3. Belanja

17 2 14
                                    

•Happy night🌚•

"Ayah...Salwa mau berangkat"

Bahkan seribu kali aku memanggilnya, ayah tak kunjung datang menemuiku diteras. Apa mungkin tidur lagi? Rasanya tak mungkin. Ayah sudah tahu setiap hari minggu aku ada les sore, dan jarang sekali aku mengikuti les malam

"Ayah, "

Aku membalikan badan kasar, meski beribu kesal yang ku pendam aku tak berani protes padanya. Tanganku mulai meraba knop pintu kamar, tak ada tanda-tanda beliau di dalamnya. Padahal aku sudah telat lima menit dalam pemberangkatan.

"Salwaaa! Bantu ayah!"

Teriakan diluar sana membuatku tersadar, aku segera berbirit menemui ayah di teras rumah. Tak habis pikir, aku yang sudah siap dan bahkan sudah rapih ayah malah enaknya memakai kolor dan kaos tipisnya. Dan bahkan malah membeli sayuran dengan kantong penuh.

"Ayah....Salwa kan ada jadwal hari ini" ucapku seraya melepas nafas kesal

Ayah tak menjawab, ia malah menyuruhku masuk "Ambil semuanya lalu rapikan di kulkas ya"

Meski berat hati aku menurut saja, tak mau bila harus mencari angkutan sendiri. "Ayah.."

"Oh ya, nanti Verro datang buat jemput kamu. Sabar saja, padahal ayah sudah bilang jangan telat."

Ayah melirikku sejenak, smirk liciknya membuatku muak. Lagi lagi pria itu yang ayah cari, cobalah ayah membuka hati untuk pilihanku sendiri. Seharusnya sih seperti itu, hanya saja aku tak berani.

"Mulai sekarang kamu diantar Verro, dia sendiri yang menawarkan diri. Gak enak kan kalo ayah nolak"

Aku memegang keningku apes, hari gini masih usum gak enakan sama orang?

Selesai mengemas semua buah dan sayur ke kulkas, aku segera pergi meninggalkan ayah yang masih mencuci lauk, intinya aku tak ingin berdamai dengannya.

"Salwa, " panggilannya pun aku hiraukan karena pandanganku berarah lain pada motor berpolet hitam yang menepi di depan teras. Sudah ku duga itu Verro suruhan ayah tapi tak mengaku!.

Aku memberanikan diri untuk menemuinya, kutarik tubuhku keatas motor tinggi itu tak lepas dari tatapannya yang melihat gerakanku tanpa aba-aba. Hey, apaan lagi ini?

"Ayooo..." ajakku merengek, ia segera memutar stirnya ke arah lain. Aku menghela nafas lega karena Verro menurut. "Tahu tempatnya? "

"Hm" hanya deheman yang ku dengar.

Sial dia pikir aku setan? hanya dibalas dengan deheman saja. Aku tak melanjutkan kataku selanjutnya, meski banyak yang ingin aku tahu dari dirinya tapi aku urungkan.

Tunggu?

Mengapa sepanjang jalanan ini aku tak mengenalnya? Apa dia berniat memotong jalan? Tidak mungkin!. Aku saja yang sudah cukup lama di Bandung tak pernah memotong jalan agar cepat ke tempat les ku.

Aku kembali mengamati sisi kiri, kanan dan bahkan ke belakang. Benar-benar dibuat parno, bahkan tubuhku yang tidak diam aku kembali melihat kebelakang apa ada orang juga melintas disini?.

"Bisa diem gak si lo! Mau mati gak usah di motor gue"

Aku mendengarnya begitu jelas, ditatap matanya mendelik dari balik spion membuatku naik pitam. Lihatlah betapa menyebalkannya dia? Aku hanya ingin memastikan hak ku disini, sebab aku penumpang dan aku bos!.

"Turunin gue disini! "

"Turunin gue disini! " tak lama Verro menghentikan pegal nya, tak ada orang satupun yang lewat dan bahkan sepertinya tempat ini rawan karena tak ada rumah.

"Turun" aku menelan saliva ku pahit, bukannya untung malah buntung.

"Ng-nggak jadi deh. Gue takut"

Verro hanya tertawa renyah, "Makannya nurut sama gue" cerocosnya menyalakan mesin motor kembali, syukurlah.

Nafasku mulai lolos, perasaan lega mulai membuatku tenang kembali. Baiklah terserah dirinya akan membawaku ke mana yang jelas aku bersamanya, aku tak mau ditinggal sendiri.

Kini aku kembali melihat kota besar yang dipenuhi kendaraan, kembali bersyukur bahwa aku bisa berteriak sekencang munking apabila Verro menculikku.

"Verro, " panggilku seraya mendekatkan telingaku ke sampingnya.

"Ini bukan jalan ke les gue" sambungku dengan volume biasa saja

"Emang"

Deg! Entah apa yang akan dia lakukan setelah ini, dan hak apa ia membawa ku tanpa izin. Tak lama motor menyingkir dari tepi jalan dan mulai memasukinya ke area lain.

Melihat Verro yang mulai turun dari atas motor membuatku berinisiatif untuk melakukan hal yang sama sepertinya. Hanya butuh waktu sekejap ia melepaskan jaket dan juga helmnya, berjalan lurus tak menanggapi aku yang masih ancang-ancang.

Aku hanya bisa memutar bola mataku malas, sikapnya yang so acuh tak acuh menurutku so ganteng. Aku membututinya dari belakang, ku lihat ia masih memandangi pilihannya dengan tentengan ranjang yang sengaja digantung pada lengan kanannya.

"Sebenernya lo ada niat gak sih anterin gue les " ucapku seraya mendekatkan diri, Verro menaikan alisnya tak peduli lagi-lagi ia mengarahkan kakinya ke tempat lain.

"Lo mau beli apa? " tanya nya kemudian. Aku masih setia mengintilnya, namun aku kembali membalas perbuatannya yang mendiamkan ku sedari tadi.

"Di anugerahi mulut tuh harusnya bersyukur"

Salah terosss. Padahalkan aku hanya menjadi cerminan dari dirinya sendiri.

"Salwa"

Jantungku seperti berdesir ketika ia mengajakku bicara tiga kali. Tuhan, apa-apan aku ini? Apa aku mencintainya? Tentu saja tidak.

Aku segera melangkah pergi membawa belanjaan yang ku borong, awas saja bila aku di suruh membayar sendiri. Enak saja, dia yang menawari dia juga yang harus membayari.

Verro tak berkedip ketika aku hendak memasukan makanan ringan pada ranjangnya. Semoga setelah ini ia tak kecewa. Kulihat belanjaan dia hanya minuman soda, roti, dan beberapa makanan ringan itu saja. Berbeda denganku yang membawa segala perabot.

"Totalnya Rp. 259.900"

Kulihat pria itu membayarnya dengan kartu kredit, enak sekali sepertinya bisa langsung gesek. Aku berjalan lebih dulu begitu Verro meraih kantong kresek besar dari kasir.

"Lain kali kalo diajak belanja beli seperlunya"

Mendengar suara itu aku membalikan tubuhku cepat.

"Ha?" aku tak begitu mengerti dengan maksudnya, jadi ia tak ikhlas membayarku? Siapa suruh!

"Jadi lo gak ikhlas? Siapa suruh buat belanjain" belaku sewot. Verro hanya menarik nafasnya pelan, terlihat wajah datarnya membuatku gemas. Ah becandaa

"Nggak sih, cuman buat apa lo beli sikat wc segala, kapur barus, busa, apalagi ini, kawat pencuci segala." aku sedikit menggaruk alisku tidak gatal, iya juga sih dipikir pikir untuk apa.

"Ya.. ya itu emang keperluan. Bilang aja nanti sama ayah, gue gak bohong kok"

"Pegangin"

Verro menyerahkan bongkahan kresek itu tiba-tiba, tentu saja membuatku tak terima.

"Ini berat Verro..."

"Emang"









#TBC

See u next time guysss❤❤
Semoga tetap stay di cerita ini😙😙

P O T R E TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang