V

11K 646 37
                                    


Satu kata untuk menyimpulkan aktifitas tak jelas Hinata sepulang kerja...,

Sulit tidur...

Menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Tak akan lupa dirinya dengan kata-kata Naruto sesaat tadi. Entah kenapa saat terlintas nan terekam untuk kesekian kalinya, ia ingin menangis.

"Sebegitukah aku bagimu, Naruto?" Gumamnya entah pada siapa. Berbaring di kasur sederhana salah satu fasilitas kontrakannya. "Aku tidak pernah begini. Aku dulu mungkin dikelilingi banyak orang yang menyayangiku. Tapi, tapi sungguh ucapanmu tadi entah kenapa membuatku lebih disayangi..."

Toneri? Keh, Hinata merasa bodoh bisa di tipu pria seperti itu. Sempat terlarut akan cinta bodoh yang membohonginya. Merasa disayangi namun di balik itu semua kenyataan begitu kejam. Dan jauh, jauh dan jauh dari kisahnya dan Toneri, ternyata ada Naruto yang mengaguminya.

"Aku tidak mungkin mengacuhkanmu, aku pun tak tega jika berkata sama sekali tidak menyukaimu... Apa aku kejam jika tidak peduli sama sekali? Dan jika kesanmu padaku benar-benar seperti itu, tetaplah bersamaku dan buktikan padaku..., akan ku tunggu saat waktu menjawab. Atau aku yang memaksa untuk mengetahui isi hatimu..."

Bibirnya tersenyum. Menggapai ponsel miliknya dan mulai mengetik sesuatu. Ia tak akan lupa Naruto sempat memberinya nomor ponsel.

'... Semoga mimpi indah...'

Send...

Kelopak matanya mulai tertutup. Menutup tubuhnya dengan selimut sembari memeluk guling. Tak lama waktu berselang ia pun terbawa alam mimpi. Naruto adalah pria pertama yang ia peluk sejak putus dengan Toneri.

Mungkin hatinya mulai terbuka...

***

"Dobe..., kenapa wajahmu seperti itu?"

Dobe yang dimaksud adalah Naruto. Pria stoick yang satu ini merupakan keturunan Uchiha. Tak kalah tampan bahkan mungkin lebih tampan dari Naruto, Uchiha Sasuke sering menjadi sorotan kaum hawa.

Naruto menyandarkan punggung pada sanggahan sofa. Ia lelah hari ini. Terlebih mogok yang ia katakan pada Hinata bukanlah kebohongan. Bahkan setelah mengantar Hinata pulang, motornya mogok lagi. Dan terpaksa ia harus membawanya sambil berjalan.

"Biarkan aku menginap disini..." Mulai tengkurap dengan tidak sopan. Sofa mewah apartemen Sasuke ternodai dengan keringat bau Distributor sialan itu. "Jangan bilang Sakura. Aku tak mau dianggap perebut suami orang..."

"Cih! Bisa kau diam dan tidak berkata seolah kita sedang selingkuh?!" Menimpuk keras kepala Naruto menggunakan bantalan sofa. Sasuke sungguh kesal. "Cepatlah menikah bodoh! Jika tidak kau akan semakin keriput dan tidak laku..."

Sang empu tak merespon. Namun ada satu kalimat yang ingin ia katakan pada sahabatnya itu. "Tidak mudah menarik perhatian wanita saat kau hanya seorang pengantar pizza, Teme," Katanya, "Tapi cepat atau lambat kau akan segera mendapat undangan pernikahanku dengan Hinata..."

Sasuke hanya menghembuskan nafas panjang. Entah kenapa ia rindu istrinya. Sakura yang sedang hamil ia tinggal mengurusi bisnis perusahaan di kota tempat Naruto mengejar sang tuan puteri.

"Seharusnya dari awal kau mengaku saja jika ini permintaan tuan Hiashi, dan juga jangan menyembunyikan identitasmu. Aku rasa jati diri adalah segalanya..."

Sasuke memang benar. Tapi apapun itu prinsip hidup atas nama jati diri juga memiliki batasan. Juga selalu memiliki alasan untuk tidak membukanya begitu saja.

Let's Play and Finish, OK! ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang