BAB 4 Hari Pertama Menjadi Istrinya

157 4 0
                                    

Malam berlalu, sinar matahari menyambutku, aku menggeliat di atas tempat tidur.

Saat tanganku tanpa sengaja menyentuh kasur di sisi kiriku yang terasa dingin dan ternyata kosong, aku pun menoleh.

“Dia benar-benar tidak datang,” gumamku, seperti seorang istri yang kecewa.

Tapi kemudian, aku menggelengkan kepalaku kuat, ‘Apa yang kamu pikirkan, Fera?’ batinku.

“Seharusnya aku bersyukur karena semalam dia tidak datang ke kamar ini. Ya, aku seharusnya bersyukur,” kataku sembari meringsek bangun dari posisi tidurku.

Tapi anehnya, rasa kesal dan kecewa entah kenapa benar-benar menyerang hatiku.

Setelah pernikahan sederhanaku kemarin. Malamnya, deraian air mataku yang tak ingin pergi dari rumah menjadi perjalanan panjangku hingga aku dengan terpaksa ikut suamiku pulang ke rumahnya.

Sesampainya di rumah, suamiku langsung menunjuk sebuah kamar yang katanya akan menjadi kamarku.

Tanpa aku menunggu lama, aku pun masuk dengan segera ke dalam kamar yang ia tunjukkan padaku.

Dan sekarang, sepertinya kamar ini benar-benar milikku seorang. Tidak ada embel-embel kata kamarku dan kamarnya. Karena dia pun aku yakin tidak akan pernah ada niat untuk masuk ke dalam kamar ini.

Aku tersenyum miris mengingat bahwa diriku bagai istri cadangan, yang akan berguna saat istri pertamanya telah tiada. Ya, aku baru mengetahuinya kemarin.

Dari cerita Bunda, aku tahu kalau umur Mbak Sarah tidak akan lama lagi. Karena itu Mas Fatih di suruh keluarganya untuk mencari istri kedua. Istri yang dapat memberinya keturunan, juga mampu menemaninya hingga dunia berakhir.

Mengetahui fakta itu, rasanya aku ingin mencibir nasib burukku berulang kali. Kenapa harus aku diantara banyaknya wanita di luar sana?

Helaan napas kasarku pun tak henti-hentinya terdengar.

Lalu, tiba-tiba suara ketukan pintu menggema masuk ke dalam kamarku.

“Fera ...,” panggil sebuah suara dari luar sana. Itu suara Mbak Sarah.

Dengan cepat aku pun menyahutinya, “Iya?”

“Sudah bangun ya. Ayo cepat keluar dan makan bersama,” ajaknya.

Aku menatap pintu itu dalam diam. Melihat jam yang terpajang di dinding menunjuk ke angka delapan, aku tersadar kalau aku bangun terlewat siang dari waktu seorang muslim seharusnya bangun.

“Fera?” panggil Mbak Sarah lagi.

“Iya, Mbak, sebentar lagi aku keluar,” kataku yang langsung bergegas masuk ke kamar mandi, mengambil wudhu untuk menunaikan salat subuh yang tak sengaja aku lewatkan.

~•••~

Dua puluh menit aku mandi, berpakaian dan salat subuh. Setelah itu, aku keluar dari kamar menuju ruang makan.

Dengan langkah ragu, aku berjalan mendekati ruang makan yang terhubung dengan dapur itu.

“Fera,” panggil Mbak Sarah yang menyadari kedatanganku. Wanita itu tersenyum lembut padaku.

“Ayo duduk sini,” katanya sembari menunjuk kursi kosong di hadapannya.

Aku mengangguk, lalu duduk mengikuti instruksinya.

Meja makan itu di penuhi dengan menu sarapan yang ideal. Ada karbohidrat, protein dan bahkan sayuran.

Dalam hatiku ada rasa tidak enak saat aku sadar kalau semua makanannya masih utuh belum tersentuh. Mereka sepertinya menungguku keluar dari kamar untuk makan bersama.

Young WifeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang