Semesta Tak Sediakan Senang

163 38 33
                                    

(part prolog singkat)

Semesta tak sediakan senang
Sedih bukan milik sendiri
Harap jadi pelampiasan
Bagi jiwa-jiwa yang tertutup sepi.

-Lembayung Senja-

_____

Kota Yogya masih dengan gerimis yang mengguyur. Kaca cafe mulai berembun. Seorang gadis berkacamata duduk di baliknya, menyeruput secangkir kopi nikmat digenggamannya.

Pukul 9 malam.
Satu jam berselang setelah titik hujan pertama jatuh mengenai kaca di depannya.
Ia masih di sana. Menghitung mundur tiap detik yang bergerak maju.

"Falin! Ah, maaf menunggu lama, jalanan tadi macet sekali" Nalan, pemuda di sampingnya menarik kursi di sebelahnya. Cengar-cengir dengan wajah tak berdosa.

"Klise banget, bosan tahu!" Falin mengusap kacamatanya yang berembun, ikut tersenyum.

"Ya mau gimana, motor gak bisa terbang kan?" Kata Nalan bercanda, "Mbak!" Panggil Nalan ke salah satu waitress, "Cappuccino hangatnya satu ya."

"Ga pernah berubah," Falin tertawa pelan, "Kamu baru bangun tidur kan? Tuh beleknya masih ada" Lanjutnya.

"Haha, tau aja! Kenapa ngajak ketemu? Tumben loh" Kata Nalan.

"Emm, gak pa pa, ketemu bentar boleh kan? Ada yang harus kuomongin" Falin mengusap kacamatanya. Lagi.

_____

Nalan menghempaskan tubuhnya ke kasur. Air matanya luruh. Nalan tak tahan lagi. Ia tak tahu harus apa.

***

"Maaf. Nalan." Falin tertunduk.

"Buat apa?" Nalan menatap Falin, menengadahkan kepalanya.

"Gak ada masa depan bersamaku. Gak ada. Gak mungkin ada" Falin menunduk lagi. Ini kesekian kalinya ia menangis hari itu.

"Hei, kenapa? Kamu bisa cerita ke aku," Nalan tersenyum. "Jangan nunduk"

Tapi Falin tak sanggup memandang lurus. Kepalanya berat untuk disanggah. Sulit sekali untuk menahan air matanya.

Nalan terdiam. Falin masih terus menangis. 3 menit yang hening terasa 3 jam, detik bagai siput memanjat. Lambat. Nalan tahu Falin hanya ingin bebannya jatuh bersama derai air matanya. Maka ia biarkan Falin bersama sedihnya.

Cafe mulai sepi.

Bersamaan dengan tangis Falin yang mulai mereda. Ia tak ingin terus menangis. Paham Nalan juga sedih melihat ia begini.

"Terus kenapa?" Nalan beranikan membuka obrolan.

"Besok aku pergi. Kamu tahu buat apa" Falin menatap mata lawan bicaranya. Dalam, jelas ada sesak tersimpan di gurat sayu iris matanya.

Nalan perlahan mengangguk.

***

Pertemuan tadi cukup menyedihkan untuk diingat Nalan. Ia bangun, terduduk lemas di ujung kasurnya. Di satu sisi, ia berharap ini mimpi, namun di sisi lain ia tahu bahwa tak ada satupun mimpi diantara mimpi-mimpinya yang benar-benar bisa ia ingat dengan sempurna.

Setahun lalu juga begini.

Bukan pertama kali Nalan merasa hatinya remuk redam. Pedih sudah berulangkali ia terima, tapi bukan berarti Nalan mati rasa.

Berapa kali sih, aku ditinggal? Aku selalu ada buat mereka, terus salahku di mana?

***

"Nalan, kamu sudah dewasa, bisa kan aku tinggal? Gak lama kok"

***

Apa dewasa berarti gak boleh nangis? Apa dewasa berarti aku gak bisa patah? Apa dewasa berarti kuat?
Maaf. Tapi sepertinya kamu salah orang, Falin.

Nalan menghela napas pelan. Ia kembali merebahkan badannya. Memejam. Biasanya tengah malam begini ia memandang langit. Melihat bulan dan bintang selalu beriringan, melihat awan selalu bergandeng. Ah, tapi malam ini sepertinya ia tak selera membuka mata. Tak berniat membukanya lagi, bahkan. Ia biarkan gorden kamarnya tertutup. Lampu ia padamkan.

Biar gelap. Kayak perasaanku sekarang.

Nalan lelah dengan hidupnya. Biarkan dia tertidur sebentar.

_____

Falin membuka pintu rumahnya. Tak ada orang. Tak pernah ada. Ia menggeleng pelan, terus berjalan menuju kamarnya.
Tas jinjingnya ia letakkan begitu saja di lantai. Ia sudah tak kuat berjalan, tersimpuh tepat satu langkah dari kasurnya. Rambut panjangnya terurai acak-acakan. Siapa peduli? Toh, tiada yang melirik. Ia kembali menangis. Kencang sekali. Ia pastikan tak ada satu bulirpun air matanya yang tertahan. Lantang teriaknya menggema satu ruangan, berharap bebannya menguap seiring gemanya memantul. Namun tetap hening. Semua tutup kuping. Benar kan? Tak ada yang peduli. Satu-satunya yang peduli akan ia tinggalkan lusa. Falin tertawa renyah di sela isaknya.

Jahat banget, ya? Ninggalin seseorang yang udah sayang sama aku. Maaf, Nalan, sekantung berlian yang aku punya harus kubuang demi sampai ke pelabuhan. Aku gak takut tenggelam, gak pernah takut. Aku cuma takut, setelah aku benar-benar tenggelam nanti gak bisa ketemu kamu lagi. Gak pa pa, cuma sebentar kok. Jangan risau, kapan-kapan kita pasti bertemu. Yakini saja.

***

"Aku peduli sama kamu. Kamu paham kan?" Kata Nalan setengah berteriak di depan cafe, 1 menit sebelum berpisah.

Hujan telah reda. Menyisa genangan di tengah ceruk jalan yang aspalnya melesak.

"Iya! Sudah paham dari dulu kok!" Balas Falin samar. Ia tersenyum. Tidak sumringah, tapi Nalan tau Falin senang mendengarnya.

"Yaudah. Kalau gitu jangan nangis terus! Kamu gak sendiri, Falin!"

Falin tertawa renyah, air mata menumpuk di pelupuk mata, bukan sedih, kali ini ia bahagia, mengetahui bahwa masih ada orang yang mencintainya. Satu. Namun itu lebih dari cukup buatnya. Segalanya bagi Falin adalah satu, Nalan.

***

Tawanya lenyap. Berganti tangis yang tak ada bosannya menghampiri lagi, lagi, dan lagi.

Nalan. Kamu lelaki baik-baik. Jangan mau disakiti perempuan seperti aku. Besok cari yang baru ya? Mau kan?

10 menit berlalu, Falin letih menanggung beban yang bukan cuma miliknya. Tangisnya terhenti, deru napasnya yang memburu perlahan teratur. Ia terbaring di dinginnya ubin lantai kamarnya yang membeku. Mata sembabnya terpejam rapat. Sekarang ia masuk ke alam bawah sadarnya. Tak bermimpi. Gelap tapi nyaman

Masa bodoh! Hidup serasa mati, lantas apa gunanya?

_____

Malam itu, Falin dan Nalan sama-sama terlelap sepulang dari pertemuan mereka di cafe. Dua anak manusia yang saling mencintai sebentar lagi berpisah, entah sampai kapan.

Tak apa menangis, menangislah sepuasmu. Setelah ini lelaplah sampai pagi menjemput. Tuhan punya cara beri istirahat. Alam yang lain menunggumu, ayo masuk! Lupakan beban dan menarilah di sini. Jangan ragu! Kamu juga butuh rehat sejenak, capek juga tinggal di alam sadar, ya? Main sebentar tak apa kan?

_______________

Alhamdulillah kelar...
Masih sedikit ya? Besok saya coba lagi.
Ini masih prolog, cerita inti masih jauh. Nanti saya kenalkan pada teman-teman saya.

Maaf plot masih berantakan. Saya masih belajar, nunggu masa depan masih lama prosesnya, apalagi buat dituang ke dalam segelas cerita seperti ini.

Ini cerita pertama saya, mohon dukungannya ya, karena dukungan kalian bikin saya semangat memotivasi banyak orang yang sedang dalam fase yang sama seperti saya🥰🥰

Salam hangat, Aku~~

Dep.re.si/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang