4. Mie ayam

12 0 0
                                    

Jarum jam sudah menunjukan angka 8. Kulihat langit pun mulai gelap dan seluruh cahaya mulai memancar dari berbagai arah. Tak hanya itu, aku melihat pria yang masih berjongkok di depan motornya. Siapa lagi jika bukan si cowok kaku!

"Ehem.. "

Karena merasa diabaikan, aku sedikit mendekatkan diri dan berdehem kembali, "ehemm..ehem..hem.. "

Satu detik

Dua detik

Kedatanganku sama sekali tak ia hiraukan, sialan!

"Motor gue kurang angin kayaknya, lo bisakan jalan dulu sampe depan? " diangkatnya tubuh tinggi itu hingga membuatku memaksa mendonggakan kepala.

"Udah malem ah, males" jawabku menolak.

"Bentaran doang"

Aku menghentakan kaki ku kesal, Verro sudah melaju dengan motornya tanpa peduli aku dibelakang.

"Verro tungguin gue! " teriakku segera menyusul. Hanya terdengar tas dan sepatu sepanjang jalan, tak ada kendaraan atau pun suara lain selain aku yang terus berlari menyusul Verro.

**

Sesampai dilokasi kami memutuskan untuk menunggu didalam, sebab kata pria kaku disampingku ini angin malam gak baik buat kesehatan.

"Motor lo bocor?" tanyaku disela keheningan, Verro menaikan alisnya mengiyakan.

"Hm, kayaknya kena paku"

Aku hanya memangut, kulihat beberapa pekerja mulai merapikan perkakas mereka pada box berukuran seadanya. Sepertinya bengkel akan segera tutup, padahal jam masih menunjukan pukul 9 kurang.

"Motor lo kayaknya gak bakalan beres deh Ver, itu mereka udah mau balik aja. Terus kita baliknya gimana?"

"Eh pinter, ya mereka gak bakalan balik kalo masih ada pasien. Gimana si"

Mataku beralih pada dua pekerja yang menenteng tas mereka bergegas pulang, bahkan salah satu dari mereka mengenakan helm segera pulang. "Kalo itu? Mau ngapain? Ke toilet?!"

Aku tak kalah sewwot dengannya, Verro yang mengikuti gerakan mataku diam menghela nafasnya berat. Padahal aku tidak sebodoh itu untuk menebak, hanya ingin membuatnya kalah dalam berdebat. Hanya itu.

"Lo denger sesuatu gak?" tanyaku mulai serius. "Verro!"

"Nggak"

Tanganku beralih menjelajari perut ku yang datar, beberapa kali aku menepukan membuat Verro menaikan alisnya. Sudah ku tebak otak dia sangatlah pendek.

"Gue laper, udah dua jam gak makan" kekehku membuatnya mendelik.

Pulangnya kami memutuskan untuk singgah pada roda empat yang berjejer dipinggir jalan dengan amat rapi. Sepertinya malam ini akan menjadi moment terindah, karena boleh jujur aku tak pernah keluar selarut ini selain dengan ayah.

Kami duduk saling berhadapan, bukan aku yang meminta ya, hanya saja memang tempat sudah penuh. "Bang, dua ya. Yang satu pedes, yang satu enggak"

"Dua-duanya gak pedes bang"

Aku menatap Verro tajam, "Yang satu pedes, yang satu enggak!"

Kini Verro mengangkat wajahnya menatap pria berusia itu, "Dua-duanya gak pedes bang!"

"Maksud lo apaan sih! Yang pedes buat gue. Gak usah gr makannya" geramku jengkel.

"Gue tahu" jawabnya datar.

"Jadi, intinya bagaimana neng? Mas?"
kami serempak tak menjawab, terserah aku malas berdebat. Mood makan pun sudah hilang sepertinya.

"Ehem.. "

"Dua-duanya gak pedes" putus Verro menatap penjual itu. Aku hanya diam mengalah, terserah lah pria itu memang tak pernah ingin mengalah.

"Baik mas, tunggu sebentar"

Aku mulai mengatur nafasku kembali, meraih benda pipih disaku tas ku dan memainkannya tanpa peduli sekitar.

"Gue-"

"Kenapa sewot banget sih? Gue aneh lama-lama sama lo" potongku cepat.

"Kemarin lo makan mie, terus siang tadi lo juga makan mie. Apa itu gak cukup? Sampe sekarang lo pilih mie ayam disini trus dipedes juga".

Aku tercengang bukan main, bagaimana Verro tahu dengan semua itu? Tak mungkin bila ayah menceritakan hal tentangku.

"Gue saranin, jangan terlalu banyak makan mie. Gak baik buat kesehatan lo, mending ganti aja sama nasi. Cari lauk pauk gampang kalo lo bisa masak"

Aku sedikit mengangkat wajah, mulai memicing menyelidik, apakah ia mempunyai indera ke-enam sehingga tahu itu semua?

"Hmm, gue jadi malu sama lo"

Ya, aku salting dengan perhatiannya kali ini. Tiga hari kebelakang Verro tak banyak bicara, berbeda dengan sekarang. "Sebenarnya lo suka ya sama gue? Ya kan? "

"Nggak"

"Oh ayolah Verro, jujur aja. Gue gak bakal bilang ke ayah kok" rayuku menaik turunkan alis agar Verro mengalah.

"Nggak"

"Oke, mungkin besok-besok lo ngalah sama gue" putusku mengakhiri debat. Aku melihat dua mangkok cap ayam jago diantar manis oleh pria dewasa tadi, dengan aroma khas dari mie ayam ini membuat ku tak sabar ingin segera menyantapnya cepat.

**

"SinX/X sama dengan satu, jadi dua di-"

"PAK TOKYO BAWA SEMEN"

teriakan murid lain membuatku hilang fokus, padahal sedikit lagi pekerjaanku selesai. "Yaaampun Salwa, lo lama banget sih. Itu tinggal setengah isinya"

"Iya gue tahu"

Kedatangan pak Tokyo, alias pak Toko membuat kelas seketika menjadi hening. Seluruh pandangan menyapu bagian depan menatap kehadiran beliau dengan spidol di samping telinganya. Ya ya ya, seperti itulah kebiasannya, seperti anak muda.

"Oke guys, saya saranin aja kalian buka mata dan lebarkan telinga kalian. Jangan terlalu lama menatap, nanti perih sendiri"

"Materi kita hari ini Trigonometri. Masih sama dengan pelajaran minggu lalu, bedanya sekarang kita menggunakan cos kali cos"

Selama pelajaran berlangsung aku mulai serius dalam belajar, dari mulai duduk tegap, tangan terlipat rapi, dan mata memandang gerakan pak Toko sepertinya sudah bagus.

"Astagaaaa!! Fano, kamu habis ngapain sih baby. Lihat tuh baju kamu, kek anak kecil!!"

Teriakan diluar kami membuat penghuni kelas tertawa hebat, siapa lagi jika bukan Zara?. Aku melihat Utari yang masih mesem, selain itu aku memandang pak Toko yang kebingungan mengenali suara itu.













Hello all!!
Sudah lama tidak updet, jangan lupa tinggalkan jejak kalian yaaa😉😘.

P O T R E TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang