02 - What?

212 25 21
                                    

Ditempat yang gelap, ia sedikit mendengar perkelahian yang cukup dekat. Matanya sayup-sayup terbuka, namun langsung dikagetkan ketika seseorang datang membawa sebilah pisau dan langsung menghunus ke perutnya.

" Ahkkk ". kelunya ketika pisau tersebut berhasil menembus perutnya.

" Anjing ".

Tiba-tiba sesorang datang menendang bahu laki-laki yang menusuknya sehingga terpental kebelakang membawa pisau yang sempat bersemayam diperutnya. Darah semakin merembes keluar, laki-laki yang menendang langsung mengajar membabi buta. Menyisakan tubuh tergeletak lemah di bawah sana. Sedangkan dirinya sudah lari, berusaha keluar dari lingkungan tersebut.

Napasnya tersengal, perutnya semakin nyeri. Lingkaran merah semakin lebar diarea itu. Tapi otaknya tetap memaksa untuk melangkah melarikan diri.

" Akh.. ". Pekiknya ketika ia terjatuh, sakitnya meradang ke kelapanya. Sungguh keadaan ini sangat enggan ia jalani. Apa yg terjadi? Kenapa?. Ia bangkit menekan kembali luka tersebut, berharap bisa mengurangi kadar darah yg keluar. Kearah mana ia sekarang? Tidak tahu. Ia hanya mengikuti nalurinya.

Akhirnya setelah hampir 20 menit berlari kesana kemari, ia menemukan jalan besar yg banyak dilalui kendaraan. Dengan tenaga yang tersisa ia menghentikan taxi.

" Rumah sakit terdekat pak ". Setelah itu kegelapan merenggut kesadarannya.

Una membuka perlahan kelopak matanya, sedikit menyipit ketika cahaya terang tergesa masuk ke matanya. Mencoba menyesuaikan kondisi tersebut akhirnya ia bisa menatap jelas langit langit ruangan ini.

" Atuh neng udah sadar? ".

Una mengalihkan pandanganya ke sumber suara. Oh bapak ini, dia ingat supir taxi yang ia tumpangi beberapa waktu yg lalu. Setelah berhasil mendudukan diri. Ia kembali menatap bapak tersebut

" Maaf, jadi repotin bapak ".

" Ngga apa apa neng, bapak mau ngabarin keluarga neng ngga tahu nomernya, bapak juga belum bayar uang rumah sakitnya. Soalnya bapak ngga ada duit ". Ucapnya dengan gurat wajah khawatir dan bingung

Una melirik meja disebelah ranjangnya, mengambil dompet yg mungkin adalah miliknya, menarik 4 lembar uang ratusan dan diulurkan ke bapak tersebut.

" Ini pak, sedikit anggap aja ucapan terimakasih udah bantuin saya kesini. Untuk keluarga dan biaya rumah sakit ngga usah bapak dipikirkan. Nanti saya yg ngurus sendiri saja ". Una berusaha menjelaskan niatnya memberi dan meredakan kecemasan bapak tersebut.

" Banyak bgt atuh ini neng, tapi terimakasih semoga kebaikan neng dibalas sama sang pencipta ". Una hanya menganggukan kepala.

" Bapak tinggal ngga apa apa neng, soalnya bapak ada target jam kerja. Jadi ngga bisa nemenin neng lebih lama ".

" Oo, silahkan pak. Saya minta maaf dan sekali lagi terimakasih pak udah bantu saya. Bapak tenang saja saya bisa sendiri ". Una mempersilahkan.

Setelah pintu tertutup, ia menatap kembali dompet yang sempat ia ambil tadi, melihat beberapa kartu, ATM dan beberapa lembar uang serta kartu identitas. Ia menatap kartu identitas, membaca dengan seksama apa yg tertera disana.

" Gue transmigrasi?, tapi ini dunia nyata. Di liat dari alamat, gue tahu daerah ini dan lagi sekolah ini gue dulu pengin bgt disana. Tapi Bang Arga ngga bolehin gue karena jauh ".

" Gue ngga ada ingatan apa apa lagi, bisa bisanya gue disana dan hampir mati lagi, huft.. gimana kabar bang Arga ya? ". Una berharap Abang nya itu baik baik saja, mengingat betapa keras kepalanya Arga. Dia tetep sosok Kaka laki-laki yang begitu menyayangi adiknya.

Me? Ataya!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang