1. Pesanan ayah

65 22 59
                                    

Bel pulang menandakan seluruh aktivas belajar mengajar akan berhenti. Seluruh siswa sibuk membenah barang mereka ke dalam tas. "Baiklah anak-anak, pelajaran hari ini kita tutup saja"

Kepergian Bu Reza membuatku kembali sumbringah, akhirnya setelah sekian lama menunggu waktu pulang tak sia-sia aku yang hanya menonton drakor dibawah meja.

"Eh Wa, besok lo ada jadwal les gak?" aku terkejut bukan main, hingga akhirnya kepala ku terpentok meja saat beranjak berdiri

"Adduh.. "

"Kayaknya enggak, kenapa?" tanyaku seraya mengusap kepala yang masih nyeri. Utari menyerahkan handphone nya didepanku, bisa ku tebak dia mengajakku menonton

"Nonton? " Utari mengangguk semangat, tak sia-sia sepertinya memiliki teman peka sepertiku ini.

"Gimana? "

"Mm....gue gak janji"

"Yah...padahal ini film rame banget"

"Emang pernah nonton? "

"Nggak" Utari nyengir tak berdosa membuatku mendelik sebelum akhirnya kami benar-benar meninggalkan kelas

Teriakan melengking membuat kami menutup telinga, kulihat Zara satu teman gilaku berlari dari arah belakang dengan kedua tangan yang kerepotan membawa tupperware.

"WAWA! TARI! "

"Woy!! Lo pada sengaja ya ninggalin gue! Parah banget. Gak ada akhlak tahu gak"

Zara segera menurunkan tangannya diantara bahu ku dan bahu Utari, sepertinya ia menerima telfon dari pacarnya Fano. "Eh bentar ya, gue ke kelas Fano dulu. Gue segera nyusul dadah"

"Giliran ketemui doi aja, dia paling duluan" ketusku setelah melihat tubuh Zara yang semakin mengecil

"Tahu tuh, makannya cepetan punya pacar Wa "

"Sombong banget sih, ldr gak bakalan langgeng"

"Ih kok gituh!! Salwa! " Utari segera mengejarku yang berjalan penuh semangat, memang sih diantara kami aku saja yang tak memiliki kekasih. Aku berharap saja, semoga dengan tidak menjalin asmara tidak membuat orang lain salah paham, bahwa aku benar-benar normal

**

Malamnya aku masih uring-uringan mencari cara agar ayah mengizinkan aku untuk pergi weekend. Biasanya hari sabtu/minggu ayah akan menyuruhku diam saja di rumah istirahat jarang diberi izin untuk bermain. Jangankan bermain, keluar rumah saja selalu ditanya pergi kemana, berapa lama, sama siapa, naik apa, pulang jam berapa masih banyak lagi. Paling hanya ke minimarket itupun paling jauh padahal.

"Adduh, gimana ya ngomongnya"

Aku kembali menggulingkan badanku kesisi lain, membaca kembali notif grup yang sudah dibanjiri kegirangan untuk esok membuatku semakin tercekik keirian.

Tanpa berpikir panjang, aku bergegas menemui ayah yang masih meratapi monitor layar dengan kertas menumpuk diatas meja. Sepertinya aku hanya mengganggunya saja, bisa bisa aku di semprot mati-matian

"Kenapa? " suara serak nan purau yang sudah lelah membuatku menatap punggung tegap itu. Beliau begitu peka dengan kehadiranku, aku saja yang baru tersadar sepertinya ayahku mempunyai indera keenam.

"Nggak yah"

"Belum bayaran? "

"Bukan, bukan masalah itu kok. Salwa, mau main besok. Mau nonton sama temen"

Cukup lama ayah tak menjawab, sepertinya ia tak mendengar atau mungkin sengaja agar membuatku semakin penasaran? Aku tak menyerah, aku mencoba mengulangi kata ku kembali

Mohon Tuhan. Batinku perlahan menutup mataku berharap. Mataku kembali dibuka melihat ayah yang

"Yah, boleh kan? "

"Hmmm"

Aku dibuat mati berdiri, seperti tamparan keras bahwa ini benar-benar bukan mimpi. Aku memekik girang, sebelum akhirnya meninggalkan ayah yang masih belum menengokku, tak masalah itu tak penting bagiku.

"Baiklah, terimakasih yah"

**
Esoknya aku tak sabar ingin segera pergi, sepertinya sudah hitungan bulan aku jarang berkumpul bersama teman-temanku. Syukurlah kalo kali ini ayah mendapatkan hidayah, bahwa belajar saja tak cukup untuk remaja pada umumnya. Tentunya mereka juga butuh hiburan, bukankah begitu? Maksa aja.

Aku segera mengenakan pakaian yang sudah ku voting tadi malam, selesai dari itu tak lupa aku memoleskan sedikit bedak dan liptint agar terlihat begitu berkesan. Deringan ponsel membuatku beralih dari cermin, kulihat Zara sudah menelfonku beberapa kali

"Hallo" aku menyelipkan ponsel diantara bahu kanan dan telinga, kedua tangaku sibuk merias diri

"Udah otw? Gue otw nih, entar kita ketemu disana ya"

"Oke, kalo gitu gue pesen ojol dulu "

"Oke"

Aku menutup saluran telfon Zara, sudah bisa kutebak bahwa Zara akan pergi bersama kekasihnya Fano. Aku kembali membenah rambutku agar benar-benar sempurna, sebelum kemudian aku menyambar tas kecilku keluar kamar dengan wajah penuh senyuman

"Ayah...Salwa mau pergi. Tapi Salwa minta buat Ojol dong. Rugi kalo pake uang Salwa"

Saat beliau keluar atas panggilanku, aku segera mengangkat satu tanganku meminta "Gak usah, kamu gak usah bareng ojol"

"Lah terus ayah mau anter? Emangnya gak kemana gituh"

Jujur, aku tak ingin seperti anak kecil yang diantar jemput oleh ayah. Jelas saja, aku ingin mandiri dan ingin bebas tentunya.

Aku masih belum curiga, sebelum Ayah mengajakku bertemu seseorang yang sudah menunggu di ruang tamu

"Siapa yah? Pesenan ayah? " tanyaku setengah berbisik, pria itu mengangkat wajahnya menatap kami yang masih bernada pelan tak ada rautan ingin tahu aku kembali bertanya maksud dari ayah ku

"Ayah! "

Ayah lagi-lagi tak menjawabku, ia malah mendekat pada pria yang masih diam "Vero, ini puteri Om. Namanya Salwa, ayok segera berangkat"

Aku sama sekali tak berniat berkenalan, sepertinya pria itu juga tak mempersalahkan itu. "Oh iya Om, kalo gitu Vero tunggu di depan. Permisi Om"

Ayah setuju, ia kembali padaku yang masih menyelidik. "Maksud Ayah apa? Dia pesanan ayah?"

"Salwa! Bukanlah, kira-kira aja ojol kayak dia. Udah sana, sebelum ayah gak izinin kamu pergi"

Aku segera mencium tangannya hendak pergi, takut-takut ayah berubah pikiran dengan beraninya aku mendeketi pria yang masih berdiri dengan kedua lengan yang ia lipatkan di depan dada

Aku berhenti tepat disamping kanannya, tak berniat basa basi demi mengajaknya bicara itu gengsi lah ya. Mataku turun memperhatikan dari bawah hingga dada yang kulihat, apa ada yang aneh?

Kenapa dia diem aja sih yaelah. Emang gue kurang menarik gituh? Atau ada yang salah sama penampilan? Atau-apasih. Gumamku tak tinggal diam

"Hei? Nunggu apa? Ayok pergi" jelas ayah membuat ku tersentak seketika. Pria itu segera menaiki motor tingginya, menyerahkan helm yang berukuran tak begitu kecil juga tak begitu besar dengan tetap tak melirikku.

Mau tak mau aku ikut saja di belakangnya. Bayangkan saja, siapa coba yang ingin ikut dengan orang gagu sepertinya? Menyebalkan!!




#TBC

P O T R E TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang