Chapter 2

23 5 2
                                    

Baru saja aku hendak melangkah lagi, tapi tanganku dicekal oleh seseorang dari belakang. Sungguh saat ini aku benar-benar marah. "Mengapa kalian terus mengganggu langkahku hah?" tanya ku marah sambil berbalik menghadap seseorang yang mencekal tanganku tadi.

Betapa terkejutnya aku melihat siapa orang itu. Bagaimana aku tidak terkejut melihatnya, seseorang yang cukup berpengaruh dalam hidupku. Seseorang dari masa laluku.

"Kau tampak berbeda dengan yang dulu Hanna," ucapnya dengan seringaian lebar yang masih sama mengerikannya dengan dulu.

~°~°~°~

Mata biru itu terus menatapku dengan sangat lekat, tentu saja dengan seringai yang terus diperlihatkannya. Wajah tampan dengan hidung mancung serta rahang tegas itu seolah menghipnotisku. Oh ya, tak lupa kedua alis tebalnya yang mampu membuatku terpesona. Dia sungguh tampan, jika boleh jujur.
Tapi bukan itu yang membuatku terkejut. Bukan wajah tampan atau tubuh tegapnya. Tapi lebih ke identitasnya, tentang siapa dia.

Bagaimana aku bisa melupakannya, seorang dari masa lalu kelamku yang turut serta menjadi tokoh antagonis di dalamnya. Seseorang yang karena kediamannya mampu mengubah hidupku, merenggut kebahagiaanku.
Ya, orang itu.

~°~°~°~


Flashback on

Ruangan luas berwarna putih adalah hal yang pertama kali kulihat saat membuka mata. Bau alkohol dan suara mesin penanda detak jantung juga samar terdengar di telingaku. Ah ya satu lagi, selang bantu pernapasan dan juga selang infus terpasang di tubuhku. Aku yakin saat ini pasti sedang berada di rumah sakit.

Perlahan aku berusaha bangun, tapi tak jadi karena rasa sakit yang tiba-tiba terasa di kepalaku. Kugerakkan tangan untuk menyentuh kepalaku, dan ternyata ada perban melekat di sana. Apakah keadaanku separah itu sampai harus dipakaikan selang bantu pernapasan dan juga perban. Entah, aku sendiri juga tak tahu, yang kuingat hanya sebuah mobil menabrakku saat aku berhasil keluar dari gudang tempat penyiksaan itu.

Tapi bagaimana aku bisa ada di sini, maksudku di kamar besar ini. Aku yakin pasti biaya kamar ini sangat mahal dilihat dari perabotan di kamar. Siapa orang baik hati yang menempatkanku di sini. Aku bahkan yakin jika itu adalah pihak panti asuhan tidak akan sampai menempatkanku di kamar besar ini, pasti aku hanya berada di ruang rawat biasa dengan banyak orang.

Saat aku masih memikirkan berbagai kemungkinan, tiba-tiba pintu kamarku terbuka menampilkan seorang perawat perempuan dengan seragam putihnya. Perawat itu kaget saat melihatku dalam posisi agak terduduk dan sudah tidak memakai alat bantu pernapasan. Ya aku melepasnya karena menurutku alat itu sudah tidak kuperlukan lagi.

Perawat itu segera menghampiriku dan memeriksa keadaanku. “Apakah kau merasa baik-baik saja nona?” tanyanya sambil memegang tanganku. Aku hanya mengangguk menanggapi pertanyaan perawat itu. Aku rasa keadaanku tidak terlalu buruk, hanya sedikit pusing di kepala dan nyeri di tangan serta kaki.

“Baiklah tunggu sebentar akan kupanggilkan dokter, kau jangan ke mana-mana,” ucap perawat itu kemudian pergi meninggalkanku sendirian.

Oh ayolah aku tidak mungkin pergi dari tempat ini. Bagaimana mungkin aku bisa pergi dengan keadaan seperti ini. Sungguh tidak masuk akal pertanyaan perawat itu. Lagi pula aku bukan seorang penjahat yang habis ditembak polisi hingga masuk rumah sakit, dan harus kabur setelah sadar agar tidak masuk penjara.

NyctophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang