Ketika Senja Mengukir Nama

90 20 6
                                    

Rasanya baru kemarin
Tapi sudah lama sekali
Mendua dalam bayangan
Semu, tanpa tahu apa yang dihadapi

_____

"Buat apa kesini?"

Pemuda di depannya menghela napas panjang. Menyandarkan punggung di sofa empuk rumah lawan bicaranya.

"Ga boleh? Lusa kamu udah pergi" ia mengangkat sebelah alis, menyeruput secangkir teh hangat yang dihidangkan sang tuan rumah padanya.

"Kenapa mau temenan sama aku? Kamu tau kan, aku ga bisa ada buat kamu lagi?"
Falin berbicara. Lirih. Nadanya terdengar putus harapan. "Ga ada lagi kesempatan buat kamu ketemu aku" lanjutnya.

"Ku tunggu. Kamu pasti pulang" Nalan menekankan tiap kata yang ia ucapkan. Yakin bahwa nanti Falin akan segera pulang.

"Terserah" Kata Falin. Pemuda di depannya ini benar-benar keras kepala.

"Sayang kan sama aku?" Nalan bertanya lagi. Kali ini nadanya serius sekali. Nalan tidak pernah seserius ini. Manik mata pekatnya menatap lurus ke arah Falin yang membeku. Falin tahu, Nalan tak main-main dengan perkataannya barusan.

Sepersekian menit Falin terdiam. Sedang Nalan masih terus menatapnya dalam. Ah, Falin pasti kaget sekali. Sejujurnya, ia bingung. Apa yang harus ia katakan? Tak pernah ada yang menyebut kata "sayang" padanya selama ini.

Nalan kembali rileks. Ia tahu pertanyaannya terlaku berat untuk dijawab Falin.

"Kalau aku sih iya" katanya santai. Menyilangkan kaki sembari meraih sekotak rokok dari saku jaketnya.

Falin terbelalak. Nyalang matanya memandang temannya satu ini. Dahinya mengernyit heran. Jantungnya berdegup kencang.

Nalan sayang sama aku?

Nalan menyalakan rokoknya, lantas mengisapnya. Masih tetap santai dengan omongannya barusan. Tak peduli raut wajah Falin yang masih membeku, ia malah  asyik menikmati sepuntung rokok favoritnya itu.

"Nggak" Falin akhirnya membuka mulut setelah berdiam lama. Sakit mengatakannya. Ia tak bisa jujur. Bukannya takut. Ia hanya ingin Nalan tidak terbebani saat ia pergi nanti.

Nalan melongo. Giliran ia yang terkejut. Rokok yang seharusnya diisap malah ia tiup. Asap bernikotin dari rokoknya nyangkut di kerongkongan. Tersedak, ia sulit bernapas. Buru-buru ia meminum teh yang tinggal separuh di depannya. Namun tidak lama kemudian, ekspresi wajahnya berubah. Ia tersenyum. Hangat. Lebih hangat dari matahari musim semi di Korea tahun lalu. 

Rasanya Falin menyesal sekali dengan apa yang ia ucapkan barusan. Falin tahu apa yang Nalan rasakan justru lebih sesak dari perasaanya sendiri.

Nalan yang pintar menyembunyikan perasaan kali ini menunjukkan bakatnya lagi. Di depan orang yang sangat ia sayangi ia kembali berulah. Menyembunyikan sakit memang sudah ia lakukan bertahun-tahun lamanya. Hatinya sudah kokoh. Nalan sudah bukan bocah ingusan yang mudah menangis saat tidak diberi mainan. Beban yang sudah ia terima tak lebih buruk dari kata "nggak" dari Falin. Kecewa? Jangan ditanya. Namun Nalan adalah pria dewasa sekarang. Semalam ia sudah menangis, maka tak ada lagi air mata yang boleh jatuh hari ini. Tak ada. Tak boleh ada barang setetespun. Karena Nalan tahu ia pria kuat.

Senyumnya mulai samar. Rokok yang tadi ia isap dimatikan dalam asbak meja ruang tamu Falin, tempat mereka bercengkrama tadi. Matanya berubah sendu. Mata tak pernah berbohong, bahkan jika perasaan Nalan berkata sebaliknya. Falin mengerti. Ia menunduk penuh sesal.

Nalan beranjak. Berjalan menuju pintu rumah Falin tempat ia masuk tadi. Tak ada sepatah katapun yang bisa dilontarkan. Nalan harap Falin pahami itu. Tak perlu ada apapun lagi yang perlu dibicarakan pagi itu.

Dep.re.si/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang