[ six ]

65 7 7
                                    

BREATH


" In this universe, I choose to stay with you."
__________ • __________

Nai mengunci diri semalam penuh, dan Milan mengkhawatirkan keadaan lelaki manis itu. Beberapa kali ia berusaha mengajaknya untuk bicara namun hasilnya nihil. Nai, masih tetap tak mau keluar bahkan hingga lepas makan siang.

Kekhawatiran itu pun akhirnya mengundang Manon yang sore itu baru kembali setelah menemani Senne dengan segala macam urusan mereka. Wanita itu mendapati Milan tengah berdiri didepan pintu kamar Nai dengan raut wajah tak mengenakan, "Ada apa, Milan?"

"Entahlah, Manon. Sejak semalam ia tak mau keluar, sudah ku minta dia untuk setidaknya makan siang. Dia belum makan apapun dari pagi." keluhan yang penuh akan kekhawatiran.

"Sudah coba membujuknya?"

Milan menganggukkan kepalanya lemah, "Sudah, bahkan dengan croissant sekalipun dia masih tetap tak mau keluar. Aku takut ini ada hubungannya dengan Joong."

Manon akhirnya turun tangan. Berusaha berbicara pada Nai dari balik pintu, sementara Milan hanya menunggu disampingnya, menggigiti belah bibir bawahnya.

Dari balik pintu lelaki manis itu tengah berusaha mati-matian menutup kedua telinganya, ia tak ingin mendengar segala macam perkataan baik dari Manon maupun Milan.

Dia, hanya butuh sendiri.

Bahkan hingga senja berganti malam pintu kamarnya tetap tertutup rapat. Milan menghela nafas untuk yang kesekian kalinya sementara Manon memilih untuk mengatakan pesan terakhirnya malam itu, "Besok aku tak akan datang ke sekolah. Aku dan Milan akan menunggumu di meja makan besok pagi, Nai."

Mereka mengucapkan selamat malam pada Nai sebelum kembali ke kamarnya masing-masing. Dalam pikiran keduanya, mungkin Nai telah terlelap dalam balutan mimpi lantaran sehari penuh ia tak makan apapun.

Namun pada kenyataannya Nai masih enggan untuk memejamkan matanya. Mematung pada dinding diatas tempat tidur, menatap langit malam dari balik jendela.

Apa yang ia lihat kemarin meninggalkan luka baru yang tak pernah ia bayangkan.

Kemudian pesan dari Milan tentang Joong tak luput jadi penyebab ia tetap terjaga bahkan hingga hari berganti. Kalau bukan karena dadanya yang terasa sesak, mungkin ia tak tidur – lagi.

Pagi harinya, Nai terpaksa keluar karena rasa lapar yang akhirnya terasa menyiksa.

Ia mengendap-endap berusaha meminimalkan suara langkah kakinya, berharap Milan dan Manon belum bangun pagi itu. Tapi rencana tinggal rencana, karena kedua temannya itu telah duduk menunggu Nai di meja makan, "Selamat pagi." sapa Manon sembari menikmati secangkir kopi hitamnya.

Nai berhenti diambang pintu dapur, menarik nafas sebelum ia lepaskan seraya mengambil cangkir dari raknya.

Manon berdehem lalu meletakkan kembali cangkir kopinya keatas meja makan, "Kami tau kau masih butuh waktu untuk sendiri. Tapi kau tak bisa selamanya memendam masalahmu sendiri, aku dan Milan ada disini untuk membantumu."

"Ini, apakah ini karena Joong?" terka Milan. Gerakannya tertahan mendengar satu pertanyaan retorik itu.

Nai tak sanggup menahan air matanya. Kepalanya berdenyut hebat, menangis semalaman membuat kedua kelopak matanya membengkak, wajahnya memerah dan tubuhnya lemas bukan main.

Ia berpegangan pada dinding disampingnya seraya berkata, "B-Bagaimana kau –."

"Terakhir kali kau begini adalah ketika Sander pergi meninggalkanmu, dan aku berani bertaruh apa karena kau melihat Joong bersama yan lain?"

[ BREATH ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang