BAB 2 Lamaran dan Pernikahan

146 6 0
                                    

Keheningan terjadi dalam detikan jam berjalan.

Aku semakin menundukkan kepala, kedua ujung jari tanganku beradu dan bermain-main, mencoba menghilangkan kegugupan yang terjadi.

"Jadi ini yang namanya Fera? Kalau di lihat langsung, lebih cantik dari fotonya ya ...," kata seorang wanita paruh baya. Suaranya terdengar lembut. Bahkan kuakui lebih lembut dari suara Bundaku.

"Fera, kok diem aja. Kalau di puji itu bilang makasih," tutur Bunda.

Aku tersenyum tipis, kemudian berkata tanpa berani mengangkat kepala, "Terimakasih, Tante," ucapku sopan.

Wanita yang aku panggil dengan sebutan 'tante' itu terlihat mengulas senyum hangatnya.

"Kok tante manggilnya? Panggil Ummi aja," tutur wanita dengan khimar panjangnya itu.

Aku kembali tersenyum tipis. Kemudian ku tatap Bunda yang tampak mengangguk, menyuruhku untuk menyetujui permintaan wanita itu.

"Baik, Ummi," ucapku penuh keraguan.

"Oh iya, Fera. Jadi gini, kedatangan mereka kemari ini sebenarnya ada hubungannya sama kamu," sela seorang pria paruh baya. Dia ayahku, orang-orang memanggilnya Pak Hasan, sosok yang tegas dan tidak mudah untuk dibantah apalagi di lawan.

"Eh? Aku?" tanyaku kebingungan.

Ayah yang biasanya jarang sekali tersenyum, kecuali pada Bunda, kini aku bisa melihatnya tersenyum lepas sembari menatapku dan seseorang di seberang meja sana secara bergantian.

"Nak Fatih, silahkan memperkenalkan diri," suruh ayahku pada seorang pria yang sangat asing bagiku.

"Baik, Pak Hasan, jazakallahu khoir," ucap pria itu dengan gaya bahasa Arabnya.

Mendengarnya bertutur seperti itu, aku sedikit mengangkat wajahku. Merasa penasaran dengan wajah pria yang menurutku terlalu lebay menggunakan bahasa Arab hanya untuk berterima kasih.

"Mbak Fera," panggilnya.

Aku semakin diam membisu. Tenggorokanku seolah tercekat oleh sesuatu yang berduri.

Suaranya mengalun lembut. Ada getaran aneh yang menyelubungi setiap arteriku. Jiwaku meronta, hatiku tergelitik, dan jantungku ... detakannya bagai domba yang dikejar oleh serigala, berdegup kencang penuh adrenalin.

"Saya Fatih Al-habib. Kedatangan saya kemari untuk melamar Mbak Fera secara resmi," sambungnya.

Melamar?

Aku terhenyak. Kepalaku terangkat, ku tatap pria yang mengajakku bicara itu dengan binaran keterkejutan.

"Me ... melamar?" tanyaku terbata-bata.

Kemudian, dapat aku rasakan tangan Bunda meraih tanganku dan menggenggamnya dengan lembut.

Aku pun menoleh padanya. Bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi?

"Jadi begini, Fera ...." Ayahku menyela. Ayah sepertinya paham dengan raut wajah bingungku yang dipenuhi kepanikan.

"Beberapa bulan yang lalu, keluarga kita dan keluarga Nak Fatih ini sudah berembuk. Kami sepakat untuk menikahkan Fera dengan Fatih setelah Fera lulus SMA," jelas Ayah.

Tubuhku lemas seketika itu.

Aku di jodohkan?

Parahnya, orangtuaku menjodohkanku tanpa meminta pendapatku terlebih dahulu. Seolah semua ini harus aku terima dan aku jalani. Tidak boleh ada protes, tidak boleh pula ada penolakan.

Young WifeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang