Rasanya begitu berat kelopak mata miliknya terbuka. Pandangannya mulai berinteraksi dengan cahaya menyilaukan. Sedikit demi sedikit matanya mulai beradaptasi. Hingga kelereng amethyst itu terlihat dengan beberapa kedipan pelan.
Aneh saat tubuhnya terasa lemas. Hinata mencoba bangkit meski itu sia-sia. Ia pun hanya bisa bernafas panjang dengan ingatan kecil perihal alasan kenapa ia bisa di kamar serba putih yang ia ketahui cukup identik dengan rumah sakit.
Kali ini bola matanya kembali berair meski tidak sampai terjatuh. Hinata melengkungkan bibir dengan upaya menahan diri agar tidak menangis.
Sekarang ia sangat ingat. Pikirannya terlontar ke belakang saat di mana kesadarannya mulai menghilang. Hinata yakin, Toneri yang membawanya ke sini. Karena pria itulah yang membuatnya berontak kasar hingga berakhir suasana sekitar mulai berputar.
"Eh?"
Kelopak mata cantik itu mengerjab beberapa kali. Hendak menggerakkan tangan kanan namun aneh saat tangannya terasa berat.
Hingga ia menggerakkan kepala perlahan. Matanya terbelalak tak kuasa menahan keterkejutan di hati. Ia kenal betul siapa pemilik surai kuning yang kini tengah tertidur sambil menggenggam tangannya.
"Naruto-kun..."
Senyuman tercipta diiringi isakan lirih yang memecah kesunyian kamar. Air mata tak lagi dapat terbendung hingga terurai membasahi pipi.
"Maafkan aku..."
Saat ini hatinya sungguh bahagia sekaligus rasa sesal menjalari. Menggerakkan tubuh agar dapat menghadap sang terkasih yang masih lelap tertidur. Hinata tak ingin melepaskan genggaman hangat tersebut. salah satu tangannya pun tergerak hingga menyapa pipi Naruto yang sedikit memar akibat pukulan Toneri.
Pria itu yang membuatnya sesayang ini. Hatinya tak dapat menolak rasa sakit ketika Saara dan Toneri cukup licik hingga membuatnya percaya akan suatu kebohongan yang direncanakan.
"Aku mencintaimu, Naruto-kun..."
Kalimat cinta terucap diiringi usapan lembut seolah tak ingin ia membuat Naruto terganggu. Hatinya tersayat membayangkan sosok yang ia cintai harus mendapatkan bogem mentah dari Toneri. Bahkan perlakuan kasar juga sempat ia lakukan untuk berontak dari dekapan Naruto.
"Ku-kumohon Naruto-kun jangan pergi..." ia tak ingin menyakiti pipi Naruto yang memar bahkan sudut bibirnya membiru. Cukup membelainya dengan pelan dan penuh kelembutan. "Hiks... A-ku janji akan menjadi wanita yang sangat percaya padamu." jujur berat untuk berucap saat ia mulai sesegukan dengan derai air mata. "Hinata akan menjadi wanita yang lebih baik untuk bisa membuat Naruto-kun pulang dengan nyaman padaku. Bukankah aku ini calon istrimu?"
Ia tertawa kecil di sela tangisan tersebut. Hinata memeluk kepala Naruto meski, sedikit memaksakan diri di tengah kondisinya untuk bisa merasakan kehangatan ini.
Kali ini, Hinata menyadari ada beberapa orang yang melihatnya di balik kaca pintu ruangan ini. Namun ia tak acuh akan hal itu.
Pelukan sayang sudah cukup membuatnya sebahagia ini. Naruto sangatlah berharga. Pria yang sempat memalsukan identitas padanya itu, membuatnya gemas ketika dengkuran kecil terdengar. Meski hatinya masih gelisah tentang seperti apa sikap Naruto setelah ini. Paling tidak, ia masih bisa mendekap sang terkasih untuk saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's Play and Finish, OK! ✓
FanfictionMenciptakan sebuah ruang ketenangan untuk diri sendiri. Lari dari kekangan keluarga dan lebih memilih hidup sederhana pasca dilamar oleh mantan kekasih yang pernah menyakitinya..., Hyuuga Hinata. Menerima sebuah permintaan kecil untuk bisa mendapatk...