#4 Anand KW

21 2 0
                                    

Sesampainya di rumah, Fisya segera membersihkan tubuhnya dan kembali berkutat pada sebatang cokelat pemberian Rey. Ia duduk di kasur dan menyandarkan tubuhnya di kepala kasur.

Alisnya berkerut dengan bingung. Kenapa Rey benar-benar mengingatkannya kepada Anand?

Mulai dari sikapnya yang konyol dan menyebalkan, panggilan namanya yang diubah menjadi Sasya, serta pemberian cokelat dengan seulas pita dan sebuah tulisan konyol.

Jika boleh jujur, Fisya sangat merindukan Anand. Teman masa kecil yang amat ia cintai. Seseorang yang selalu menjaga dan menyikapi kenyolotan Fisya dengan teramat sabar.

Kemana dia sekarang? Apakah Anand juga masih mengingat Fisya? Atau ia bahkan sudah melupakannya?

Air mata mengalir, membasahi kedua pipinya. Fisya tak mampu mengingat Anand tanpa merasa terluka. Laki-laki itu adalah cinta pertamanya. Dan Fisya amat berharap bahwa dia juga merupakan cinta terakhirnya.

Luka itu kembali terbuka. Kenangan masa kecilnya terkuak begitu saja. Air mata yang mengalir semakin deras. Fisya tak mampu membendung beban ini sendirian. Ia berharap, akan ada seorang laki-laki yang mampu merangkul dan dapat membantunya keluar dari masa lalu.

Karena Fisya tak mungkin seperti ini terus. Sampai kapan ia akan terus terbayang dengan masa lalu? Terlalu takut untuk mencintai dan memulai sebuah hubungan dengan orang baru.

Sebenarnya, Fisya juga ingin seperti gadis sebayanya, yang mampu berpacaran dan berbagi kebahagiaan dengan lelakinya. Namun, ia bahkan terlalu takut untuk didekati seorang laki-laki. Ia takut untuk mencintai dan dicintai.

Karena menurutnya, cinta dan luka adalah satu hal yang saling berkaitan. Ia tak ingin merasa terluka lagi.

+Aku ingin begini, aku ingin begitu+

Suara apa itu? Ah, ternyata ponsel Fisya berdering. Ada sebuah telepon masuk dari 'unknown'

"Halo, ini siapa?" tanya Fisya.

"Coba tebak siapa."

Astaga! Itu suara Rey, tidak mungkin Fisya salah mengenalinya.

"Ngapain lo telepon, gue?"

Ada suara tawa di seberang sana, "emangnya gue siapa?"

"Orang rese!"

"Ganteng, bukan rese."

Fisya mendengus kesal, kenapa laki-laki itu selalu sukses membuatnya naik darah?

"Bodoamat, terserah apa kata lo."

Rey hanya tertawa di seberang sana. Membayangkan wajah Fisya yang sedang kesal karena ulahnya. Yang menurutnya lucu dan menggemaskan.

"Kalo nggak ada yang penting, gue tutup nih teleponnya." Ancam Fisya, yang diam-diam sedang mencoba mengatur detak jantungnya yang tak karuan.

"Eh, jangan!"

"Yaudah, ada apa?!"

"Santai kali non, nyolot mulu kerjaannya."

"Suka-suka gue."

"Kalo gue sukanya sama lo."

Fisya meneguk salivanya dengan susah payah. Oh tidak, jantungnya berdetak dengan sangat kencang. Apakah laki-laki itu mendengarnya?

"Kok diem? Pasti lo lagi mencoba mengatur detak jantung lo yang berdebar sangat kencang, mendengar ucapan gue barusan. Cieee ...."

Apa?! Apakah Rey memang mendengarnya? Memalukan!

"Apa kata lo? Emang lo denger?" Ucapan terakhir Fisya lebih melirih. Sumpah, ia malu! Laki-laki itu pasti merasa menang sekarang.

Rey mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum lebar. Andai Fisya mampu melihat ekspresinya saat ini. Gadis itu pasti akan sangat marah kepadanya.

PHILOPHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang