2. Kenalan

64 17 44
                                    

•Happy reading•

Semenjak keberadaan pria disampingku ini, aku berhenti menjadi wanita aneh. Dimana setiap aku keluar, pasti ada saja yang menatapku tajam entah karena apa aku kurang tahu. Tapi tepatnua hari ini orang-orang tidak seperti biasanya.

Aku berhenti meratapi lift yang baru saja tertutup dan menuju lantai tiga. Tak apa, aku tak suka berdesakan seperti mereka. Lebih baik aku menunggu saja, toh masih ada waktu setengah jam lagi

Ting

Hanya butuh waktu sebentar, lift sudah terbuka lebar memperlihatkan dua gadis cantik dengan dres pendek masing-masing keluar seksama. Mereka melemparkan senyum manisna, sangat manis. Tapi aku tak tahu, matanya tidak kepadaku malahan matanya menatap? Ke atas ku?

Pria itu?

Arghhhh bisa-bisanya aku berharap diberi senyum oleh mereka. "Lo mau ikutin gue sampe mana"

Aku mulai membuka suara sembari menekan tombol lantai tiga, rasanya sudah benar benar gatal bila bibir ini tidak berkata-kata. "Hmm, gimana nanti"

Aku tersipu malu mendengarnya, oh rupanya pria ini menyukaiku sampai harus terus ikut denganku?. Apa maksud ayah memberi sopir tak tahu diri sepertinya.

"Lo ngelamar kerja ke bokap? " aku mendonggakan wajahku ingin tahu reaksinya, apa dia orang baik atau sebaliknya. Kulihat raut wajahnya yang datar sama sekali tak bisa ku tebak.

Lagi-lagi ia membuatku kesal, pria itu tetap saja enggan menatapku. Aku juga kan ingin ditatap balik maksudku! Apa salahnya sih berbicara saling menatap mata?. Cowok sialan

**

Hampir setengah jam kurang aku masih pada posisi yang sama, menunggu yang lainnya datang. Padahal lima menit lagi pintu berjulang besar itu sudah akan terbuka lebar.

"Arghh...niat nonton gak sih" aku terus menekan tombol panggil pada keempat makhluk menyebalkan seperti mereka.

Lenguhan berat membuatku teringat bahwa aku tidak sedang sendiri. "Yauda sih, bentar lagi juga dateng"

"Salwa sayang...maafin gue ya udah lama. Nih ya temen lo yang satu ini bener-bener ngaret" mendengar suara yang tak asing itu, aku segera melemparkan tatapanku pada Utari yang baru saja datang bersama Agas.

"Maafin dong"

Aku mendelik tak menjawab, tak lama dari itu mataku beralih pada Zara diikitu Fano yang terus memainkan rambutnya sepanjang jalan. "Eh Wa, dia siapa? "

"Kenalan aja sendiri, gue males ngomong sama batu ali. Gue duluan" aku memberanjakan diri meninggalkan mereka, sungguh aku sangat kesal! Tiga puluh menit disuruh nunggu siapa coba yang ikhlas selama itu? Tak mungkin jika aku.

"Idih tuh anak, gue kan udah minta maaf. Elo sih ah Gas, gue kan udah bilang jangan lama jemput gue"

"Lah... Gue dateng lo masih mandi. Dan-"

"Sstttttt.... "

"Gue masih denger" Agas mengatupkan mulutnya memyudahi. Hari ini adalah hari paling sial sejagat raya. Kelakuan mereka berdua memanglah tidak epic.

"Tungguin gue Salwa! "

Suara tawa pecah begitu kala adegan receh memperlihatkan kebodohan mereka dalam bermain drama. Sampai aku tak henti tertawa, tangaku tak tinggal diam seakan ia ingin terus melayang menamparkannya pada orang lain.

"Cowo yang dibawa lo, itu nemu dimana?" tanya Agas setengah berbisik.

Aku menolehkan wajahku malas, jelas saja ini waktunya menonton bukan ngobrol. "Gatahu, sopir bokap kali"

**

Keluar dari bioskop kami memutuskan untuk makan terlebih dulu sebelum pulang. Kebetulan kali ini kami berpasangan, ya bukan aku percaya diri cuman memang faktanya seperti itu.

Zara beserta Fano berjalan didepan kami, sedangkan Utari dan Agas berjalan di belakang kami sangat lambat. "Waktu gue gak banyak, setengah jam gue harus pergi. Kalo lo maksa disini, ya itu urusan lo"

Shitt!! Jadi dia mulai berani ngomong itu sambil pergi gitu aja? Cowok apaan, kaku banget. Batinku ikut protes

Masing-masing dari kami membuka kursi untuk duduk, tapi aku baru sadar Utari dan Agas tak ada diantara kami lagi. Deringan telfon yang tergeletak diatas meja membuatku meliriknya.

Gak boleh kepo Salwa! Inget gak boleh . Aku segera melempar tatapanku kearah lain.

"Kenapa pa?"

"Papa cuman mau lihat kamu sudah pergi apa belom. Dari tadi papa nunggu kamu telefon lebih dulu"

Aku mengangkat alisku ingin tahu, jangan-jangan....

"Udah"

"Coba Papa mau lihat Salwa"

Verro menyerahkan ponselnya padaku yang masih dibuat ambigu. Aku segera melambaikan tanganku ragu, ku lebarkan senyuman menampakan gigi rapi ku dilayarnya

"Hallo Om" sapaku

"Hai Salwa, senang melihatmu"

Aku tersenyum kemudian, entahlah aku tak bisa berbicara langsung dengan orang yang asing menurutku.

"Eh sorry ya lama, maklum ngantri banget" ucap Utari yang tiba-tiba datang dengan jingjingannya.

"Yaelah siapa juga yang nunggu lo Tar" kami tertawa setelah tukasan Fano berhasil membuat gadis itu mencibir.

"Btw, kita dari tadi diemin anak orang gak enak dong berasa bawa batu nisan ya gak Wa? Kenalin gue Fano" Verro yang merasa dirinya di gunjing segera meraih uluran tangannya.

"Alverro"

"Gue Agas"

"Zara. Aku pacar Fano" Zara melebarkan senyumnya senang, ditatap Fano yang masih datar ia sama sekali seperti tidak ada masalah.

"Utari"

Senyumku memudar melihat sebuah uluran tangan kulit putih itu menyapu pemandanganku. "Gue Alverro"

Manikku perlahan naik melewati bahu, dagu bibir, hidung, dan matanya yang menampakan bahwa aku ada di dalamnya. Matanya yang bersih, bulu matanya yang agak panjang namun tak centik dan alisnya yang sedikit menebal sungguh sangatlah tampan.

"Sss.....Salwa" balasku mengulurkan tangan

"OMG hellow, gue kayak nonton drakor tapi pemainnya lokal" teriak Zara dengan suaranya yang melengking.

Utari hanya nampak tersenyum mengangkat alisnya, sepertinya mereka salah paham. Bahwa Verro seperti ini hanya ingin tidak disebut kaku saja oleh mereka. Jika mereka tahu latar belakang pria itu sesungguhnya.... 











P O T R E TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang