Bagian 3

60 4 1
                                    

Dalam lima belas menit yang panjang, penantian mereka seakan terbayar begitu raungan sirine mobil polisi terdengar dari kejauhan. Sedikitnya, tiga mobil polisi beriringan memasuki halaman depan kediaman Dawson. Ambulans dan mobil pemadam kebakaran hadir lima menit berikutnya. Dua orang petugas medis bergerak keluar dari dalam ambulans dan bergerak cepat masuk ke TKP. Sementara itu tiga polisi berseragam lengkap saling bahu membahu memasang garis pembatas kuning. Lampu-lampu yang menyorot dari mobil polisi berpendar di halaman depan.

Keributan itu seolah memancing perhatian para penduduk di sekitar sana. Beberapa dari mereka bergerak keluar untuk melihat korban. Sementara itu, dua mobil reporter dari stasiun televisi ikut hadir dan meramaikan suasana. Mobil-mobil dari stasiun televisi yang datang bergilir semakin banyak hingga Shane tidak bisa menghitung jumlahnya. Suara keributan seolah menggantung di halaman depan rumah. Masing-masing dari mereka berharap dapat berbicara dengan penyelidik yang ditugaskan untuk menangani kasus itu. Dari tempatnya, Shane melihat dua polisi menghalau seorang reporter yang berusaha menerobos masuk melewati jalur kuning untuk mendapatkan gambar ekslusif tentang pemilik Dawson Media yang tiba-tiba mati dibunuh. Kemudian, seolah semuanya belum cukup buruk, sebuah helikopter dari stasiun televisi dikerahkan untuk meliput secara langsung kejadian di dalam bangunan tua berusia ratusan tahun itu.

Rasa pening yang dahsyat tiba-tiba menyerang kepala Shane. Bibinya, disisi lain masih tampak terguncang dengan apa yang baru saja terjadi. Wanita itu sangat pucat dan Shane khawatir Jannate akan pingsan.
Seorang polisi yang mengamankan mereka meminta keduanya untuk menunggu di ruang depan sampai keributan yang terjadi mereda. Setelah menunggu lima belas menit berikutnya, Shane akhirnya melihat sebuah civic hitam memasuki kediaman Dawson. Seorang wanita dengan potongan rambut pendek, mengenakan jaket dan kaca mata hitam, turun dari kursi pengemudi. Wanita dengan tingginya yang hanya mencapai seratus enam puluh lima senti, bertubuh sintal dan memiliki raut wajah serius itu kemudian berjalan masuk ke TKP. Kehadirannya segera menyita perhatian para awak media yang bergerumbulan.

Tidak lama setelah wanita itu bergegas untuk bergabung di TKP, seorang pria berambut pirang bergerak turun dari kursi penumpang dan mengekor di belakangnya. Pria berkulit pucat dan dengan bintik-bintik merah di wajahnya itu tampak sangat terganggu dengan gagasan untuk berada di tengah kekacauan. Dengan tingginya yang hampir mencapai seratus sembilan puluh sentimeter, bobot tubuh besar yang terbalut jaket kulit hitam, dan sepasang mata yang jenaka, pria itu terlihat beberapa tahun lebih muda dari rekannya. Shane menebak usianya sekitar akhir dua puluhan. Pria itu bergerak melambat ketika beberapa awak media mendekatinya. Ia seolah menikmati perannya sebagai penyelidik yang ditugaskan untuk menangani kasus pembunuhan suami dari seorang pemilik Dawson Media. Jika bukan karena rekan wanita yang menyeret penyelidik muda itu untuk menghindari rerumunan orang, Shane menduga pria itu akan tetap berada di sana untuk menjawab semua pertanyaan awak media.

Wanita berambut cokelat pendek itu kemudian melepas kacamatanya dan begerak mendekat untuk menjabat tangan Shane dan Jannate secara bergilir. Seorang Opsir bernama Jeff yang sebelumnya ditugaskan untuk menjaga Shane dan Jannate, kini bergerak menjauh dan memberi keleluasaan bagi dua penyelidik itu untuk berbicara dengan saksi mata pertama di TKP.

“Boston Police Department , Meredith Hodges dari divisi pembunuhan , dan..” wanita itu menggeser tubuhnya hingga memberi kesempatan bagi rekannya untuk menjabat tangan klien mereka.

“Lyle Ghosling,” pria itu menyeringai lebar ke arah Shane dan Jannate kemudian mengangguk pelan, “rekan Hodges yang akan menangani kasus ini.”

“Aku harus membuat pengakuan kalau aku baru saja dipindahtugaskan dari divisi narkotika, dan ini adalah kasus pembunuhanku yang pertama. Tapi aku membawa surat kuasa dari pengadilan,” Hodges merogoh ke balik jaketnya kemudian mengeluarkan secarik kertas berisi surat kuasa penyelidikan dan melambaikannya ke arah dua wanita itu. Ia kemudian berdeham dan melanjutkan dengan datar, “jadi, kita punya satu kasus pembunuhan disini?”

“Ya,” Jannate menjawab dengan cepat seolah tidak begitu tertarik berurusan dengan dua polisi itu. “Suamiku John Payne dibunuh.”

“Bagaimana kau bisa tahu kalau dia dibunuh?”

“Ada bekas sayatan di lehernya.”

“Kapan itu terjadi? Apa kau melihat pelakunya?”

“Sore ini..” Jannate memejamkan matanya kemudian meralat, “Aku tidak yakin. Mungkin malam, ketika aku tertidur. Dan aku tidak melihat siapapun.”

"Apa ada tamu yang berkunjung sebelum pembunuhan itu terjadi?"

"Tidak."

"Jadi, apa ada orang lain di sini?"

Jannate menatap Shane dengan ragu-ragu kemudian menjawab, "ya. Adikku Martin, dan pengurus rumah tangga .. tapi dia sudah pergi sejak sore tadi."

"Bagaimana dengan Anda, Ma'am?" Hodges menunjuk ke arah Shane. "Apa keterlibatan anda dengan kasus ini dan bagaimana anda bisa sampai di sini?"

"Aku Shane Dawson, dan yang tewas di sana adalah pamanku. Aku baru tahu kabar ini setelah Jannate menghubungiku. Sebelumnya aku berada di klinik dan aku baru datang sekitar setengah jam yang lalu."

Hodges mengangguk sekilas kemudian wanita itu mengangkat wajahnya dan memberi isyarat pada polisi muda bernama Ghosling itu untuk bergerak masuk ke TKP.

"Ayo kita lihat!"

Dua orang polisi yang berjaga di depan pintu masuk ruang kerja tepat dimana pembunuhan itu terjadi, segera menghalau Jannate begitu wanita itu berniat untuk masuk. Salah satu petugas bertubuh gemuk itu membimbing mereka bergerak menjauhi TKP, sementara itu Hodges dan Ghosling dipersilakan masuk dan bergabung dengan seorang ahli medis dan perekam gambar.

Pria tinggi, berkulit pucat, bernama Mark Stinson yang bertugas sebagai ahli medis, mengangkat wajahnya dari buku catatan kemudian menyingkir dan memberikan Hodges ruang untuk memeriksa korban. Gambaran kondisi sosok pria berambut gelap dengan semburat abu-abu yang mempertegas usianya, nyaris membuat Hodges memuntahkan seisi perutnya.

Pria itu duduk di sebuah kursi dengan posisi wajah menengadah ke langit-langit. Darah segar mengalir dari luka bekas jeratan di lehernya. Sebuah luka irisan yang terlihat rapi. Seseorang pasti menggunakan senar, benang, atau penjerat khusus ketika menyayat leher pria itu. Yang pasti bukan pisau. Kelopak matanya yang setengah tertutup memperlihatkan garis merah pada bola mata itu. Bibirnya sedikit terbuka seolah hendak memperlihatkan rasa sakit yang dialaminya. Kemeja berwarna biru pudar yang dikenakan pria itu kini dipenuhi oleh noda darah yang mulai mengering. Sedang kedua tangannya terkujur kaku di atas perut bagian bawah. Urat-uratnya yang membiru dapat terlihat.

Hodges berbalik membelakangi jasad itu dan berdiri berhadap-hadapan dengan Ghosling. Ia menggosokkan kedua tangannya sembari menarik nafas panjang. Tatapannya berpendar ke segala arah dan Ghosling segera menyadari wajah Hodges yang mulai memucat.

“Kau baik-baik saja?” bisik Ghosling sembari menatap wanita yang hanya setinggi bahunya itu. Ia harus menunduk untuk dapat menatap Hodges secara langsung.

“Tidak,” Hodges membusungkan dadanya, sekali lagi menarik nafas sebelum berbalik dan mengenakan sarung tangannya. “Sebaiknya kita selesaikan ini!”

“Aku bisa memeriksanya untukmu,” tawar Ghosling dengan percaya diri. Penyelidik muda itu memiliki sifat keras yang suka menyombongkan dirinya. Beberapa petugas di kepolisian tidak menyukai Ghosling karena sikapnya. Meskipun Hodges masih menyesali keputusan Gerard O’Neill, sebagai kepala polisi di BPD , dengan menjadikan polisi muda tanpa pengalaman itu sebagai partnernya, Hodges sudah mulai terbiasa. Kali ini ia memilih untuk mengabaikan Ghosling dan memfokuskan diri pada korban itu.

Menggunakan senternya, Hodges menunduk untuk menyinari luka di leher korban. Ia memerhatikan luka bekas sayatan yang membuka itu. Darah segar mengalir dari luka yang melintang di bagian bawah telinga kiri hingga mengiris nadi di bagian bawah telinga kanan. Hodges mengeluarkan buku catatan kecil yang ia simpan di saku jaket. Ia mencatat beberapa informasi yang perlu kemudian bergerak untuk melihat organ vital yang lain. Namun, setelah memeriksa tubuh korban secara menyeluruh, Hodges tidak menemukan bukti kekerasan fisik yang lain. Sejauh apa yang dapat ia tangkap, kematian korban murni diakibatkan oleh benda tajam yang mengiris nadinya. Tidak ada memar, bekas luka, atau bukti apapun, kecuali karena kedua tangan korban tampak kaku dan mulutnya yang sulit ditutup.

“Aku tidak bisa menemukan bukti kekerasan fisik selain luka di lehernya. Apa yang kau dapat?” sekilas Hodges menatap sang petugas ahli medis itu sebelum memusatkan perhatiannya kembali pada jasad John Payne.

“Kau benar. Korban tidak mengalami penyiksaan fisik selain luka sayatan di lehernya. Irisannya cukup rapi, bentuknya seperti sebuah simpul..”

“Benang atau senar?”

“Benang. Semacam benang tajam. Kalau kau perhatikan, disini ada lebih dari satu bekas sayatan,” Stinson menunjuk ke arah yang dimaksud sembari membuka catatannya dan menjelaskan. “.. artinya siapapun yang melakukan ini telah berusaha berkali-kali sebelum benangnya dapat mengiris nadi di leher korban.”

“Apa lagi?” tuntut Ghosling.

“Liurnya belum mengering, dan warna matanya masih tampak normal. Pembunuhan ini belum lama terjadi. Kemudian setelah aku mengambil sampel liurnya, aku melihat ada suatu zat yang tersisa dan belum sempat ternetralisir. Sampel itu akan aku bawa ke lab untuk diperiksa lebih lanjut.”

“Kenapa kedua tangannya kaku?” Hodges berhati-hati ketika menyentuh tangan korban.

“Ini adalah efek yang sering ditimbulkan oleh obat yang berpotensi melumpuhkan seseorang.”

Ghosling mendengus keras. “Mereka menyebutnya obat? Itu sama fungsinya dengan racun..”

“Ya, tapi dalam ilmu medis beberapa obat yang sifatnya melumpuhkan terkadang sangat membantu untuk menetralisir rasa sakit saat pengambilan tindakan. Obat itu hanya dipakai pada saat-saat tertentu. Dugaanku, zat yang belum ternetralisir dalam liurnya mengandung anestesi lokal dimana hal itu berpotensi melumpuhkan sebagian tubuh korban tanpa menyebabkannya hilang kesadaran. Tanda-tandanya bisa dilihat dari kedua tangannya yang kaku, urat-uratnya yang muncul, juga wajahnya yang sedikit membiru. Pengaruh obatnya tidak mati meskipun jantungnya telah berhenti. Dan melihat dari sampel darahnya, aku menemukan sejumlah kandungan yang terpisah. Kesimpulannya, korban mengalami kelumpuhan sebelum seseorang mencabut nyawanya.”

“Itulah sebabnya tidak ada luka perlawanan, bukan?” simpul Hodges. Wajah yang sebelumnya pucat kini tampak memerah. Kedua mata almond-nya menatap jasad korban dengan ngeri.

Mark Stinson mengangguk sembari menutup catatan medisnya. “Ya.”

"Berapa lama waktu kematiannya?"

"Mengukur dari darahnya yang masih basah, korban diperkirakan tewas sekitar tiga sampai empat jam yang lalu," jawab Stinson.

"Berapa usia pria ini?"

"Empat puluh sembilan tahun."

"Sial, dia lebih muda sebelas tahun dari istrinya bukan?" Ghosling mengumpat kasar kemudian menatap rekannya sambil terheran-heran. Ketika Hodges menilik wajahnya dengan sinis, Ghosling bergerak dengan tidak nyaman di tempatnya. "Apa?"

Hodges mengabaikan Ghosling dan berpaling ke arah Stinson. "Apa ada kemungkinan korban memiliki penyakit dalam?"

“Tidak, organ vitalnya tampak normal.”

“Berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai hasil lab itu keluar?”

“Aku tidak bisa menjamin hasilnya akan keluar cepat. Mungkin sekitar tujuh sampai sepuluh hari.”

Hodges mengangguk. “Aku ingin hasil itu secepatnya,” ia berbalik ke arah Ghosling dan bertanya, “kau sudah menghubungi O’Neill?”

“Aku akan menghubunginya sekarang.” Ghosling bergerak ke arah jendela yang terbuka kemudian mengangkat ponselnya dan menghubungi seseorang.

“Semua gambar sudah diambil?"

Henry Fonda yang bertugas sebagai perekam gambar mengangguk sembari melambaikan kameranya.

"Apa aku bisa mendapat salinannya pagi ini?"

"Aku bisa mencetaknya sekarang."

"Bagus.”

Hodges berbalik untuk mendapati rekannya tengah menatap ke luar jendela, tepat dimana kerumunan orang yang hadir semakin banyak. Media massa meliput secara langsung di tempat kejadian. Para tetangga yang penasaran bergerak mendekati garis kuning, perhatian mereka kini tertuju pada pintu masuk Dawson Rest yang sedikit terbuka. Di kejauhan, tiga ekor anjing polisi dikerahkan untuk melacak jejak. Anjing berbulu hitam itu menyalak ketika mencapai kaki bukit. Dua orang petugas yang dikerahkan untuk mencari jejak sang pembunuh, mengedarkan senternya di tengah langit malam. Ghosling menatap dua titik cahaya dari lampu senter itu sebelum cahayanya menghilang ditelah rawa.

“Apa situasinya sudah cukup aman?” tegur Hodges ketika wanita itu melangkahkan kakinya untuk sampai di samping Ghosling. Wanita itu mengedarkan tatapannya keluar jendela dan menyumpah ketika melihat keributan di bawah sana.

“Sebaiknya kita menunggu satu jam lagi,” saran Ghosling.

“Kita tidak punya waktu satu jam,” ujar Hodges sembari membenahi keliman jaketnya. Ia bergerak ke tengah ruangan dan menatap Stinson dengan serius. “Aku sudah selesai. Kapan jasad ini akan diautopsi?”

“Aku akan menunggu hingga pagi.”

Hodges mengangguk dan memberi isyarat pada Ghosling untuk bergerak keluar dari TKP. Seorang petugas yang berjaga di depan segera menyambutnya. Hodges langsung dihadapi oleh keluarga korban yang masih menunggunya di lorong. Ia memerhatikan wajah Jannate Dawson sekali lagi dan menilai. Sejauh yang dapat dilihatnya, raut wajah itu tidak menampakkan kesedihan sedikitpun – ada rasa khawatir, selebihnya tidak tersisa ruang untuk rasa berduka.
Shane Dawson bersikap sebaliknya. Psikiater berusia tiga puluh tiga tahun dengan potongan rambut lurus yang dikuncir ekor kuda itu menunjukkan rasa sedih dan ketakutan yang jelas. Begitu Hodges bersama Ghosling keluar dari ruang kerja dimana kejadian pembunuhan itu berlangsung, Shane segera berlari menghampirinya. Kedua matanya tampak sangat kelelahan. Kalau bukan karena sisa make-up tipis yang menutupinya, Hodges akan menyarankan Shane untuk pergi tidur dan bermimpi indah.

“Kami sudah selesai dengan korban,” kata Hodges ketika Shane tiba di hadapannya. Tatapannya melewati bahu Shane dan tertuju sepenuhnya pada Jannate yang berdiri beberapa langkah di belakang Shane. Kerutan yang menghias wajah Jannate kini mulai tampak sehingga mempertegas usianya yang tidak lagi muda. Meskipun begitu, Jannate Dawson memiliki tubuh yang sangat atletis untuk ukuran wanita seusianya. Tingginya hampir mencapai seratus delapan puluh senti. Wanita itu tidak kurus, tidak juga gemuk. Dari balik sweter hitam ketat yang dikenakan wanita itu, siapapun akan melihat postur tubuhnya yang sempurna. Goresan eyeliner dan maskara di wajahnya telah menambah kesan tentang betapa mengerikannya wanita itu. Setiap sudut wajahnya tampak tegas dengan rahang yang tinggi dan mata yang tajam. Wanita yang selalu menggelung rambut pirangnya itu akan menengadahkan wajah ketika bertatapan dengan seseorang.

Hodges mempersiapkan diri sebelum menghadapi wanita dengan sejumlah reputasi buruknya. Itu adalah bagian tersulit dari pekerjaan ini yang selalu dikeluhkan rekannya dari divisi pembunuhan: berhadapan dengan keluarga korban. Sejauh yang Hodges tahu, ia tidak mengalami kesulitan berbicara dengan mereka, kecuali karena saat itu Hodges hanya menghadapi keluarga dari orang-orang yang melibatkan diri dengan narkoba dan bukannya keluarga yang baru saja kehilangan satu anggota keluarga mereka karena dibunuh secara brutal oleh orang gila tak berperasaan.

“Ada beberpa hal yang perlu kutanyakan,” mulai Hodges dengan percaya diri. “Aku akan menunggu di kantor polisi siang sekitar pukul satu. Sementara itu, aku menyarakan kalian untuk mencari tempat penginapan sampai rumah ini selesai disterilkan.”

“Berapa lama?” tuntut Jannate.

“Kami butuh waktu satu hari untuk mencari barang bukti, sidik jari yang tertinggal, dan juga memeriksa alat penyadap yang mungkin ditinggalkan seseorang di dalam rumah ini. Sementara itu, tim medis akan membawa jasad suamimu ke laboratorium untuk di autopsi. Prosesnya akan memakan waktu sekitar satu sampai dua minggu.”

“Aku tidak yakin bisa menunggu waktu selama itu. Keluarganya akan meminta jasad John untuk segera dikuburkan.”

Hodges tertegun ketika mempertimbangkan keputusannya. Ia akhirnya menyerah pada jawaban, “kita bisa mendiskusikan masalah itu besok. Selamat malam.”

Penyelidik itu berjalan melewati Jannate. Sekilas, Shane menangkap tatapan Lyle Ghosling yang terarah tajam pada Jannate. Pria itu memandangi Jannate seolah sedang menilainya. Dan begitu Shane memberinya tatapan penuh peringan, Ghosling segera berlalu pergi.

Bagus. Itu adalah apa yang mereka butuhkan: dua orang penyelidik menyebalkan yang akan berurusan dengan mereka hingga kasus itu tuntas. Shane memutuskan untuk mengabaikannya dan bergerak ke arah pintu ketika mendengar suara keributan di luar.

Seorang polisi tampak kesulitan menghadang media massa yang menjadi ricuh sejak kemunculan Hodges dan rekannya di pintu masuk. Mereka berlomba-lomba menyorotkan kamera dan mikrofon ke arah Hodges. Beberapa pertanyaan menggantung di udara dan menyebabkan suara keributan yang berdengung. Higga kedua detektif itu akhirnya sampai di sofa mobil mereka dan berkendara menjauhi TKP.

“Aku tidak ingin keluar sana,” bisik Jannate yang berdiri tepat di belakang Shane. Kedua matanya yang tampak suntuk dan lelah kini memandang keluar jendela tepat dimana kericuhan itu terjadi. “Oh Tuhan, aku juga tidak ingin berada di rumah ini.”

Shane menggenggam tangan Jannate yang bergetar. Dari sana ia merasakan ketakutan yang dirasakan bibinya.

“Tidak apa-apa, kau bisa tinggal di rumahku untuk sementara waktu.”

“Tidak, aku tidak ingin mengganggumu. Lagipula, aku punya apartemen yang cukup nyaman.”

Shane menyerah. Bibinya adalah seseorang yang bersikukuh dengan kata-katanya dan ia tidak bermaksud membantah wanita itu. “Kalau begitu aku akan mencoba menghubungi Ryan..”

“Itu percuma saja,” potong Jannate. “Dia tidak mengangkat teleponku sejak kemarin. Sebelum aku menghubungimu dan memintamu untuk datang, aku juga sudah menghubunginya lebih dulu. Tapi dia tidak menjawab panggilanku.”

Kedua bahu Shane merosot. Ia menatap ke sekitarnya dan menyadari sesuatu yang tertinggal. “Dimana paman Martin?”

Pamannya, Martin Dawson, pria berusia lima puluh tahun sekaligus anak bungsu dalam keluarga Dawson, telah memiliki cacat mental sejak berusia delapan tahun. Penyakit itu dideritanya akibat benturan keras pada rahim yang dialami oleh nenek Shane saat mengandung putra bungsunya itu. Pada usianya yang ke dua belas tahun, kedua orangtua Martin telah meninggal dan sejak saat itu hak asuh Martin pindah ke tangan kakak-kakaknya, Jannate dan Mike Dawson. Namun, dengan kesibukan mereka selama bertahun-tahun, Martin jauh berada di luar pengawasan.

Lima tahun yang lalu, pada hari ketika Martin ditemukan di anak sungai bersama seekor anjing tetangga yang tewas di tangannya, Jannate telah memutuskan untuk membawa adik bungsunya itu ke rumah sakit jiwa untuk mendapat pengawasan khusus. Namun, nyatanya hal itu tidak berhasil. Seorang ahli kejiwaan mengatakan kalau tempat yang terkurung tidak akan berhasil untuk kesehatan Martin, tapi Jannate bersikeras untuk membiarkan adiknya menetap di sana. Hasilnya tidak begitu baik. Dalam beberapa kesempatan, para suster mendapati Martin tengah melakukan percobaan bunuh diri sebanyak duakali. Dan setelah mengetahui hal itu, Jannate menyerah untuk membiarkan Martin bebas berkeliaran di Dawson Rest.

Tidak seperti Jannate, Mike Dawson tidak begitu acuh dengan kondisi adiknya. Shane menyadari bahwa sifat itu adalah hal yang paling ia benci dari ayahnya. Sebaliknya, Shane bersikap sangat peduli pada kondisi kejiwaan pamannya. Sebagai psikiater muda, kepedulian besar terhadap kondisi orang-orang yang jiwanya bermasalah telah melekat pada dirinya. Meskipun Shane tidak bisa menyembuhkan pamannya, setidaknya ia memiliki hubungan baik dengan laki-laki itu.

Baru satu tahun yang lalu Jannate membayar seorang perawat muda bernama June Marion untuk mengasuh Martin. Sejauh ini June bersikap baik. Wanita itu memiliki sifat lemah lembut dan tipikal seorang perawat yang patuh. Dalam beberapa bulan pertama, Martin tidak begitu nyaman dengan kehadiran June sebagai perawatnya. Namun, setelah berbulan-bulan, Martin akhirnya mulai terbiasa. Jannate menganggap sikap diam Martin dengan keberadaan June sebagai sesuatu yang baik. Meskipun begitu, hingga saat ini Shane tidak bisa memercayai June sebagai perawat yang baik. Entah bagaimana, Shane merasa wanita berusia dua puluh lima tahun asal Virginia itu memiliki maksud tertentu. Dalam beberapa kesempatan, Shane memergoki June menelepon seseorang pada jam-jam kerja. Shane bukannya tidak memercayai June Marion sepenuhnya, hanya saja ia berharap dapat menyarankan Jannate untuk segera mencari perawat baru.

“Aku tidak tahu,” jawab Jannate akhirnya. “Biasanya dia berkeliaran di luar pada tengah malam.”

Itu bukan sesuatu yang baru. Tidak hanya sekali Shane berpapasan dengan pamannya di taman kota yang terletak tak jauh dari Dawson Rest. Kali kedua ia melihat pria itu berkeliaran pada malam sekitar pukul sembilan di dekat biara. Bangunan tua yang telah hancur itu entah bagaimana telah menjadi tempat favorit pamannya selama beberapa tahun terakhir. June Marion mengatakan kalau Martin sering mengunjungi biara itu untuk sekadar menatap kolam di dekat sana. Itu sesuatu yang aneh, tapi bukan hal yang mengejutkan.

“Tunggulah disini, aku akan meminta petugas polisi untuk mencarinya. Setelah itu kita bisa bersama-sama pergi ke apartemenmu.”

Jannate tidak membantah. Kali ini wanita itu hanya berdiri dengan gugup begitu Shane bergerak pergi meninggalkannya untuk berbicara dengan petugas di dekat pintu. Seorang pria tinggi bertubuh besar itu mengangguk kemudian berbicara dengan seseorang melalui saluran suara yang menggantung di bahunya. Ketika petugas itu menghampirinya, Jannate merasakan kepalanya berdenyut-denyut dan tubuhnya mulai goyah. Tepat ketika petugas berseragam itu sampai di hadapannya, Jannate kehilangan pijakan dan jatuh pingsan.

Beritahu saya tanggapan kalian untuk cerita ini 😊

MEGALOMANIAC (Boston Highway seri ke-2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang