Sekitar pukul sebelas, Shane baru menyelesaikan urusan pekerjaannya di klinik. Ia meminta Olivia, asisten dokter yang menggantikan tugas Laurie, untuk mengatur ulang jadwal pertemuannya dengan sejumlah klien esok. Baru ketika semuanya sudah terkendali, Shane merasa lebih tenang untuk melangkahkan kakinya kembali ke halaman parkir dimana ia membiarkan mobil tuanya menunggu.
Shane menyalakan mesin dengan cepat dan berputar menuju jalur yang mengarah ke persimpangan Back Bay Fens. Ia memilih jalur sempit yang jarang dilalui kendaraan. Meskipun jarak tempuhnya lebih jauh, setidaknya ia tidak perlu menghadapi kemacetan di malam yang kian larut.
Sederet lampu jalanan menerangi jalur lurus yang mengarah ke Riverway. Pohon-pohon tinggi berdiri kokoh di tepi jalan. Ketika melewati jalur yang membatasi gazebo dengan sungai yang mengarah ke Utara, Shane melihat dua mobil patroli terparkir di sudut jalan. Cahaya dari lampu sen-nya menerangi jembatan kayu yang melintang di atas sungai itu. Dua orang polisi terlihat sedang bercengkrama di depan mobil mereka.
Shane menatap sambil lalu kemudian membawa mustangnya bergerak melewati jalur itu. Ketika Shane berbelok di pertigaan, ia melihat hamparan lahan perbukitan dan gapura yang mengarah ke pemukiman warga. Begitu Shane mencapai gerbang pembatas, ia memperlambat lajunya. Cahaya lampu sen mobilnya menyinari gerbang setinggi dua meter yang tampak tua dan berkarat itu. Shane menunggu seorang petugas keluar dari pos penjaga, namun ketika tidak ada tanda-tanda keberadaan siapapun, Shane membunyikan klakson mobilnya. Ia melakukannya duakali kemudian menyerah ketika petugas itu tidak juga keluar dari posnya.
Menurunkan kaca jendela mobilnya, Shane menatap keluar sembari mencari-cari. Keheningan malam telah menyelimutinya. Suara angin yang berdesir dari utara terdengar bergemuruh. Angin itu menerpa tembok batu dari bangunan satu petak berbentuk persegi yang telah menjadi pos penjagaan. Cat dindingnya yang berwarna merah pudar telah mengelupas. Kaca bagian sampingnya pecah dan beberapa barang tak terpakai dibiarkan tergeletak di sisi bangunan itu.
Shane terburu-buru ketika memundurkan mobilnya hingga suara benturan keras bumper-nya yang menabrak mobil petugas di belakang membuatnya sontak menginjak pedal rem. Alarm dari mobil petugas itu berbunyi keras. Shane merasakan jantungnya berpacu kuat dan nafasnya terengah-engah. Bagaimana ia bisa melupakan letak mobil petugas yang terparkir di sana sejak tadi?
Ketika Shane menatap wajahnya melalui spion dalam mobil, ia melihat peluh membasahi dahinya. Rambut kecoklatan yang dibiarkannya tergerai itu, kini berada dalam posisi yang tidak beraturan. Tangan Shane terangkat untuk membenahi posisi rambutnya ketika ia melihat bayangan seseorang melintas cepat di bagian belakang mobilnya. Secara spontan, Shane berbalik dengan waspada. Alih-alih melihat seseorang yang berjalan di belakang mobilnya, Shane hanya mendapati keheningan yang menggantung di sekitar sana. Suara alarm mobil yang meraung kini telah berhenti hingga menyisakan kesenyapan yang terasa mencekam.
Shane bergerak melepas sabuk pengamannya kemudian turun dari dalam mobil. Kedua matanya terus mengawasi ke sekitar. Ia berjalan dengan ragu-ragu hingga mencapai mobil sang petugas. Mencondongkan tubuhnya, Shane menatap ke bagian dalam mobil itu. Bulu romanya meremang ketika tidak mendapati siapapun di dalam sedan tua itu. Shane kemudian menegakkan tubuhnya begitu semilir angin yang berhembus menggerakkan dahan pohon pinus yang berderet di tepi jalan. Sekilas, Shane menangkap bayangan seseorang berdiri di dekat pohon. Kedua mata gelap itu mengawasinya kemudian ia menghilang di antara semak-semak tinggi.
Jantung Shane berdegup kencang. Darahnya berdesir cepat. Shane berbalik kembali ke mobilnya kemudian menyalakan mesin dengan cepat. Ia mengarahkan mobilnya berputar dan berbalik menuju jalan pintas untuk sampai di rumahnya. Dengan nafas tersengal, Shane mengendara dengan kecepatan tinggi ketika melewati jembatan dan arus sungai yang deras di bawahnya. Ia memembus palang pembatas jalan tanpa memedulikan kecepatan mobilnya. Ketika Shane akhirnya berhasil mencapai halaman depan rumahnya, ia menyandarkan keningnya di atas setir dengan perasaan lega.
