Kalau kutebak mereka tidak punya apa-apa," ujar Ghosling saat ia dan Hodges mengendara melewati jalur panjang menuju Southwest Corridor Park.
Lima belas menit setelah meninggalkan kantor keamanan lokal, mereka langsung berkendara menuju penginapan tempat dimana Ryan Herschel atau Ryan Dawson tinggal. Laki-laki itu telah dikabarkan angkat kaki dari Dawson Rest terhitung hampir dua pekan yang lalu dan ia belum memunculkan batang hidungnya hingga saat ini. Jannate menolak untuk memberi informasi apapun terkait putranya yang bermasalah. Sebagai gantinya, wanita itu telah menetapkan seorang pengacara untuk melindunginya dari kasus ini. Persetan!
"Mereka punya catatan kunjungan," kilah Hodges sembari melambaikan sebuah map biru berisi salinan catatan kunjungan yang ia dapat dari kantor keamanan lokal. Ia membuka catatan itu dan membacanya sekali lagi. Sejauh ini ia tidak menemukan petunjuk apapun dari catatan itu, tapi Hodges berencana untuk mengirim catatan itu ke kantor untuk diselidiki lebih lanjut. Barangkali ada beberapa nomor polisi yang dapat dikenali.
"Apa itu lengkap?"
"Tidak," Hodges membenahi posisi duduknya. Meletakkan map itu di atas dasbor, ia kemudian menurunkan kaca jendela dan menatap keluar. "Tapi segalanya patut di coba."
Deretan pohon pinus berjejer di kedua sisi jalur sepanjang seratus meter. Civic mereka kemudian berbelok di jalur yang mengarah ke sebuah jembatan. Hodges melihat seorang pria berjalan di trotoar sembari mengawasi seekor anjing terrier yang berjalan di sampingnya. Anjing berbulu hitam itu menggendus-endus permukaan aspal seolah sedang mencari sesuatu.
Mereka melewati kawasan yang jarang penduduk. Hanya ada dua sampai tiga rumah kayu yang terletak di kawasan itu. Tepat di sisi kiri jalur, seekor rusa tampak mengintip dari arah rawa. Hodges memerhatikan ketika rusa itu bergerak cepat meninggalkan tempatnya saat menyadari suara mesin mobil yang bergerak mendekat. Sisanya hanya ada jalur lepas yang ditumbuhi oleh rumput liar dan sebuah jalur kecil berbatu. Jika mereka berkendara dua puluh meter lebih jauh, mereka akan menjumpai danau dan perbukitan yang luas.
Langit cukup cerah siang itu. Suhu udara juga masih normal meskipun badan pengamat cuaca memperkirakan akan turun hujan sore nanti. Sinar matahari memantul di atas rerumputan hijau setinggi mata kaki. Beberapa anjing berkeliaran di kaki bukit. Air danau bergerak dengan tenang. Tidak ada tanda-tanda kekacauan, seolah dunia tidak sedikitpun bertanggung jawab atas apa yang terjadi.
Begitu Hodges menatap melalui spion dalam mobil, ia mendapati wajah pucat Ghosling terarah pada jalanan di depannya dan tampak serius. Setelah satu bulan berlalu sejak O’Neill memutuskan mereka menjadi rekan dalam penyelidikan, Hodges cukup tahu bahwa tampang itu hanya akan ditunjukan Ghosling ketika polisi muda itu merasa kelelahan. Biasanya Ghosling lebih banyak berbicara, kini laki-laki itu nyaris tidak mengatakan apa-apa sejak mobil mereka meninggalkan kantor keamanan lokal.
Hodges berusaha mengabaikan situasi itu kemudian mengeluarkan sebungkus permen karet dari saku jaketnya. Ia meraih satu lembar permen karet doublemint kemudian memasukkannya ke dalam mulut. Setelah beberapa menit berlalu dengan keheningan yang menyelimuti mereka, pertanyaan Ghosling berikutnya segera memecah ketegangan.
“Kenapa Ryan Herschel keluar dari rumahnya yang sangat nyaman itu?”
“Entahlah.. Aku pikir itu karena Jannate.”
“Wanita itu memiliki dua anak yang bermasalah. Aku membaca catatan kriminal Ryan. Laki-laki itu duakali dikabarkan keluar masuk panti rehabilitasi karena narkoba, beberapa hari mendekam dipenjara karena terlibat kekerasan di bar, juga pelanggaran lalu lintas. Dia tidak beres. Bagaimana menurutmu? Mungkinkan Ryan masuk dalam kategori tersangka pembunuhan ayah tirinya sendiri?”
“Kita butuh motif.”
“Sejauh ini aku hanya bisa menyimpulkan kalau Jannate memiliki lebih dari satu motif untuk membunuh suaminya. Mereka sempat merencanakan perceraian, dan mereka pernah terlibat aksi kekerasan rumah tangga.”
“Apa John Payne orang yang menyenangkan?” tanya Hodges sembari mengunyah permen karetnya.
“Pertanyaan yang tepat adalah: apa ada seseorang yang cukup membencinya dan menginginkannya mati?”
“Well, seperti katamu, dalam hal itu kita punya banyak tersangka,” sergah Hodges. “Aku rasa Jannate bukan pelakunya.”
“Mengapa? Dia memiliki alasan..”
“Dia wanita. Dia tidak mampu melakukannya.”
“Jangan melihat dari sudut pandang itu,” komentar Ghosling sembari mengarahkan civic untuk berbelok di tikungan. Mobil mereka telah memasuki kawasan pemukiman dan hanya beberapa meter lagi untuk sampai di penginapan yang disewa Ryan. “John Payne dibius. Ia tidak bisa menggerakan tangannya ketika seseorang membunuhnya. Akan lebih mudah membunuh seseorang yang lumpuh. Tidak peduli sekalipun dia wanita.”
Hodges meringis membayangkan seseorang wanita yang mampu melakukan tindakan sekeji itu. “Bagaimana dengan daftar tersangkamu?”
“Sejauh ini aku hanya mendapat beberapa nama. Aku menempatkan nama Jannate diurutan nomor satu. Kemudian anak laki-lakinya dan pengurus rumah tangga itu. Siapa namanya?.. June Marion?”
“June Marion,” Hodges mengernyitkan dahinya. “Apa motifnya?”
“Itu yang akan kita selidiki.”
“Bagaimana dengan keponakannya – Shane Dawson? Wanita itu juga hadir di sana sebagai orang kedua yang melihat mayat John Payne.”
“Dia berada di tempat lain saat pembunuhan itu terjadi. Dia memiliki alibi dan saksi mata yang membenarkan hal itu.”
“Dia seorang psikiater, bukan? Dia mungkin tahu sesuatu tentang hal ini. Kita belum mencoba berbicara dengannya.”
“Aku akan mencatatnya dalam agendaku,” sahut Ghosling.
“Aku ingin bicara dengan wanita itu secepatnya. Apa kau bisa menghubunginya?”
“Tentu saja. Kita bisa mengatur pertemuan itu besok.”
“Kenapa kita tidak mencoba menyelidiki pada direksi yang bekerja untuk Dawson Media? Kebanyakan dari mereka mengenal John Payne, dan itu tidak menutup kemungkin jika salah seorang dari mereka adalah pelakunya.”
“Kita tidak bisa langsung sampai pada kesimpulan itu,” ujar Ghosling. “Kita punya banyak dugaan tersangka di sini. Tapi pertanyaan terbesarnya adalah bagaimana Jannate Dawson tidak menyadari bahwa seseorang telah membunuh suaminya disaat ia berada di bawah atap yang sama? Dan bagaimana seluruh sistem keamanan di dalam rumah itu tiba-tiba tidak berfungsi tepat pada hari ketika kejadian ini berlangsung? Menurutmu itu tidak aneh? Entah siapa, tapi aku cukup yakin kalau seseorang di dalam sana ikut campur tangan dalam menyusun skenario kematian John Payne. Dan jangan lupakan petunjuknya! Darah yang masih basah, zat bius dalam kandungan liur milik John Payne, dan tubuhnya yang kaku. Siapapun pelakunya, aku sangat yakin kalau ia telah merencanakan pembunuhan ini sejak lama.”
Hodges masih memikirkan segala kemungkinan yang terasa mustahil ketika mobil mereka sampai di halaman depan sebuah bangunan bertingkat yang tampak berusia ratusan tahun. Kaca jendela di setiap lantainya terlihat kusam. Dinding bagian depan dan samping telah mengelupas. Sebuah bak sampah besar terletak di sisi kiri gerbang pembatas. Tangga yang mengarah ke pintu masuk terbuat dari besi berkarat. Pintu kayunya berderit setiap kali digeser terbuka. Sedikitnya tiga jendela mengayun terbuka di lantai satu, tiga dan tujuh. Seorang remaja menyembulkan kepalanya melalui kaca jendela yang terbuka di lantai tiga. Tangannya menjulurkan sebuah wadah yang terisi penuh oleh cairan berwarna gelap. Remaja itu kemudian menumpahkan air dalam wadah itu dengan tidak acuh. Airnya jatuh tepat mengenai atap sebuah toko roti yang letaknya bersebelahan dengan penginapan itu.
Hodges turun dari kursi kemudinya dan mendelik ke arah remaja yang tanpa rasa bersalah menutup kembali kaca jendelanya. Ghosling menyusul beberapa detik kemudian. Laki-laki itu mengitari mobil dan berhenti tepat di samping Hodges. Aroma tidak sedap dari tumpukan sampah di sekitar bangunan itu tampak mengganggu Ghosling. Pria itu menutup hidungnya dan mengumpat kasar.
"Demi Tuhan! Siapa yang bertanggungjawab untuk semua ini?"
Hodges mengabaikan rekannya yang terus menggerutu ketika ia memerhatikan beberapa orang yang berkeliaran di sekitar sana. Seorang pria yang mengenakan mantel hitam tebal keluar melalui tangga besi yang mengarah ke pintu masuk. Rambutnya tampak basah dan memar di wajahnya terlihat jelas. Pria itu mengapit seputung rokok di antara jari-jarinya dan menyembunyikan satu tangannya yang lain di balik saku mantel. Setelah mencapai anak tangga, ia membuang sisa putung rokok di atas jalanan beraspal kemudian bergerak menuju Van oranye yang diparkir secara sembarang. Suara mesin yang bergemuruh itu berlalu cepat bersamaan dengan kepergian van.
"Kau yakin ingin masuk ke dalam sana?" tanya Ghosling sembari menyipitkan kedua mata ketika sinar matahari menyorot tepat ke wajahnya.
Hodges menatap Ghosling sekilas kemudian bergerak cepat ketika menaiki tangga besi yang mengarah ke pintu masuk. Begitu Ghosling mengekor di belakangnya, Hodges membuka pintu masuk dan langsung berhadapan dengan seorang penerima tamu.
Sebuah meja kayu setinggi satu meter itu diletakkan menyamping dari arah pintu masuk. Rak buku yang terbuat dari kayu bersandar di salah satu sudut dinding. Deretan majalah dan buku-buku bersampul tua berbaris rapi di dalam rak buku itu. Tepat di sampingnya, terdapat sebuah sofa panjang berwarna merah tua yang disediakan untuk tamu kunjungan. Setumpuk kertas, pesawat telepon, cangkir kopi dan alat tulis diletakkan secara acak di atas meja penerima tamu. Seorang wanita berusia sekitar dua puuh tujuh tahun berdiri di belakang meja. Wanita berambut merah itu sedang sibuk memoles wajahnya dengan perona berwarna merah muda ketika Hodges bergerak ke arahnya.
"Permisi, Boston Police Departement. Aku Meredith Hodges dan rekanku Lyle Ghosling, kami ingin bertemu seorang pria bernama Ryan Herschel. Dapat kau tunjukan dimana kamarnya berada?"
Wanita berambut merah itu menatap Hodges dan Ghosling secara bergiliran. Wajahnya tampak memerah dan tubuhnya bergerak dengan gelisah. Ia terburu-buru ketika menyambar pesawat telepon di mejanya kemudian berbicara dengan seseorang di seberang.
Setelah beberapa detik menunggu, wanita itu akhirnya menutup telepon dan berbalik ke arah Hodges. Seolah tidak ingin berurusan lebih lama, ia cepat-cepat mengatakan, "kamar nomor 17 lantai 3."
Segera setelah mendapat informasi itu, Hodges bergerak memasuki lorong. Karena liftnya tidak berfungsi, mereka terpaksa menaiki tangga menuju lantai tiga. Mereka telah berpapasan dengan dua orang penghuni motel itu. Satu adalah seorang remaja wanita berusia dua puluh tahun dengan pakaian yang terlalu nyentrik ditambah lagi dandanan wajahnya yang menor, juga seorang pria tinggi, besar yang berlari terburu-buru menuruni tangga. Pria itu nyaris menabrak Hodges kalau saja Hodges tidak cepat menghindarinya.
"Hei, perhatikan langkahmu!"
"Maaf," pria itu berlalu pergi tanpa berbalik lagi. Hodges berhenti di puncak tangga hanya untuk memerhatikan kepergian pria itu. Ia kemudian bertukar pandang dengan Ghosling sebelum berbalik dan melanjutkan langkahnya menuju kamar nomor tujuh belas.
Lantai kayu di lorong itu menimbulkan suara bedebum setiap kali seseorang memijakkan kaki di atasnya. Suara keributan dan musik rock yang disetel dari kamar nomor empat belas terdengar nyaring di tengah lorong. Seorang wanita berambut pirang, mengenakan celana khaki dan tank-top berwarna merah, keluar dari pintu nomor lima belas. Ia mendekatkan sebuah ponsel ke telinganya dan berbicara dengan seseorang di telepon. Begitu kedua matanya bertemu pandang dengan Hodges, ia menilik dengan wajah serius. Wanita itu kemudian memelankan suaranya hingga berbisik dan berjalan dengan cepat meninggalkan lorong.
Hodges memerhatikan kepergian wanita itu hingga langkahnya terhenti di depan pintu kayu dengan angka timbul yang bertuliskan 17. Ia mengangkat satu tangannya untuk mengetuk pintu kemudian bergerak mundur hingga seseorang dari dalam memutar kenop dan menggeser pintu itu hingga memberi celah bagi wajahnya untuk mengintip ke luar.
Merogoh saku mantelnya, Hodges mengeluarkan lencana dan menjulurkannya di depan wajah Ryan. Pria itu kemudian membuka daun pintu lebih lebar.
“Boston Police Department, Meredith Hodges dan rekanku Lyle Ghosling. Kau Ryan Herschel, benar?”
Ryan menundukkan kepalanya dan mengangguk dengan ragu. Pria itu kini berdiri dengan gelisah di tempatnya. Dengan tampilan yang masih berantakan, Ryan berusaha bersikap wajar. Meskipun begitu, Hodges bisa merasakan tangan pria itu yang bergetar di atas kenop pintu.
“Ya,” jawab Ryan akhirnya.
“Boleh kami masuk?” Ghosling telah mengambil satu langkah masuk ketika mengatakannya. Ryan mundur dari ambang pintu dan memberi ruang pada polisi itu untuk masuk ke kamarnya.
Bagian dalam kamar motel itu tidak kalah buruknya dengan tampilan luar. Ruangannya hanya menyediakan dua petak untuk kamar tidur dan bilik penyekat yang membatasi kamar mandi dan dapur. Sebuah ranjang kecil dengan seprai berwarna putih yang tampak berantakan diletakkan di samping jendela. Lemari kayu yang menyimpan pakaian dan peralatan lain seperti kunci mobil, botol bir setengah kosong dan vas yang sudah pecah, terletak di samping ranjang. Sementara lampu tidurnya berada di sisi yang lain.
Kaca jendela yang sedikit retak itu ditutup oleh tirai kecil berwarna merah tua sehingga menghalangi sinar matahari untuk masuk ke dalam. Sebuah sofa berwarna biru bersadar di sisi dinding. Porselen dan peralatan masak berada dalam posisi menggantung di dekat konter. Sisa dari ampas kopi dan putung rokok telah mengotori bak pencuci piring. Bau tidak sedap dari sampah yang belum diangkut dan sisa aroma rokok yang menggantung di udara kian terasa mencekik. Hodges harus memelototi Ghosling sebagai peringatan agar laki-laki itu tidak menyumpah lagi. Ia bergerak mengelilingi ruangan sembari memerhatikan setiap detailnya seolah sedang berusaha menemukan sesuatu. Hal yang pertama ditujunya ada bak sampah yang dibiarkan tergeletak di dekat konter.
“Apa ini masalah ayah tiriku?” tanya Ryan dengan gelisah, tampak sangat jelas kalau pria itu begitu terganggu dengan kehadiran dua orang polisi di tempat penginapannya.
“Ya,” sahut Hodges. “Ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan padamu.”
“Apa?” ekspresi kegelisahan dalam raut wajah pria berusia dua puluh tujuh tahun itu semakin terlihat jelas. Hodges menilai kalau Ryan sama sekali tidak mirip dengan Jannate maupun Dick Manson, suami pertama yang dinikahinya. Laki-laki itu memiliki rambut pirang yang tidak dimiliki Dick maupun Jannate yang berambut gelap. Matanya sedikit cekung dan tulang pipinya yang panjang juga tampak berbeda dari orangtua maupun saudara perempuannya. Laki-laki dengan tinggi mencapai seratus tujuh puluh delapan sentimeter itu memiliki tubuh yang cukup berisi dengan kedua bahunya yang lebar juga lengannya yang kokoh.
Sekilas, Ryan dapat terlihat sebagai pria yang cukup menarik. Ia memiliki postur tubuh seorang atlet. Meskipun wajahnya telah ditumbuhi oleh cambang gelap yang belum dicukur dan tampilannya masih terbilang sangat kacau, pria itu tetap memancarkan aura maskulinitas yang akan membuat semua wanita muda menyukainya. Namun, semua hal menarik tentang dirinya kini telah dikalahkan oleh ekspresi kegelisahan yang berhasil ditangkap Hodges dalam sepasang bola mata berwarna gelap itu.
Ryan menyebunyikan sesuatu, Hodges cukup yakin hal itu.
"Pertama-tama kami ingin tahu dimana kau berada saat pembunuhan itu terjadi?" tanya Hodges.
Wajah Ryan tampak semakin pucat. Laki-laki itu tidak segera menjawab pertanyannya. Ia bergerak mendekati sebuah meja kayu Dan menyandarkan tubuhnya di sana.
"Aku bahkan tidak tahu kapan pembunuhan itu terjadi," jawab Ryan akhirnya.
"Pada hari rabu, sekitar pukul empat sore hingga sepuluh malam," tegas Hodges. "Dimana kau saat itu?"
"Aku membeli minuman di walmart. Aku berada di motel ini sepanjang sore, kemudian aku pergi ke taman kota."
"Kau tidak bekerja pada hari itu?"
Ryan tertegun, kemudian menjawab. "Tidak, aku berhenti."
“Sejak kapan?”
“Dua minggu.”
"Mengapa kau berhenti?"
"Bukankah itu tidak ada kaitannya dengan semua ini?"
"Aku ingin tahu mengapa kau berhenti?" tegas Hodges dengan suara mantap. Laki-laki muda itu telah membuka mulutnya untuk memprotes, namun niat itu segera terurung secepat kemunculannya. Pada akhirnya Ryan menyerah dengan dua kata,
"Masalah dalam."
"Apa kau bisa menjelaskan mengapa ada dua panggilan tidak terjawab di ponsel Jannate ketika dia berusaha menghubungimu malam itu?"
Ryan mengedarkan tatapannya ke sekitar seolah sedang berusaha mencari jawaban yang tepat. Hingga tatapannya jatuh pada meja kayu kecil yang menyangga televisi dan sebuah patung kayu. Layar televisi itu redup, sebuah cahaya merah kecil menyala-nyala di bagian bawah. Mereka masih mendengar suara keributan seseorang dari luar. Suara bedebum langkah kaki seorang petugas kebersihan terdengar dari tempatnya berdiri. Dan seperti yang sudah-sudah, petugas itu melewati kamar Ryan.
"Well," Ryan berusaha menjelaskan dengan tenang. "Saat itu aku meninggalkan ponselku. Aku lupa setelah meletakkannya di dashbor."
"Kenapa kau tidak berusaha melakukan panggilan balik?"
"Jika dia ingin, dia bisa menghubungiku lagi," tukas Ryan. Kedua matanya kini menilik dua polisi itu dengan kesan tidak suka yang jelas.
Hodges mengangguk kemudian begerak mengelilingi ruangan itu sembari menatap sejumlah perabotan yang diletakkan secara asal. Sebuah botol kosong sisa alkohol berdiri di atas meja konter bersama piring yang dipenuhi oleh sisa makanan. Suara mesin penerima pesan telepon terdengar tepat di sampingnya. Lampu dari mesin itu menyala-nyala setiap kali menerima panggilan suara yang masuk.
“Bagaimana kau mengenal John Payne?” tanya Hodges saat memeriksa catatan panggilan yang muncul di layar. Dari tempatnya, ia bisa merasakan tatapan Ryan mengawasi setiap pergerakannya. Ghosling di sisi lain masih berdiri tenang di dekat jendela yang terbuka. Pria itu menyibak tirainya dan mengintip keluar.
“Dia pria yang baik.”
“Apa kau secara pribadi pernah terlibat masalah dengannya?”
“Tidak.”
“Apa kau tahu seseorang yang mungkin terlibat masalah dengannya?”
“Tidak. Itu urusan pribadinya.”
“Kau tahu bagaimana cara kematiannya?”
“Tidak.”
Hening. Hodges berbalik kemudian menatap Ryan dengan serius. Kedua tangannya tersembunyi di balik saku jaket. “Dijerat,” terang Hodges. “.. dengan benang tajam. Dan dia dibius sebelum mati.”
Ryan tertegun untuk waktu yang lama. Jakunnya bergerak naik turun ketika ia menelan liur. Masih berdiri di tempatnya, laki-laki itu memuntir keliman bajunya dengan gelisah. "Well, itu tindakan yang terlalu kejam untuk di terima seseorang."
"Kapan terkahir kali kau datang ke rumahmu?" Hodges masih menatap lurus ke arah Ryan dan ketika laki-laki itu mengepakkan kedua tangannya, ia mempertegas pertanyaannya barusan. "Yang kumaksud Dawson Rest."
"Sekitar sepuluh hari yang lalu."
"Pada hari yang sama ketika kau menyewa kamar di penginapan ini?"
"Ya."
"Apa yang membuatmu keluar?"
"Ini hanya masalah bisnis," kilah Ryan.
"Kau dikeluarkan dari pekerjaanmu dua minggu yang lalu, bisnis apa yang sedang kau selesaikan?"
"Aku dan temanku baru akan mendiskusikannya."
"Siapa nama temanmu?"
Keheningan kembali menggantung di sekitar. Ryan mengedarkan tatapannya pada dua polisi itu secara bergiliran. Selama sejenak ia berpikir kalau situasi itu kian terasa mencekam dan membuatnya sesak. Tiba-tiba ruangan itu menjadi semakin sempit dan udara di sana terasa panas.
"Todd temanku. Kami lulus kuliah di universitas yang sama dan kami suka pergi bermain ski setiap minggu malam. Kami sempat terpikir untuk membuka jasa perbaikan mesin komputer. Itu baru rencana dan itu sudah semuanya. Ada pertanyaan lain?"
Suara entakkan kaki seseorang di luar terdengar cukup keras. Suara itu kemudian disusul oleh seruan seorang wanita yang mengatakan 'aku akan kesana sekarang!'. Hingga perlahan suara keributan itu hilang dan kini hanya menyisakan keheningan.
Hodges meraih sarung tangan dari saku jaket dan mengenakannya dengan cepat. Wanita itu kemudian menunduk ke arah bak sampah, meniliknya dengan serius sebelum mengangkat bekas botol kecil yang dibuang di sana.
Wajah Ryan memerah tepat ketika Hodges mengangkat bekas botol itu di depan wajahnya sembari mempelajari tulisan yang tertera di sana. Hodges kemudian mengeluarkan kantong plastik bening dari sakunya dan memasukkan botol kecil itu ke dalam kantong.
"Aku akan membawa ini untuk diselidiki.."
Wanita itu baru saja berniat untuk melipat kantong plastik yang membungkus botol itu ketika Ryan bergerak untuk menyerangnya dengan cepat. Amarah tampak terlukis jelas di wajahnya. "Jauhkan tanganmu dari barang-barangku!"
Secara spontan, Ghosling mencegah Ryan sebelum laki-laki itu berhasil mencapai Hodges, kemudian mendorong dan menahannya di dinding kayu. Suara bedebum keras saat punggung Ryan menghantam dinding kayu nyaris membuat Hodges nyaris menjatuhkan barang bukti itu. Ia menatap dengan cemas saat Ghosling berniat mengeluarkan senjata dari sarungnya. Secepat mungkin Hodges berteriak untuk memperingatinya.
“Tahan! Tahan!” Perintah Hodges dengan suara keras.
Ghosling harus menahan makiannya di ujung lidah. Sebagai gantinya, laki-laki itu mendelik ea rah Ryan. Kedua tangannya mencengkram kerah baju Ryan dengan kuat sembari menahannya di dinding. Baru ketika Hodges mencapai pintu masuk, Ghosling melepas Ryan sambil terus mengawasinya.
“Kami sudah selesai,” ujar Hodges sebelum mengambil langkah keluar melalui pintu.
Selang beberapa detik, Ghosling bergerak mundur sambil mengatakan, “hati-hati langkahmu, bung!”
Laki-laki itu kemudian menghilang di balik pintu. Ryan masih berdiri mengawasinya dengan perasaan kesal. Hingga ketika pintu kamarnya ditutup, Ryan bergerak untuk menendang kursi kayu hingga terhempas jatuh dan menimbulkan suara bedebum yang keras di tengah ruangan. Wajahnya memerah dan ia mengangkat kedua tangan untuk mengacak rambutnya.
Polisi sialan!Beritahu saya tanggapan kalian untuk cerita ini 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
MEGALOMANIAC (Boston Highway seri ke-2)
Misterio / SuspensoBoston, Massachusetts, pembunuhan terjadi pada keluarga Dawson. Satu persatu anggota keluarga Dawson mati dibunuh secara misterius. Pelakunya menggunakan benang tajam untuk menyayat nadi di leher koban. Setiap korban dilumpuhkan dan dibunuh dengan c...