Bola mata biru distributor kaya raya ini tak lepas barang sedetik saja memandang bingung apa yang dilakukan Hinata. Pikirannya masih bingung, pun dengan lidahnya yang keluh meski hanya untuk merangai seuntai kalimat."Hinata...?"
Jangankan untuk membalas ucapannya, meliriknya sebentar saja Hinata seolah tak mau. Mungkin televisi sederhana yang menampilkan drama sinetron lebih menarik bagi pemilik netra rembulan anak ke dua Hyuuga Hiashi itu.
Naruto tak dapat membendung janggalnya sesuatu di hati. Ia merasa terabaikan. Hinata yang judes dan cerewet baginya lebih enak dipandang. Kebanding Hinata yang diam dalam bahasa kata yang bisa diartikan dingin.
Satu menit berlalu, Naruto tetap diam...
Tiga menit kemudian, sesekali ia mencuri pandang mengartikan diamnya Hinata...
Lima menit setelahnya, ada guratan bahagia terpapar di wajah rubah miliknya, di kala Hinata membalas tatapannya meski hanya sebatas lirikan, pun sang gadis kembali berfokus menatap datar layar tv di hadapannya...
Dan mungkin pejantan harus bertindak. Setelah sepuluh menit menanti hal tidak pasti layaknya orang bodoh, Naruto pun dengan tekad tinggi walau keberanian yang dipaksakan, mulai beranjak dari duduknya. Beralih mendekati sang pujaan yang entah berarti apa di hatinya saat ini.
Duduk pelan bersanding dengan gadis yang mungkin sudah ia bohongi sangat banyak. Namun sedikit pun gadis itu tak mau menatapnya.
"Hinata..."
Dengan penuh keberanian sekaligus kelembutan, tangannya tergerak membelai surai halus gadisnya yang menjuntai hingga pinggang.
Tetap tanpa ada respon, Naruto kian bingung namun ia tak mau mengambil pemikiran aneh perihal sikap Hinata kali ini yang mungkin tercipta akan kedatangan Neji sesaat tadi.
"Katakan sesuatu," Ujar Naruto pelan. Salah satu tangannya menghalangi atensi Hinata yang terfokus ke depan. Membuat gadis Hyuuga tersebut menepisnya kasar. "Sikapmu ini, aku tahu kau sedang marah..."
Tak tahukah, bila sekarang ini Hinata menahan sesuatu. Sekuat mungkin gadis itu menyembunyikan rasa hati di balik mimik wajahnya yang terlihat datar.
Ia bukanlah gadis bodoh. Bertahun-tahun dirinya mengemban ilmu hingga menjadi seorang yang berpendidikan tinggi. Sedikit banyak, Hinata mengerti hal berbeda yang ia lihat saat Naruto berinteraksi dengan kakak kandungnya tadi.
Pada akhirnya ia memutuskan untuk mematikan tv. Menoleh lantas menatap manik biru indah calon suami gadungannya itu. Di sana ia mendapati ketulusan besar, namun entah kenapa selalu ada keraguan yang ia takuti berdasar atas kebohongan.
"...Naruto,"
"Hm?"
Sejenak Hinata menunduk. Hal yang ingin ia lakukan adalah marah, namun ada rasa lain yang menahan semua itu. Sesuatu yang mungkin ia ekspresikan lewat diamnya tadi.
Lantas ia kembali mengangkat wajah, "Apa kau benar-benar menyukaiku? Atau ada hal lain yang kau sembunyikan?" Meski lirih, namun siapa pun itu pasti tahu, bila nada suara yang ia keluarkan sedikit parau.
Pria yang menyandang klan Uzumaki ini terdiam. Pertanyaan yang ia dengar bukan seperti biasanya. Terkesan sangat dalam meski teruntai sederhana.
"Aku sudah sangat sering mengatakannya, Hinata..."
"...aku tahu. Hanya saja,"
"Hanya saja kau merasa aku berbohong?"
Hinata menggelengkan kepalanya. Bahkan ia tak menolak saat tangan kiri Naruto mulai lancang membelai pipinya, "Bukan seperti itu. Ta-tapi...,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's Play and Finish, OK! ✓
FanfictionMenciptakan sebuah ruang ketenangan untuk diri sendiri. Lari dari kekangan keluarga dan lebih memilih hidup sederhana pasca dilamar oleh mantan kekasih yang pernah menyakitinya..., Hyuuga Hinata. Menerima sebuah permintaan kecil untuk bisa mendapatk...