Detik demi detik berlalu. Keheningan yang menggantung di sekitarnya telah membawa ingatan akan kematian John Payne kembali terulang. Bayangan buruk akan kejadian itu dan kekhawatiran yang akhir-akhir ini dirasakannya seolah menyerbu masuk ke dalam pikiran Shane. Shane berusaha mengendalikan nafasnya. Ia memejamkan mata sembari menghitung dalam diam, merasakan aliran darahnya kembali bergerak normal. Jari-jarinya kemudian bergerak mengatup dan membuka. Itu adalah terapi yang telah dipelajarinya semasa kuliah. Dosennya mengatakan kalau Shane cukup ahli dalam meditasi itu. Emosinya selalu stabil dan tidak seperti mahasiswa psikologi yang lain, Shane selalu menunjukkan responsnya yang cepat.
Lima menit kemudian, Shane sudah merasa lebih tenang. Setidaknya sampai suara ketukan yang keras membuat Shane tersentak dan jantungnya kembali berpacu kuat. Shane memutar wajahnya ke arah datangnya suara ketukan itu. Kelegaan membanjirinya ketika melihat wajah Gwyn Jones muncul di depan kaca mobilnya. Wanita itu memberi isyarat agar Shane membiarkannya masuk.
Segera setelah Shane membuka kunci mobilnya, Gwyn berputar dan duduk di kursi penumpang. Wanita itu menghempaskan sebuah surat kabar di hadapan Shane kemudian mencondongkan wajahnya lebih dekat.
“Apa ini?” tuntut Jones dengan nada suaranya yang ketus. Wanita itu selalu memiliki antuasiasme seorang jurnalis terkenal. Shane tidak yakin dapat menghindari Jones kali ini. “Kenapa kau tidak menghubungiku? Ya Tuhan, Shane! Itu bukan kasus biasa, itu pembunuhan! Pamanmu di bunuh, bagaimana kau bisa merasa baik-baik saja?”
Shane mengedarkan tatapannnya ke sekitar. Kedua tangannya menggenggam setir dengan erat sedang matanya tampak sendu.
“Aku tidak tahu apa yang aku rasakan sekarang,” aku Shane dengan suara lemah.
Gwyn melonggarkan kaitan yang menggantung kamera di lehernya. Wanita itu telah memusatkan perhatiannya penuh pada Shane. “Kau bisa menceritakannya padaku.”
Untuk beberapa detik yang mencekam, Shane membiarkan keheningan menggantung di sekitar mereka. Kedua matanya memandangi Jones dan Shane dilanda oleh keraguan untuk memercayai Jones. Meskipun Jones adalah sahabatnya, wanita itu juga seorang jurnalis. Jones telah bekerja selama bertahun-tahun untuk sebuah surat kabar ternama dengan kesuksesan yang nyaris menyandaingi Dawson Media di kota itu. Dan sejauh ini pertemanan mereka berhasil bertahan lama karena baik Jones maupun Shane menolak untuk melibatkan pekerjaan dalam hubungan persahabatan mereka.
Seolah memahami keraguan Shane, Jones melepas kaitan yang menggantung kameranya dan meletakkan benda itu di atas dashbor. “Ini omong kosong, oke? Ayolah Shane, kau tahu aku tidak sejahat itu.”
Shane mengendurkan pegangannya pada setir kemudian menatap lurus ke teras rumahnya. Pintu kayu itu masih tertutup rapat seperti kali terakhir Shane meninggalkannya. Pot bunga berjejer di jalur kecil yang mengarah ke tangga semen. Kaca jendelanya yang sudah reyot mengeluarkan suara berderak setiap kali semilir angin yang berembus menggerakkannya. Bangunan yang hanya memiliki luas tanah sekitar seratus lima puluh meter itu memang tidak menawarkan kemegahan seperti Dawson Rest, namun Shane sudah begitu nyaman tinggal di sana. Kini, setelah keanehan yang terjadi selama beberapa hari belakangan, Shane tidak yakin kalau rumah itu masih menjadi tempat yang cukup aman untuk berlindung.
“Shane..” seruan Jones menyadarkan Shane dari lamunannya. Ia berpaling untuk melihat wajah sahabatnya dan menjadi luluh untuk menceritakan semua kejadian yang dialaminya. Tidak lupa Shane juga menceritakan kejadian di gapura pos penjaga. Temannya itu mendengarkan Shane dengan serius dan rekasinya sudah bisa ditebak Shane.
“Itu pasti bukan sebuah kebetulan saja,” komentar Jones sembari memuntir jari-jarinya. Wanita yang memiliki figur menarik dengan sudut wajah yang tegas dan sepasang bola mata berwarna hijau cerah juga rambut ikal bergelombang yang membingkai wajahnya, tampak begitu gentar.
“Aku tidak tahu, aku hanya merasa ada sesuatu yang mengikutiku.”
“Sejak kapan itu terjadi?”
Shane berusaha memutar kembali ingatannya pada kejadian satu minggu yang lalu di dekat klinik ketika melihat seseorang dengan mantel besar dan penutup kepala berdiri di bawah pohon besar dan memandang ke arah jendela klinik di lantai tiga, tepat dimana ruang kerja Shane berada. Shane memperkirakan setidaknya orang itu telah berdiri di sana selama dua jam, sebelum ia akhirnya menghilang ketika jalanan di sekitar semakin padat. Kemudian, Shane mengingat kejadian tiga malam yang lalu di sebuah lingkaran air mancur. Saat itu hampir pukul sebelas ketika Shane menyaksikan keributan dua orang pemuda. Orang-orang yang penasaran begerak mendekati sumber keributan itu. Beberapa dari mereka berusaha memisahkan dua pemuda yang bertikai, sebuah mobil polisi kemudian muncul hingga membubarkan massa. Pada saat yang bersamaan, Shane melihat sosok pria berjalan di tengah kerumunan. Sepasang mata gelap di balik tudung yang menutupi hampir keseluruhan wajahnya itu seolah sedang mengawasi Shane. Pria itu menyembunyikan kedua tangannya di saku mantel kemudian bergerak menjauh hingga menghilang di tengah keramaian. Dan apa yang dialaminya beberapa menit lalu di pos penjaga adalah kejadian aneh yang terakhir.
Jones masih duduk dan mendengarkan Shane dengan serius. Wanita itu kemudian menggosokkan tangan di atas jeans-nya dengan gelisah.
“Sudah jelas sekali kalau itu bukan sebuah kebetulan. Aku rasa kau perlu mengatakan hal ini pada polisi.”
“Tidak,” bantah Shane dengan cepat. “Aku tidak memiliki cukup bukti. Barangkali aku hanya merasa paranoid.”
“Selama beberapakali? Yang benar saja! Aku tidak setuju kalau kau tetap tinggal di sini sendirian. Setidaknya, sampai polisi berhasil menemukan pelaku pembunuhan pamanmu, kau harus ditemani.”
“Aku menghargai bantuanmu, tapi aku sudah cukup aman disini.” Shane tidak tahu siapa yang sedang ia bohongi saat ini: Gwyn Jones yang secara jelas tahu kondisinya, atau dirinya sendiri yang tidak mau mengakui kekhawatirannya. Itu bodoh mengingat Shane selalu bekerja untuk menyadarkan seseorang dari kekhawatirannya. Bagaimanapun, kehidupan sosial dan pekerjaannya adalah dua hal yang berbeda. Dalam beberapa waktu tertentu, Shane juga pernah mengalami rasa takut seperti yang dikeluhkan para pasiennya. Dan tidak hanya sekali Shane membutuhkan seseorang seperti Gwyn untuk membantunya keluar dari rasa takut itu. Terbukti sudah, bahkan seorang psikiater sekalipun tetap membutuhkan bantuan seseorang untuk mengatasi perasaannya yang kacau.
“Kau membutuhkan bantuan seseorang. Jangan mengelak lagi. Kau pikir masalah ini sepele? Pamanmu buktinya, seseorang membunuhnya dan kita tidak tahu apa yang mendasari tindakan itu. Seluruh keluargamu mungkin berada dalam bahaya dan kalian harus menjaga satu sama lain.”
Jones benar tentang hal itu dan Shane tidak bermaksud membatahnya kali ini. Ia tahu bahwa penyelidikan itu mungkin akan memakan waktu yang cukup lama. Tapi mereka tidak memiliki lebih banyak waktu lagi untuk mengupas misteri di balik kematian John Payne, kecuali mereka mengambil risiko untuk kehilangan satu lagi anggota keluarga Dawson yang lain. Shane belum mengetahui motif pembunuhan terhadap John Payne, tapi temannya Jones benar tentang satu hal: kenapa ia tidak melakukan tindak pencegahan sebelum hal yang tak diinginkan terjadi. Shane tidak ingin membayangkan yang terburuk jika ia harus kehilangan bibi, sepupu atau bahkan ayahnya sendiri – tidak ketika Shane bisa mencegahnya.
“Kau benar,” kata Shane dengan suara lemah. Tatapannya melunak dan pikirannya kini melayang ke tempat yang cukup jauh. “Aku rasa aku tahu siapa yang bisa membantuku.”Beritahu saya tanggapan kalian untuk cerita ini 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
MEGALOMANIAC (Boston Highway seri ke-2)
Misterio / SuspensoBoston, Massachusetts, pembunuhan terjadi pada keluarga Dawson. Satu persatu anggota keluarga Dawson mati dibunuh secara misterius. Pelakunya menggunakan benang tajam untuk menyayat nadi di leher koban. Setiap korban dilumpuhkan dan dibunuh dengan c...