Orang bilang, kalau ada masalah besar menyerang, apalagi yang berbau spirirtual, biasanya akan diawali dengan munculnya firasat buruk. Anehnya, gue nggak punya firasat apa-apa sebelum pergi ke tempat itu. Padahal sebelumnya, setiap ada tugas mengaudit anak perusahaan, apalagi sama Mbak Melyssa, atau juga tim lain, pasti gue udah parno duluan.
Di sisi lain, gue sih seneng-seneng aja diajak menginap bareng di akhir minggu, berlibur sejenak dari tugas kantor yang banyaknya nggak karuan. Walaupun hanya dengan sebagian teman di kantor khususnya bagian departemen gue. Totalnya cuma 5 orang.
"Dir, jangan ngelamun aja dong! Bantu kami bersih-bersih!" Suara Friska menyentak gue yang sedang memandangi bagian dalam vila keluarga Ririn yang kami tempati untuk liburan ini. Dan saat ini penjaga vilanya sedang ada di luar kota. Tapi setidaknya ada Ririn, salah satu keluarga pemilik vila ini, jadi kami merasa tak ada penjaganya juga nggak apa-apa. Vila ini sebenarnya lebih mirip pondok kayu sederhana. Ririn bilang, pondok ini merupakan harta warisan almarhum kakeknya. Daripada dibiarkan kosong, lebih baik pondok itu dijadikan vila dan disewakan dengan harga murah.
Seperti dugaan gue, vila itu memang sudah tua dengan perabotannya bermodel jadul serta sarang laba-laba dan debu tebal menghias di mana-mana. Tapi setidaknya vila itu masih terawat dengan baik. Dindingnya sepertinya dicat tiap tahun, keramiknya tidak ada yang retak, keran air mengucur lancar, dan semua lampu menyala dengan terang.
Meski begitu, gue merinding saat memasuki vila itu. Mungkin karena udara dalam vila yang rada lembap. Gue ngelirik teman yang lain yang tampak biasa aja. Oke, kayaknya cuma gue yang lebay di sini. Ya lebih baik gue mulai bantu mereka beres-beres.
"Apa yang bisa gue bantu?" tanya gue sambil menggulung lengan baju.
"Lo bisa ngurus lantai dua," usul Friska.
"Sendirian?"
"Lah? Emangnya lo mau dibantu siapa?" cibir Lea.
"Yah minimal kan ada satu yang nemenin gue ke atas."
"Hmm.. Sama Mbak Melyssa aja deh." Ya perasaan gue mulai nggak enak. Soalnya setiap sama Mbak Melyssa pasti ada aja yang terjadi. Huhh.. Sebelum gue jawab apa-apa, Lea teriak, "Mbak Mel, tolong bantu si Dirly. Dia mau beresin kamar di atas."
"Oh ya boleh." sahut Mbak Melyssa.
Aku kaget saat mendadak Mbak Melyssa muncul di samping gue dengan sebuah ember di tangannya, lengkap dengan sapu, dan alat pembersih lainnya.
"Ayo Dir!" Akhirnya gue terpaksa naik ke lantai dua.
*
Gue memandangi danau kecil yang indah di luar vila. Danau itu salah satu alasan kami setuju menginap di vila ini. Pasti seru kalau kami semua berenang di sana. Sayangnya, berenang bukan olahraga andalan gue. Bahkan satu-satunya gaya renang yang gue bisa cuma gaya batu, ditambah sound effect "blep..blep..blep".
"Dirly?"
Gue tersentak kaget saat menyadari Mbak Melyssa sudah menatap gue dengan aneh.
"Kamu mikirin apa?"
"Ah, nggak mikirin apa-apa kok Mbak. Cuma ngeliatin danau aja."
"Jangan melamun terus, Dir. Apalagi ini rumah kosong."
"Iya deh Mbak." Dan pada saat itu, gue ngeliat 'dia' untuk pertama kalinya. Saat pertama kali menyadari keberadaannya, gue pikir gue salah lihat.
"Lho, Dir, kenapa lagi nih?" Mbak Melyssa negur gue.
"Eh, nggak," sahut gue sambil memandang pintu kamar yang terbuka. "Tapi kayaknya tadi ada orang di belakang kita."
"Masa?" Mbak Melyssa ikut memandangi sekeliling. "Memangnya siapa?"
"Entah. Cewek berambut panjang, pake gaun warna pink pastel."
"Di rumah ini nggak ada siapa-siapa selain kita. Jangan aneh-aneh deh, Dir." Kata Mbak Melyssa heran.
Gue menoleh lagi. Nggak ada siapa-siapa. Oke, kayaknya memang gue salah lihat. Mungkin pantulan sinar matahari yang kena tirai. Dan karena gue nggak berkonsentrasi, gue kesandung papan lantai yang mencuat. Tanpa bisa ditahan, gue menjerit. Duh... emang dasar gue ceroboh..
"Dir, kamu nggak apa-apa?"
Gue menggeleng dan menoleh ke belakang untuk ngeliat papan lantai mana yang beraninya bikin gue terloncat dan terjatuh.
Sebagai gantinya, gue lihat 'dia' lagi. Berdiri di depan jendela kamar. Sosoknya jelas layaknya manusia biasa. Dengan gaun pink pastel yang dipakainya, dengan lengan panjang dan renda di ujung gaunnya. Kulitnya putih, tampak nyaris menyatu dengan dinding berwarna serupa. Yang aneh, rambutnya panjang, lurus dan hitam, dengan poni dipotong datar di atas keningnya. Hal pertama yang terlintas di otak gue adalah sebuah aturan singkat: "Jangan pernah lihat mukanya".
Gue buru-buru kembali memandang ke depan. "Mbak, lihat nggak cewek yang ada di belakang kita?"
"Cewek? Cewek apa? Nggak ada siapa-siapa di belakang kita, Dir."
Astaga. Apa ini berarti cuma gue yang bisa ngeliat 'dia'? Gue nyoba menoleh ke belakang lagi. Ya, dia masih di sana, memandangi gue dan Mbak Melyssa. Astaga! Gue buru-buru menoleh ke depan.
"Dir, kamu beneran lihat ada cewek di belakang kita?" tanya Mbak Melyssa sambil mengamatiku dengan perasaan sedikit cemas.
"Nggak. Nggak ada apa-apa. Yuk, kita selesaikan tugas kita. Nggak lucu kalau seharian kerjaan kita cuma nyapu."
Dan saat kami akhirnya selesai dan menuruni tangga ke bawah, 'dia' ngikut.
KAMU SEDANG MEMBACA
VACATION
HorrorPernahkah kalian diikuti oleh seorang 'wanita' saat liburan? Entahlah ya. Yang pasti... kami pernah. Dan liburan itu... akan menjadi liburan pertama dan terakhir kami... END