Jalan bukan tiada
Gamblang langkah akan kemana
Kita sama-sama punya
Lantas mengapa takut berpisah?-Baskara Di Ufuk Timur-
_____
"JANGAN!!!!JANGAN PUKUL MAMA!!"
Falin terbangun. Keringat dingin membasahi tubuh jangkungnya, mimpi itu kembali terulang. Ah, entah sampai kapan ia mau begini terus. Siklus hidupnya yang monoton akan terus berulang tiap 24 jam sekali. Bosan ia rasa. Mau dikata apa? Memang sudah jalannya, ya jalani saja.
Ia turun ke lantai bawah, menuju ruang makan. Bagus, ada makanan. Setidaknya 2 manusia "asing" itu memberinya makan yang layak. Falin mengambil nasi, mengisi seperempat piring makannya. Pagi ini lidahnya tak selera mencicipi secuilpun makanan di hadapannya. Ia menggeleng, Dasar bodoh! Ayo makan. Ia masukkan suap demi suap nasi ke dalan mulutnya. Hambar. Lidahnya kelu sejak semalam. Kopi pahit malam itu adalah yang terakhir dapat dirasakannya. Matanya masih sembab, rambut acak-acakan, dan hidung berair karena kedinginan semalam tidur di lantai.
Klangg
Ia sudah tak tahan. Membanting sendok suapan terakhirnya ke lantai. Nasi berceceran, namun ia tak peduli. Ia kembali ke kamar. Mengunci pintu dan berbaring di kasur. Hanya ada temaram. Gorden besar itu menghalangi matahari menyapa. Persetan! Falin tak peduli. Tubin ia berangkat. Sampai hari itu tiba, ia harus mencoba berderana sedikit saja.
Ia tersenyum membayangkan betapa indahnya dunia barunya, memejam, dan berimajinasi. Betapa jauh dia dari orang-orang yang tak menganggapnya ada nanti. Betapa jauh ia akan pergi dari orang-orang yang terus-menerus menyakiti hatinya.
Tapi...
Nalan.
Matanya terbelalak. Terperanjat kaget dari imajinasinya.
"AH, BR*NGSEK SATU ITU! KENAPA AKU DULU KETEMU SAMA DIA?!"
Falin mengusap wajah. Ia kesal. Kenapa di saat Falin ingin melupakan dunia lamanya, ia selalu teringat Nalan. Nalan tak benar-benar sayang padanya! Semua itu bohong agar Falin bisa tersenyum. Padahal pada akhirnya, Nalan tahu senyum Falin juga akan lenyap.
"Kenapa dulu aku ketemu sama dia"
***
"Falin, ya?"
"Eh?" Falin mengernyit.
Perpustakaan kampus ramai hari minggu itu. Di bangku paling ujung dekat jendela Falin terpekur. Menatap kosong jendela besar di sebelahnya. Di luar hujan angin. Rasanya dingin walau di sini hangat. Falin menarik lengan sweaternya, mencoba fokus dengan buku di depannya.
Arah Yang Hirap.
"Falin, kamu baca buku apa?" Pemuda di seberang meja bertanya.
Falin menengok. Menatap matanya sebentar, "Bukan apa-apa" Singkat.
Falin tidak suka basa-basi. Sedang pemuda di seberang meja ini mengajaknya bicara hal-hal yang tak penting.
"Hmm. Eh Kita belum kenalan kan?" Katanya sedikit canggung, "Nalan" Pemuda itu mengulurkan tangannya.
Falin memalingkan wajah dari buku yang dibacanya, menghembuskan napas pelan, ia tak ingin terlihat gusar di depan orang baru, tidak sopan, "Falin" Balasnya menjabat tangan Nalan, pemuda di seberang mejanya, "Kenal darimana?"
Tanyanya. Sekujur tubuhnya ia hadapkan ke arah Nalan."Hah? Eh, iya dari kartu mahasiswamu, tadi jatuh" Nalan merogoh saku celananya, meraih sebuah kartu mahasiswa yang bukan miliknya, "Nih" katanya sembari menyodorkan kartu tersebut.
Falin memperhatikan nama yang tertera. Ya, itu namanya.
"Makasih" Falin tersenyum. Terpaksa. Sudut matanya mengisyaratkan yang lain. Sayangnya, Nalan peka apa yang diisyaratkan Falin.
***
"Non Falin?" Bi Titin masuk ke kamar Falin.
Mendapati Falin membungkam wajah dengan bantal, ia tahu bahwa Falin sedang bersedih. Ah, sejak kapan Falin nggak sedih? Gadis berkacamata itu kesepian. Bi Titin paham itu. Falin tidak pernah punya teman sejak kecil. Terjebak dalam pemikiran "aku paling buruk" miliknya sendiri, yang pada akhirnya meruntuhkan percaya dirinya. Anggapan-anggapan "aku si pecundang" yang telah tersangkut di otaknya sekian lama membuatnya kehilangan arah. Falin tak punya tujuan. Ia tersesat. Kehilangan jati dirinya sendiri.
***
"Gak pernah ada orang yang tulus sama Falin!"
Ayunan taman halaman rumah Falin bergoyang pelan. Ia telah berdiri, berseru lantang bak demonstran politik. Di hadapannya seorang pria tengah berlutut, tertunduk lesu. Jelas si pria inilah yang di teriaki.
Falin masih berusia 8 tahun waktu itu. Masih berwujud gadis kecil yang suka main boneka. Sore ini pertama kalinya ia mengutarakan bencinya. Bukan. Bukan pada pria itu. Bukan juga pada Tuhan. Falin tidak benci semuanya.
Ia hanya benci dirinya.
Benci mengapa ia tak bisa jadi seperti gadis-gadis lain. Benci mengapa ia harus jadi pengecut. Benci mengapa ia harus terlahir sebagai seorang anak manusia.
"Tapi ayah sayang sama Falin. Falin anak ayah" pria di hadapannya mendongak. Menatap sendu wajah Falin, anaknya yang nanar.
Pria itu menyebut dirinya ayah. Seseorang yang menganggap Falin sebagai anaknya yang ia cintai.
"Tapi ayahku gak seperti kamu!" Falin kembali menyahut.
"Sekarang kamu juga anakku, Falin" si pria kembali menunduk pilu. Bilur pedihnya gamblang terpeta di sudut matanya.
Falin mulai menitikkan air mata. Pria di hadapannya bukanlah sang ayah yang ia kenal. Ayahnya bukan dia!
"Nggak! Ayahku bukan kamu!"
***
Falin membungkam wajahnya dengan erat. Hampir kehabisan napas, perlahan tekanannya ia kendurkan. Bi Titin sudah menunggunya, ia duduk di pinggir ranjang, tepat di sebelahnya.
Falin melihat sekilas nampan yang dibawa Bi Titin.
Ah aku benci obat.
"Non minum dulu, ya, ayo! Non harus bisa sembuh" bi Titin dengan senyum sumringah menyodorkan segelas air dan 5 butir pil kepada Falin.
"Falin sakit apa, bi? Falin Kan ga kenapa-napa. Kok minum obat segala? Falin kan udah gede, bibi kasitau dong" Falin meneguk segelas air tersebut.
"Non Falin gak kenapa-napa kok" senyum bi Titin pudar. Pupil matanya mengisyaratkan Falin untuk diam dan berhenti bertanya.
"Mm, iya bi"
Bi Titin melangkah keluar kamar. Meninggalkan Falin sendiri. Senangnya tak berselang lama, memang benar tak ada yang mau datang dan temani dirinya. Falin menarik selimut, ia ingin memejam dan bermimpi. Ia bosan dengan dunia nyata. Ia ingin bermain, berteman, dan menjadi senormal gadis-gadis lain sebayanya.
Baru semenit Falin memejam ketika pintu utama rumahnya diketuk. Ia membuka matanya, memutar bola matanya malas dan beranjak membukakan pintu bagi orang yang telah kurang ajar menggagalkan mimpinya.
Cklek
Nalan?
_____
Maaf. Part 2 tak sepanjang jalur tol Jagorawi. Malam ini saya gak bisa mikir. Gak pa pa kan? Besok saya buat lebih baik!
Mohon dukungannya ya, karena saya masih amatir dan perlu lebih banyak belajar. Saya tunggu sarannya🥰🥰Salam hangat, Aku~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Dep.re.si/
Romance"Kamu ga pernah tau hidupku, Falin! Kamu ga pernah bisa ngerti!!" Bau tanah kuburan malam itu menguar. Malam dan raganya kembali mengukir abu. Falin tak akan pernah tahu sakitnya menjadi Nalan, tapi Nalan juga tak akan tahu sakitnya menjadi Falin. F...