18 | Assalamualaikum, Sunshine!

35 1 0
                                    

"Ma, Pa. Angga cabut ya. Assalamualaikum," ucap Erlangga dengan semangat.
Bu Wijaya merasa sangat senang melihat semangat Erlangga. "Waalaikumussalam, hati-hati ya, Sayang."
Pak Wijaya pun tak kalah senang. "Semangat olahraganya!"
"Biar tambah semangat, Papa juga harus olahraga dong!" ajak Erlangga.
"Iya, bolehlah. Nanti kita atur, Ngga."
"Mama juga," Erlangga kali ini melirik mamanya.
"Olahraga bareng, ide bagus tuh. Bolehlah nanti diagendain. Jadi, mama selain ikut kelas aerobic juga ada olahraga tambahan. Waaah, tubuh Mama nanti makin langsing tuh. Dan Papa makin sayang sama Mama," ucap Mama sambil bergelayut manja ke bahu Pak Wijaya.
Erlangga merasa geli dengan kelakuan mamanya. Ingin sekali dia tertawa begitu lepas. Namun dia pikir-pikir ulang, kuatir mamanya jadi tersinggung. Akhirnya, dia pun tersenyum dan berusaha kuat menahan tawanya.
Erlangga menghambur dari rumah. Dan dengan begitu cepat, dia kini sudah berada di luar pagar rumah.
Assalamualaikum, Sunshine!
Morning, World!
Erlangga mengucapkan kalimat itu dalam hati. Meskipun dalam hati, namun rasanya dia tengah berteriak sekencang-kencangnya. Moodnya pagi ini benar-benar bagus. Hatinya sungguh cerah, secerah pancaran mentari pagi ini.
Erlangga sudah bersiap diri untuk berkeliling jogging tak jauh dari kompleks TNI AL Rawa Bambu, Pasar Minggu. Tak ketinggalan Earphone terpasang di kedua telinganya dan hape dia taruh di saku celana olahraganya. Musik instrumental penyemangat aktivitasnya pagi ini sudah mengalun menembus hingga ke gendang telinganya.
Kamu harus punya target. Ayo segera tuntaskan kuliahmu
Kalimat itu muncul begitu saja di pikirannya. Beberapa hari ini kalimat itu selalu mengganggunya. Harus Erlangga akui, sedikit demi sedikit perkataan Rendra sudah berhasil mengusik dirinya.
Rendra, Dasar lu bawel. Ngapain lu jadi ngatur-ngatur hidup gue. Dan sialnya gue kenapa bisa galau begini sama omongan lo.
Padahal gue masih pengen seneng-seneng nikmatin hidup. Juga masih pengen seneng-seneng pacaran sama Tania. Bodo amat sama kuliah dan omongan lo soal hidup harus terikat pada aturan Islam. Bodo amat semuanya. Yang penting gue pengen hidup happy tanpa terikat apa pun.
Dia sudah mengenakan pakaian olahraga lengkap. Biasanya dia hanya mengenakan celana pendek di atas lutut. Dia suka mengenakan pakaian seperti itu.
Tak hanya dia yang menyukai, ketika dia berpapasan dengan gadis-gadis yang juga tengah jogging. Tentu mereka sangat menyukai penampilan Erlangga yang seperti itu. Bahkan mereka seringkali memandang Erlangga tak berkedip, terpesona dengan ketampanan Erlangga. Tubuh yang tinggi dan terlihat seksi bermandikan keringat.
Namun pagi ini, ada yang berbeda dengan penampilan dirinya. Dia menutupi bagian lutut hingga setengah betisnya bagian atasnya dengan manset.
Kenapa gue masih dengerin aja saran si Rendra ya. Padahal bisa gue aku pakai celana pendek sesuka gue?
Namun tetap saja omongan Rendra sepertinya sedikit demi sedikit meresap ke hati dan pikirannya. Sehingga dia pun saat ini mengenakan pakaian olahraga yang menutupi bagian lututnya.
Dalam kajiannya bersama Rendra, Angga pernah mendengarkan penjelasan Rendra, bahwa batas aurat laki-laki itu adalah dari pusar hingga lutut. Jadi mengenakan celana di atas lutut, itu menjadi dosa bagi laki-laki karena dapat menyingkap auratnya. Saat berada di luar rumah atau di tempat umum, akan lebih aman jika laki-laki mengenakan celana yang bisa menutup bagian lututnya. Dan akan lebih sempurna jika ditutup hingga bagian bawah lututnya.
Pun saat berolahraga, kewajiban menutup aurat tetap berlaku. Jika celana masih di atas lulut, sebaiknya ditutup dengan manset. Akan lebih bagus jika mengenakan celana training dan yang sejenisnya.
Saat itu, Erlangga bertanya, "Gimana kalau pas banget celana pendeknya sampai lutut."
Rendra menjawab, "Belum aman, gimana kalau kamu berjongkok atau bergerak-gerak. Tetap saja dikhawatirkan bagian lutut dan bagian paha bisa kelihatan."
Muncul lagi pertanyaan lanjutan, "Gimana kalau cowok bertelanjang dada di tempat umum?"
"Dada dan bagian belakangnya memang bukan termasuk aurat. Secara hukum boleh-boleh aja. Namun apa bisa jamin saat pamer tubuh bagian atas itu, bagian pusarnya tidak terlihat?"
Rendra kemudian menjelaskan, "Perlu diperhatikan juga sekalian, bagian tubuh di atas pusar hingga ke dada, dan otot-otot bisep itu bukan aurat, ya tidak lantas seenaknya juga pamer sana-sini. Tetap harus memperhatikan etika dan kesopanan. Mustahil kan bertelanjang dada saat melewati masjid dan di sana ada akhwat-akhwat atau ibu-ibu yang lagi kajian. Terus yang bertelanjang dada itu, seorang ustaz, kan nggak lucu hehe..."
Setengah jam kemudian, peluh membasahi kaus yang dia kenakan. Kini dia tiba di Tanjung Park. Dia pun duduk sejenak. Dia mematikan musik yang menemani kegiatan olahraganya pagi ini.
Erlangga melamun sejenak. semenjak dirinya mengikuti pengajian pertama kali, perlahan Erlangga mulai terbiasa bangun pagi hari. Meskipun masih suka dipaksa dibangunkan oleh mamanya.
Sekalipun sudah bangun, terkadang shalat Shubuh masih saja ada yang bolong. Untungnya pagi ini dia bisa melaksanakan shalat Shubuh. Biasanya Rendra juga suka memonitor aktivitas ibadah Angga. Dan Erlangga tidak bisa berbohong soal bolong-bolong shalat Shubuhnya. Rendra sering bawel menasihatinya, supaya terus berjuang agar shalatnya tak bolong lagi.
Saat hendak melanjutkan kembali joggingnya sekalian balik ke rumah, sebuah panggilan masuk. Tertulis dalam panggilan itu nama Rendra.
Panjang umur lo, Rendra.
Saat panggilan itu diterima, seperti biasa Rendra membukanya dengan salam. Dan Erlangga membalasnya dengan salam sempurna. Dia memang sudah terbiasa lagi. Tidak seperti di awal-awal yang sering terjadi sengketa bak Tom and Jerry. Kini keduanya sudah lebih bisa beradaptasi.
"Gimana kabar lo, Angga?"
"Nggak usah basa-basi lah, Ren. Gue sehat. To the point aja, ada apa lo manggil gue. Ganggu gue aja. Gue lagi jogging nih."
"Wih, keren lu, sepagi ini. Syukurlah. Lu udah banyak berubah."
"Iye, gara-gara elu. Bawel kuadrat!"
Ucapan Angga hanya dibalas dengan kikikan Rendra dari seberang.
"Angga, gue mau minta bantuan lo..." ucap Rendra menggantung seakan menunggu respon dari Erlangga.
"Bilang aja, bantuan apa?"
"Besok jam 6 pagi, lu ada kegiatan nggak?"
Angga berpikir sejenak.
"Hmmm ... nggak ada."
"Jadi besok, Divisi Muslimah mau ngadain talkshow di auditorium kampus. Mereka butuh tenaga cowok buat angkut-angkut kursi dan lain-lain. Barusan gue kontak teman-teman, kebanyakan mereka sudah punya agenda. Lu siap bantu nggak?"
Angga berusaha mencerna penjelasan Rendra. Sebenarnya ini baru pertama kali dia disuruh kerja-kerja jadi logistik dan tukang angkut begini. Dalam beberapa acara yang pernah dia ikuti, dia nggak pernah dapat tugas begini. Dia kerap kali jadi seksie acara atau langsung tampil di depan panggung.
Hati Erlangga sebenarnya cenderung enggan. Malas.
Kenapa mereka nggak nyuruh tukang aja, sih. Ngapain nyuruh-nyuruh gue. Males banget gue!
Namun, kali ini entah kenapa dia merasa segan pada Rendra. Menolak pun merasa sungkan. Ada rasa tak enak hati. Juga merasa tak tega pada Rendra.
"Jadi gimana, Ngga. Bisa?"
Angga masih belum merespon. Dia berpikir sejenak. Gue harus ngomong apa?
"Gue sendirian?" ucapan itu tiba-tiba meluncur dari mulut Erlangga.
"Tenang aja, Ngga.  Lu dipastikan enggak sendirian. Nanti sama gue dan Kevin."
Setelah mendengar penjelasan Rendra, ada senang di hati Erlangga. Namun tak senang sepenuhnya. Pasalnya, nama yang terakhir disebut masih membuat hatinya bergemuruh.
Dia lagi. Ngapain sih dunia ini kok sempit banget. Gue males berurusan sama lu, Kevin. Urusan ngaji sama Elo aja belum kelar. Gue harus berurusan sama Lu lagi di urusan yang satu ini.
"Jadi gimana, lo siap ya? Gue mohon banget nih. Insya Allah lu dapet pahala jika lu ikhlas bantunya," pungkas Rendra.
Dengan hati yang galau, Angga menjawab, "Oke."
Semoga aja gue bisa ikhlas seperti yang lu bilang, Ren. Tapi gue gak yakin apa gue bisa dapat pahala. Ah bodo amat!
"Oke, Syukran, makasih ya, Ngga. Sampai ketemu besok. JANGAN NGARET!"
Rendra pun menutup percakapannya.
Kalimat terakhir Rendra sangat membekas di pikirannya. Dia tahu betul, memang tak boleh datang terlambat. Kalau terlambat, justru dia akan menjadi salah satu faktor penentu apakah acara yang nanti dihelat akan berhasil atau tidak.
Angga menyalakan kembali musik di hp-nya. Earphone pun dia pasang di kedua telinganya.
Dia meneruskan joggingnya, sembari pulang ke rumah.
Satu hal yang masih menggantung dalam batin dan jiwanya. Bertemu dengan Kevin.
Kenapa sih gue harus berada dalam situasi seperti ini? Kevin, jangan-jangan lu mau diajak Erlangga biar bisa narik simpati terus bisa deket sama Tania?
Huss jangan berprasangka buruk, suuzan, ada suara halus yang mengingatkan di jiwa Erlangga.
Namun perasaan lain juga tak mau kalah.
Kevin, kenapa sih lu dari dulu selalu saja kayak hama. Lu merusak keindahan hidup gue sama Tania. Lu tuh kayak penyakit! Ya, elu penghalang kebahagiaan gue sama Tania!
Angga, jangan suuzan! Jangan suuzan! Suara batin itu berkali-kali muncul.
Terjadi peperangan batin dalam diri Erlangga.

Godaan Sang MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang