Bagian 2

65 4 1
                                    

Seseorang telah membunuh John Payne!

Shane berbegas keluar dari klinik dan menghentikan kendaraan umum begitu mendengar kabar  itu. Ia meminta seorang pengemudi taksi berkendara lebih cepat untuk sampai di kediaman bibinya dan sebagai gantinya, Shane memberi tip dalam jumlah besar.
Shane meninggalkan kunci mobil dan mantelnya karena terburu-buru. Ia tidak lagi memedulikan tatanan rambutnya yang berantakan, make-up yang luntur, atau betapa dinginnya udara di luar tanpa mantel tebalnya. Pikirannya sudah buyar ketika Jannate Dawson – sekarang Jannate Payne, mengatakan kalau seseorang telah membunuh suaminya.

Kabar itu nyatanya berhasil membuat Shane merinding. Wajahnya kini tampak pucat, darahnya seolah dikuras habis. Kalimat terakhir yang diucapkan bibinya seolah tidak henti-hentinya berbisik di telinga Shane. Sebuah kejadian yang tidak pernah dipikirkan Shane akan menimpa keluarganya.

Dalam tahun-tahun hidupnya, Shane tidak pernah membayangkan keluarganya akan berurusan dengan seorang pembunuh. Shane masih berpikir kalau ini hanya bagian dari mimpi buruk yang membayanginya dalam beberapa hari terakhir. Namun, deru angin yang menampar wajahnya dari balik kaca mobil seolah telah menyadarkan Shane bahwa apa yang didengarrnya benar-benar nyata. Shane masih mengingat dengan jelas suara bibinya yang bergetar ketakutan. Nafasnya tidak teratur dan lebih berat. Kalau Shane hadir di sana, ia akan berpikir penyakit asma yang dialami bibinya telah kambuh.

Namun, Shane telah mengenal wanita itu untuk waktu yang lama. Ia tahu dengan baik saat ketika Jannate benar-benar merasa ketakutan. Itu adalah perasaan yang nyaris tidak pernah dialami Jannate sebelumnya. Bibinya yang kuat dan pemberani, wanita dengan kepribadian tajam yang tak kenal ampun, cerdas, menarik, sekaligus putri sulung yang mewarisi sebagian besar kekayaan Dawson, kini berdiri sendiri: bingung dan ketakutan.

Shane telah berusaha menghubungi ponsel ayahnya berulang kali, namun tidak ada jawaban. Mike Dawson punya kebiasaan buruk meninggalkan ponselnya disembarang tempat. Sebagai seorang bankir dengan kesibukan yang padat, laki-laki itu nyaris tidak punya waktu untuk keluarganya. Itu bukan suatu hal yang baru untuk Shane, jadi ia tidak heran ketika panggilannya kali ini masuk ke mesin penjawab telepon.

Ini Mike, hubungi aku nanti atau tinggalkan pesan.

Ayah, mungkin kau ingin mendengar ini. Paman John meninggal. Bibi bilang seseorang telah membunuhnya. Aku tidak tahu pasti, aku sedang dalam perjalanan ke Dawson Rest. Kumohon, hubungi aku begitu kau menerima pesan ini.

Demikian panggilan telepon itu berakhir. Shane duduk meringkuk saat merasakan angin dingin di bulan Januari menerpa wajahnya. Beberapa helai rambut kecoklatannya terlepas dari ikatan. Perona bibir yang ia gunakan kini mulai pudar dan memperlihatkan warna pucat bibirnya. Kantung matanya tampak turun karena ia tidak mendapat istirahat yang cukup. Saat itu sudah pukul sebelas malam, saat dimana Shane seharusnya duduk di sofa, menikmati sepiring panekuk dan kopi dingin yang dibelinya di sebuah kedai dan melanjutkan mempelajari catatan pasiennya. Namun, disinilah ia berada. Di malam penuh hiruk pikuk dan suara-suara mengerikan yang tersebar di setiap sudut jalan.

Beberapa jalur telah ditutup. Para pejalan kaki yang meramaikan jalanan kini menghilang secara perlahan, menyisakan keheningan yang terasa mencekik udara. Sebuah toko yang menjual peralatan elektronik telah ditutup. Halaman parkir di depan sebuah kedai yang sering di kunjunginya kini tampak sepi pengunjung. Seorang pekerja kedai yang dikenal Shane keluar dari pintu belakang. Dua kantong sampah berukuran besar berayun di tangannya. Wanita berambut pirang dengan nama depan Molly itu kemudian melempar kantong sampah ke bak penampungan besar sebelum berbalik dan menghilang di pintu belakang.

Shane memerhatikan deretan lampu jalanan yang menerangi kota. Ia menyaksikan beberapa kendaraan di depannya melintas cepat meninggalkan kota. Suara keributan dari mesin dan bunyi klakson seakan bersahut-sahutan. Mobil yang ditumpanginya kemudian bergerak melambat ketika lampu merah menyala. Dalam hitungan menit, lampu berubah hijau dan pengemudi taksi itu segera melintasi jalur penyebrangan dengan cepat.

Begitu taksinya memasuki area taman kota, tepat dimana Dawson Rest terletak beberapa blok tidak jauh dari sana, Shane merasakan detak jantungnya bergerak melambat. Aroma familier pohon pinus dan jalanan beraspal disana selalu mengingatkan Shane tentang masa kecilnya. Shane memutar wajahnya untuk menatap jalur setapak menuju biara kecil di dekat sungai. Bangunan tua itu kini telah hancur dan tidak lagi difungsikan. Beberapa bagian dari catnya telah mengelupas dan dinding bagian sampingnya telah retak.

Dulunya, tempat itu menjadi tempat bermain Shane. Mike Dawson, ayahnya, sering mengajak Shane mengunjungi biara itu dan menunjukkan beberapa barang tua peninggalan buyut mereka. Dalam beberapa kesempatan, Shane juga ditemani oleh ibunya, Anne Bowen, untuk sekadar bermain di taman yang letaknya tidak jauh dari biara. Tempat itu seolah menyimpan sejarah tersendiri untuk Shane. Ia ingat masa-masa ketika sepupunya, Ryan, secara sengaja menceburkan Kristi, adiknya di sungai. Atau ketika remaja nakal itu menakut-nakuti Shane dan Kristi dengan cerita konyolnya tentang biara tua yang tak berpenghuni. Dan masa-masa ketika mereka bertiga bersembunyi di dalam biara karena takut dihukum oleh orangtua mereka.

Setidaknya hal itu berlangsung sampai Anne meninggal karena penyakit jantung di usianya yang menginjak tiga puluh tujuh tahun. Wanita cantik itu meninggalkan Shane berdua dengan ayahnya dan dalam seketika hidup Shane berubah total. Ayahnya menjadi seorang pemurung sejak kematian ibunya. Laki-laki itu lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja dan melupakan kesedihannya ketimbang bermain bersama Shane. Bahkan, ketika Shane tumbuh remaja, ayahnya jarang hadir di samping Shane. Beruntung ada Ryan dan Kristi, sepupunya yang membuat hari-hari Shane tidak terlihat begitu membosankan. Namun, hubungan pertemanan yang hangat itu telah ternoda sejak Ryan terseret dalam pergaulan bebas dan duakali tertangkap karena narkoba.

Remaja itu telah memilih jalan hidupnya yang salah. Dalam tiga tahun berturut-turut, Ryan tiga kali keluar masuk panti rehabilitasi. Seolah hal itu belum cukup buruk, Kristi, adik Ryan ikut terseret kasus kekerasan di sebuah bar. Sepupunya itu kini tinggal di sebuah asrama para remaja bermasalah dan akan menetap disana untuk tiga tahun ke depan.

Shane merasa sudah tidak mengenal sepupunya sejak ia lulus sebagai sarjana terbaik dalam fakultas ilmu psikologi. Dan sejauh itu, Shane hanya mendengar keluh kesah Jannate tentang putra putrinya melalui telepon. Dalam beberapa kesempatan, bibinya sering datang mengunjungi Shane untuk bercerita, tapi karena kesibukannya akhir-akhir ini, Jannate lebih seringnya menghubungi Shane melalui telepon selepas bekerja untuk sekadar mengeluhkan sikap Ryan dan Kristi.

Rasa simpati itu muncul begitu saja ketika bibinya menceritakan dua anaknya yang bermasalah. Shane bahkan telah berencana untuk membantu Ryan dan Kristi untuk keluar dari masalah dan kembali menjalani kehidupan mereka yang normal. Namun, rencana itu belum sepenuhnya terealisasi, setidaknya sampai kabar kematian pamannya sampai ke telinga Shane.

John Payne secara biologis merupakan ayah tiri Ryan dan Kristi. Laki-laki itu menikahi Jannate tujuh tahun yang lalu setelah perceraian Jannate dengan suami pertamanya. Hubungan John Payne dengan kedua anak tirinya tidak begitu baik, terutama karena dua remaja yang mulai tumbuh dewasa itu selalu melibatkan diri mereka dengan masalah. Dan dalam satu tahun terakhir ini, Jannate mulai mengeluhkan sifat dasar John Payne yang baru dikenalnya. Jika Shane mengenal bibinya dengan baik, maka ia akan tahu kalau wanita itu adalah seseorang dengan tipikal yang suka menjadi dominan dalam suatu hubungan. Sedangkan John Payne, suaminya, laki-laki yang usianya tiga tahun lebih muda dari Jannate adalah seorang pengatur yang suka mengendalikan hidup Jannate dan berusaha mengambil alih kedudukan penting Jannate di Dawson Media: sebuah perusahaan surat kabar ternama yang selama tiga puluh tahun dibangun oleh buyutnya dan diberikan secara turun-temurun pada keturunannya.

Shane tidak meragukan kesaksian yang diberikan Jannate tentang suaminya sedikitpun. Sekilas John Payne tampak memikat dari luar, seorang pria dengan kepribadian hangat dan licik. Penipu bertopeng emas yang memperdaya wanita-wanita lemah. Shane tidak bermaksud memperburuk keadaan, tapi jika bibinya tahu apa yang diperbuat John Payne pada Shane.. Shane tidak ingin membayangkan yang terburuk. Sejauh ini ia telah berhasil tutup mulut. Namun setelah apa yang menimpa laki-laki itu, Shane yakin rahasianya yang dikuburnya selama ini akan terbongkar.

Tidak terasa lima belas menit berlalu cepat dan mobil yang ditumpanginya sampai di halaman depan Dawson Rest. Shane membayar tagihan dengan uang cash kemudian ia bergerak keluar dengan tergesa-gesa. Karena terburu-buru, Shane nyaris terjatuh ketika kakinya menaiki undakan tangga yang bersusun menuju teras. Keheningan malam terasa mencekam. Dua mobil cadillac masih terparkir di sana. Satu milik Jannate dan satu yang lain milik John. Aroma bunga mangnolia tercium dari taman yang mengelilingi halaman depan Dawson Rest. Semilir angin yang bertiup kencang menggoyangkan ranting pohon di halaman samping bangunan. Dahan yang menjorok ke bawah dari pohon lebat berusia empat puluh tahun yang tumbuh di pekarangan, mengetuk atap genting dan menimbulkan suara bising. Kaca jendela yang retak selama bertahun-tahun itu kini menganga terbuka. Sebuah cahaya redup dari perpusatakaan mengintip melalui celah lubang di jendela itu.

Shane dapat mencium aroma darah dan ketakutan. Skandal yang terkubur selama bertahun-tahun dalam bangunan tua yang tak terawat. Suara tawa anak-anak di sekitar pekarangan, aroma buku-buku tua dan kayu yang terbakar di perapian. Dari tempatnya Shane menatap tangga kayu yang mengarah ke loteng. Noda yang menghitam pada dinding loteng itu masih terlihat sama setelah dua puluh tahun berlalu. Kemudian bunyi jendela di loteng yang berderit setiap kali tertiup angin mengingatkan Shane tentang masa kecil yang dihabiskannya di sana bersama Ryan dan Kristi.

Dua puluh tahun yang lalu, rumah besar ini telah menjadi tempat berkumpul anggota keluarga Dawson yang paling nyaman. Bangunan tua berusia satu setengah abad ini menyimpan sejarah tersendiri bagi buyutnya. Kini, ketika keluarga besar itu terpecah, bangunan ini seolah telah mati dan tidak lagi terawat. Daun-daun kering memenuhi atap genting. Saluran pipanya pecah dan tidak lagi berfungsi sedangkan pagar besinya tampak berkarat. Sistem keamanan di rumah itu tidak lagi berfungsi selama bertahun-tahun. Lampu berusia belasan tahun di sudut taman mulai redup, sedangkan batu berukir yang membentuk sebuah pancuran air itu kini telah lama mengering.

Shane menggeser pintu kayu setinggi dua meter dan menyadari kalau bibinya tidak mengunci pintu itu. Suara berderit yang disebabkan oleh engsel pintu mengisi kekosongan di dalam ruangan. Udara panas dari dalam ruangan berbau kayu tua dan cendana itu menerpa wajahnya, membuat tubuhnya merinding dan bulu romanya meremang.

Begitu Shane melangkahkan kakinya masuk ke dalam bangunan bertingkat itu, seluruh bayangan dan pengingat tentang kenangan bersama ibunya seolah menyerbu. Shane menatap sebuah sofa tua berwarna merah hati yang diletakkan berhadap-hadapan dengan lubang perapian. Sofa itu sudah ada di sana sejak Shane berusia belasan tahun. Kemudian, api yang membakar kayu di perapian kini mulai padam, menyisakan seoonggok abu dan bekas kayu yang menghitam. Hawa dingin kini menjalar di setiap sudut ruangan. Jam dinding berdentang ketika jarumnya menunjuk ke arah dua belas. Segalanya masih tampak sama dari saat terkahir Shane menginjakkan kakinya di dalam rumah itu dua tahun lalu: rak-rak buku di sudut terkiri, vas setinggi pinggul orang dewasa, peralatan antik milik buyutnya, juga patung rusa berusia dua puluh lima tahun yang terpajang di salah satu sudut dinding.

Ketika Shane menatap ke arah patung itu, suara derap langkah seseorang yang menuruni tangga kayu segera menyita perhatiannya. Shane berbalik dengan takut ke arah lorong pembatas ruang depan dengan tangga menuju kamar di lantai atas. Ia menunggu hingga suara Jannate menyadarkan Shane dari ketakutannya.

"Shane? Apa itu kau?"

Shane segera berlari menghambur ke arah bibinya. Wanita itu tampak kacau dengan penampilannya: rambutnya berantakan dan maskaranya luntur. Kedua matanya kini terlihat sembab sedangkan kerutan yang dalam terbentuk di seputar dahinya. Cuping hidung wanita itu mengembang ketika mengembuskan nafas lega setelah melihat Shane. Dari raut wajahnya Shane tahu bahwa sesuatu benar-benar membuat Jannate merasa resah dan ketakutan.

“Di sini!” kata Jannate ketika wanita itu membimbing Shane untuk sampai di ruang tengah. Mereka melewati deretan lukisan tua yang terpajang dinding, sebuah mahakarya dari salah seorang buyut mereka yang terlahir sebagai seniman. Pintu perpustakaan di lantai satu kini terbuka, cahaya keemasan mengintip dari dalam ruangan itu, dan Shane dapat mencium aroma dari karpet merah tua yang familier di sana. Salah satu bingkai foto jatuh di atas lantai dan pecah. Ketika Shane bermaksud meraihnya, Jannate langsung berteriak memeringati Shane. “Jangan sentuh apapun!”

Shane mengangguk kemudian berjalan di belakang bibinya untuk sampai di ruang kerja John Payne. Begitu mereka sampai di depan pintu ruangan yang besar itu, Shane teperanjat di tempatnya setelah melihat kengerian di dalam sana. John Payne duduk dengan kaku di atas kursi kerjanya dengan kedua mata menatap ke langit-langit. Mulutnya sedikit terbuka, wajahnya tampak membiru dan yang paling mengerikan dari pemandangan itu adalah lehernya yang teriris dan mengeluarkan darah segar.

Shane merasa sesuatu mengaduk seisi perutnya. Ia menahan diri untuk tidak muntah setelah melihat jasad itu. Jannate di sisi lain tampak begitu terguncang, wajah pucatnya menatap ke arah John Payne sedang kedua tangannya mulai bergetar.

“Apa kau sudah menghubungi polisi?” tanya Shane dengan kedua mata yang masih terarah pada jasad itu.

“Tidak, belum.”

“Kenapa?” Shane menelan rasa takutnya dan bergerak menjauh ketika mengangkat ponselnya. Tapi Jannate lebih dulu mencegah Shane sebelum Shane sempat menekan nomor panggilan.

“Tunggu, aku tidak punya alibi.”

“Apa maksudmu?”

Jannate tidak segera menjawab pertanyaan itu. Wanita itu masih menatap lurus ke arah jasad suaminya. Pikirannya seolah berkubang pada satu-satunya hal yang ia takuti.

“Aku ada di sini sepanjang sore dan.. hanya aku dan John. Aku tidak ingat apa-apa, aku pikir aku sedang tidur dan ketika aku terbangun, dia sudah seperti ini. Tidak ada saksi. Tidakkah kau mengerti, Shane?”

Shane memahami ketakutan Jannate dengan jelas, namun disaat seperti ini, mereka tidak bisa menghindari apapun dan pada akhirnya mereka harus menghubungi polisi.

“Dengarkan aku! Aku tahu kau merasa takut, tapi kita perlu menghubungi polisi. Seseorang harus menangkap pelaku kekacauan ini dan kita tidak bisa tinggal diam. Kita hanya akan ditahan jika meyembunyikan hal ini. Kau hanya perlu mengatakan yang sebenarnya. Harus..”

Shane menyakinkan Jannate dengan tatapan hingga wanita itu akhirnya melunak dan membiarkan Shane bergerak untuk menghubungi polisi.

Halo.. senang bisa mengetahui tanggaoan kalian untuk cerita ini..

MEGALOMANIAC (Boston Highway seri ke-2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang