Kabur dari Malam

1.1K 119 17
                                    

Altered title: Akustik & Alternatif (2)

Lima ribu empat ratus tujuh puluh kata.

Dua manusia.

Anjay.

[13+; curse words]

-

Rumah adalah hal paling terakhir yang gue pikirin setelah masuk ke dalam Hamilton, mobil baleno kuno ini. Hati gue degup-degupan pas keluar rumah. Gue masih mikirin Ibu yang mungkin udah mulai menangis karena ulah gue dan Ayah itu. Jeno juga, dia pasti bakal dinasehati Ayah untuk gak ikutin kakaknya yang membangkang. Dan apa yang akan pria kuno itu lakukan untuknya sendiri... entah. Kenapa gue harus peduli?

Ribut-ribut air yang mengguyur kaca Hamilton telah membuat pikiran gue semakin berantakan. Seragam lusuh gue yang masih gue pake. Sepatu yang tadi gue pake asal karena gue mau buruan pergi dari sini. Kacamata yang entah keberadaanya dimana setelah gue mengamuk.

Di mata Ayah, gak ada suatu barang kecil pun yang bisa dibanggain dari diri gue. Seenggaknya kata semangat atau kata selamat, entah kenapa dia gak bisa bilang begitu. Selalu Ibu yang melakukan demikian, sampai-sampai gue yang denger pun malas. Iya. Males gue denger Ibu muji gue. Gue tau dia memuji gue karena dia kasihan. Seakan bakat gue gak ada apa-apanya dari sifat simpatinya. Dia berpikir, mungkin pujian adalah hal yang Mark mau, padahal gue juga nggak minta yang gak niat dan sekedar bualan.

Ulah Ayah yang mengelabui Ibu untuk tetap bertahan hingga Jeno yang disuapi bekal agar tidak jadi diri gue di masa depan. Keluarga yang toxic bikin gue gak betah disini. Untung gue gak bego, untung gue bisa menyadari seberapa kotornya permainan Ayah untuk menjaga nama keluarganya. Gue pun jijik untuk menceritakan omong kosong di depan umum. Meminta tepuk tangan para pemirsa atas penghargaan yang telah gue maupun Jeno lakuin, melihat senyum Ayah dengan dada membusung serakah.

Gue mau pergi dari sini. At least, untuk sehari gak melihat mereka bertiga yang menyedihkan. Menghilangkan pikiran-pikiran ini dan menghindari semuanya agar gue gak berpengaruh di rapat-rapat sekolah. Mungkin mencari udara segar atau jalan-jalan sambil mendengarkan musik di Soundcloud.

Badan gue menegak seketika ketika aplikasi musik itu terbesit di pikiran. Aplikasi yang mengingatkan gue dengan perkataan seseorang di warung sate padang kala itu. Omongan komat-kamitnya yang gak jelas dan sekedar khayalan biasa. Setelah mengingat mukanya itu, gue tersenyum. Mendapatkan rencana cemerlang untuk bertemu dia yang mungkin bisa jadi tempat gue untuk menyegarkan pikiran.

-

Setelah berlama canggung di tengah pembicaraan telpon kami, Donghyuck mengiyakan rencana pertemuan itu. Jujur, gue kira dia gak akan menjawab telpon gue karena ini udah lumayan malam untuk bepergian. Apalagi ini habisan hujan deras. Gue meminta dirinya yang mengatur lokasi pertemuan kami. Lokasi yang dia berikan di kolom pesan kami menuju ke sebuah rumah sakit keluarga. Tempat itu gak jauh dengan habitat keluarga yang menyedihkan ini, tapi tempatnya masih terasa asing menurut gue.

Gue jadi inget dulu pas masih kecil, gue gak pernah dibawa ke rumah sakit. Gue cuma dibawa ke klinik seorang dokter umum langganan Ibu. Gue gak pernah difasilitasi rumah sakit besar walaupun diri gue sakit perut sampai ke stadium tiga. Baru Jeno yang pernah dibawa ke rumah sakit. Sekali. Saat dirinya tergigit anjing karena mengusili breed husky itu dengan rotan kayu.

Pada saat itu Donghyuck belum pindah. Mengingat-ingat status kami yang dulu nggak sedekat itu membawa pemikiran canggung lagi. Gimana kalo dia dan gue disana bakal diam-diam aja? Apa gue harus menyia-nyiakan waktu gue ke rumah sakit? Apa dia terpaksa SKSD bareng kakak kelasnya? Terpikir bahwa senioritas di kalangan siswa sekolah itu tinggi, pasti dia juga segan untuk bicara.

Haru BIRU [Mark Lee & Lee Donghyuck]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang