Langit Yang Ku Tolak

47 8 1
                                    

Pejamku mengerat
Sedang genggamku melemah
Berbanding terbalik
Persis seperti kamu

_____

Nalan berjalan pulang dari perpustakaan sore itu. Gadis tadi benar-benar membuatnya jatuh hati. Namun Nalan ragu, apa gadis itu mau menerimanya?

Nalan hanya seorang pemuda biasa. Tidak rupawan, tidak terkenal, apalagi berprestasi.

"Sore," katanya membuka pintu rumahnya, "Tetap nggak ada yang peduli, ya? Nggak pa pa, aku nggak pernah marah sama kalian" lanjutnya tersenyum.

Nalan menapaki lantai rumahnya yang dingin. Di luar hujan mulai turun. Agustus ini memang langit sepertinya sering menangis, ya?

Ia berjalan ke dapur. Menyeduh coklat panas untuk menghangatkan raganya. Embun mulai menyelimuti kaca jendela di depannya. Menutupi halaman belakang tempat ia dulu bermain dengan Kakek. Sudah lama sekali kakeknya meninggal. 15 tahun berlalu setelah hari kematian kakeknya. Tapi rumah pohon peninggalan kakeknya masih di sana.

Sudah lama sekali ya, Kek? Nalan di sini  rindu sama Kakek. Kakek rindu nggak sama Nalan?

"Ah!" Nalan meringis saat coklat panas yang diseduhnya nyiprat kena tangannya. Buyar lamunannya, ia menggeleng sembari membawa segelas coklat panas itu ke kamarnya.

***

"Kakek, cebenelnya olang-olang cayang ndak sih tama Nalan?" Nalan kecil yang baru berusia 5 tahun bertanya kepada kakeknya.

"Sayang, kok, kenapa Nalan tanya kayak begitu?" Tanya kakeknya sembari memaku kayu di halaman belakang rumah Nalan.

"Abisnya, Mamah cama Papah ndak pelnah main cama Nalan." Nalan kecil memanyunkan bibirnya. Menunduk, mentap rumput basah di bawah kakinya.

Kakeknya berhenti memaku. Ia berpaling, menatap cucu kesayangannya ini.

"Nalan, nggak main bukan berarti nggak sayang. Mereka itu kerja, uangnya nanti buat beliin kamu mainan baru." Ia mengelus rambut Nalan perlahan.

Sore itu, lembayung senja seolah tersenyum kepada Nalan. Ah, Kakek Nalan adalah satu-satunya yang peduli dengan Nalan.

Nalan menengadah. Menatap mata kakeknya yang sudah kena katarak. Sudut matanya yang keriput tersenyum. Mata memang tidak pernah berbohong.

***

"Rencana warisan Papa gimana?" Seorang wanita cantik duduk menyilangkan kakinya  di ruang tamu rumah Nalan.

"Bisnis Papa biar aku yang urus. Nggak perlu khawatir, toh aku suamimu," kata pria di depannya. Suami sang wanita.

"Iya, Nalan gimana? Kamu tau kan, kalo Nalan itu nggak ada yang peduliin sepeninggal Papa?" Sang istri bertanya lagi.

"Kamu ibunya! Salah siapa tiap hari kerjaannya cuma ngurusin grup sosialitamu?! Dia juga anak kamu!" Pria itu berdiri. Membentak wanita di depannya yang masih terkejut atas sikapnya.

"Kamu kenapa, sih? Bukannya sebelum nikah aku udah bilang kalo aku nggak mau punya anak?!" Wanita di depannya balas membentak.

"Mau gimana lagi? Nalan udah lahir, ya kamu dong yang ngurus dia! Sampai kapanpun Nalan tetap anak kamu!"

Nalan, yang malam itu habis menangis karena kepergian kakeknya, sudah hampir terlelap ketika mendengar kedua orang tuanya saling bersahutan di ruang tamu. Matanya memejam rapat, dahinya mengkerut takut. Air matanya sudah habis buat kakeknya, tak ada setetespun yang bisa ia keluarkan lagi.

Dan malam-malam selanjutnya sepeninggal kakeknya hanyalah pertunjukan drama bagi Nalan.

_____

Nalan duduk di kursi belajarnya. Membuka laptop dan mulai mencari hiburan. Jendela besar di depannya buram, tertutup air. Namun, Nalan tak bisa berhenti memandanginya. Berpikir. Tentang masa depan, tentang apapun itu yang bisa ia pikirkan.

Nalan selalu berandai-andai, hobi favoritnya kala kesepian. Dan seperti yang semua orang tahu, Nalan selalu kesepian. Jadi, berandai-andai adalah rutinitas hariannya.

Nalan sadar. Sekarang berharap terlalu tinggi hanya akan menghancurkan dirinya. Semakin ia terbang tinggi, semakin sakit juga kala ia terbanting jatuh.

Lucu ya, ketika harapan dijadikan pelampiasan atas realita, tapi malah menghancurkan diri sendiri. Ah, tak beda dengan bunuh diri.

Ah, besok akan lebih baik.

Apa lagi yang perlu diminta Nalan? Tidak ada. Apakah nafas dan raga tidak cukup untuk dijadikan alasan agar tetap bertahan hidup?

Karena sejatinya sehabis gelap akan terbit terang. Tak perlu takut atas gejolak duniawi, yakin besok ada hari yang lebih baik.

_____

"Falin pulang," ucap Falin melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.

Gelap. Temaram di mana-mana. Sementara bumantara perlahan merambah malam.

Pagi dan malam nampak sama. Ramai tidak ramai Falin tetap kesepian. Selalu merasa rendah ketika melihat gadis sebayanya asyik bergaul dengan dunia. Memandang semua orang lebih tinggi dari dia. Ia tidak cantik, tidak kaya, apalagi pandai bergaul. Hanya seorang gadis yang lupa cara bersyukur. Lupa bahwa rendah diri jauh berbeda  dengan rendah hati.

Falin melangkah pelan menuju lantai dua rumahnya, tempat kamarnya berada.

Masih gelap.

Ia ingin terlelap, bersama bayangan raganya.

Deg.

Falin teringat Nalan. Pemuda yang mengajaknya berkenalan di perpustakaan tadi. Satu-satunya orang yang mau berteman dengannya.

***
Tingg...

Sebuah pesan masuk di hp Falin. Ia tak peduli, masih terus melangkah.

"Eh, Falin! Itu nomorku, kamu simpan ya?" Nalan bertanya. Menghentikan langkah gadis yang diajaknya bicara tadi.

Gadis itu menoleh tanpa membalikkan badan, "iya." Seraya mengangguk dan berlalu pergi.

Pemuda itu menghembuskan napas pelan. Masih berdiri memandangi punggung sang gadis yang semakin menjauh.

***

Falin merogoh tas tangannya. Meraih hpnya dan membuka pesan dari Nalan.

"Kapan-kapan ketemu lagi, ya?"

Falin menutup hpnya. Matanya terbelalak tak percaya saat membaca pesan Nalan barusan.

"Iya."

Buru-buru Falin membalasnya. Ia takjub, ternyata masih ada yang mau berteman dengannya. Satu. Namun segalanya.

"Besok"

Falin rasanya hampir mati.

Senja perlahan berganti malam. Candra menggantung di singgasananya. Falin terngiang pesan tadi. Sebuah pesan yang benar-benar membuat malamnya seolah siang. Cerah.

Malam itu, untuk pertama kalinya Falin mau membuka tirai kamarnya. Ia tak bisa tidur hingga subuh menjemput.

Ah, Falin benar-benar tidak sadar, ya? Ia sama seperti gadis-gadis lain. Sama-sama menarik dengan caranya sendiri.

Malam itu juga, Falin tak mau terlelap. Hanya ingin memandangi langit dari kaca jendela kamarnya. Merasakan indah dunia walau sementara.

Semua orang tahu, satu yang mau menetap akan jadi kesan tersendiri. Karena satu itu spesial. Maka hari ini, Falin syukuri apapun walau hanya sebanyak satu.

Satu. Falin tersenyum. Senyum paling tulus buat satu. Hanya dia. Nalan. Orang pertama yang mau menetap di kemudian hari.

_____

Hari ini tidak ada yang spesial. Maaf hanya ini yang bisa saya tulis. Ide pergi entah kemana. Ini part paling membosankan sejauh yang saya tulis. Saya rasa kinerja menulis saya menurun drastis dari par pertama.

Saya tak berharap semua orang mau menerima diri saya. Karena itu, yang mau tinggal saya dipersilakan, namun jika mau berpindah ya tak apa. Yakin besok akan ada pengganti.

Salam hangat, Aku~~



Dep.re.si/Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang