai dari payung otomatis, jas hujan, sampai pot kembang dari plastik yang ditaruh di dashboard mobil dan goyang-goyang sendiri kalau kena sinar matahari.

#####

Kalau hasil survei menyimpulkan bahwa jumlah laki-laki di dunia lebih sedikit daripada perempuan, tapi di kantor gue justru keebalikannya. Akibatnya, pergi tugas ke luar kota bareng-bareng cowok dan menjadi cewek sendiri itu udah biasa.

Suatu hari, gue, Lucas, Daniel, dan John jadi satu tim. Kejadian langka tuh. Kasihan anak perusahaannya kalau kedatengan orang gila seperti kami ini. Jangan- jangan entar bukannya meriksa, tapi malah bikin kerusuhan.

Nah ternyata pimpinan anak perusahaan ini cewek semua. Jadinya pas awal pertemuan udah kayak Sm*sh ketemu Ch*ryb*le. Yah gue emang dianggap laki-laki sama mereka semua. Tinggal dikasih jakun plus kumis dan jenggot, sempurna lakinya.

Saat itu karena gue doang yang cewek, maka dengan terpaksa gue sendirian di kamar hotel. Kalau si Bos aja boleh takut tidur sendiri, kenapa gue nggak?

Tugas para cowok setelah selesai makan malam adalah mengantarkan gue sampai ke dalam kamar. Setelah gue menutup gorden, menyalakan semua lampu dan juga TV, mengecek pojok kamar, dalam lemari, sampai kamar mandi, dan yakin nggak bakal ada lagi yang ngumpet maupun ngesot, baru para cowok itu balik.

Itu pentingnya penentuan susunan tim berdasarkan chemistry. Karena saat tugas ke luar kota, maka selama satu atau dua minggu dan jauh dari keluarga, di tempat asing tentu kita harus kompak, saling menjaga dan menolong. Bisa dibayangin nggak kalau satu tim itu orang yang nggak akur, apalagi yang bermusuhan. Bisa-bisa mulai dari pesawat sampai hotel cakar-cakaran dan jambak-jambakan ala cewek kalau lagi berantem.

Tapi ya emang dasar lelaki. Walaupun mereka nganterin gue ke kamar, setelah itu malah nakut-nakutin.

"Eh, hati-hati ya ntar malam kalau pas tidur ada yang ngeliatin sambil duduk di kursi ini," ucap si John.

"Jangan lupa cek kolong tempat tidur ya."

"Jangan lupa tutup gordennya. Soalnya tengah malam suka ada yang jalan di luar," lanjut Lucas. Padahal kan kamar gue ada di lantai 8.

Nah suatu hari, pas menginjak hari ke empat, ketika kami baru balik dari anak perusahaan, si Daniel pergi ke resepsionis. Dia ngobrol sebentar di sana dengan resepsionisnya, kemudian dia bilang, "Eh, tahu nggak? Katanya tadi pagi ada tamu yang meninggal di kamarnya lho."

Awalnya gue nggak percaya lalu menganggap si Daniel cuma nakut-nakutin gue doang. Biar makin parno sendirian di kamar.

"Coba aja lo browsing nama hotelnya," ujar Lucas.

Bodohnya gue malah nurut. Ya biasalah, rasa penasaran gue lebih besar dibandingkan rasa takut gue saat itu. Dan ternyata benar! Beritanya ada. Dan malamnya gue gak bisa tidur. :')

VACATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang