Pagi itu setelah presensi kehadiran dengan finger print, Pak Hafi bergegas menuju meja kerjanya. Kebiasaan dikantornya adalah saling berjabat tangan ketika bertemu teman sekantor. Pagi itu juga seperti hari hari sebelumnya, dia menyalami teman temannya baik laki laki maupun perempuan.
"Assalamu'alaikum Bu Firda," sambil menjabat tangannya dengan berat hati. Kenapa berat? Karena dia tahu menyentuh wanita yang bukan mahramnya itu dosa. Sebenarnya dia tidak mempunyai masalah dengan teman teman perempuannya sekantor. Akan tetapi dia tidak mau menjelaskan kepada teman teman perempuannya karena takut salah paham. Karena banyak temannya yang salah paham ketika dia mempraktekkan ilmu agama secara benar. Ketika dia seperti itu banyak temanya mengatakan kalau dia menganut aliran sesat.
"Masa Pak Hafi gak mau salaman sama saya?" protes Bu Salsa. Itulah pemahaman teman temannya berkaitan dengan jabat tangan. Padahal dia punya pegangan hadist dari Ma'qil bin Yasar, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya: "Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya." (HR. Thobroni dalam Mu'jam Al Kabir 20: 211.)
Itulah perang batin yang dialami Pak Hafi setiap pagi ketika berjabat tangan dengan temanya yang perempuan. Dia membayangkan betapa besar dosa dosanya selama ini, itu hanya dilihat dari satu sisi yakni dosa menyentuh wanita yang bukan mahramnya. Itupun hanya satu tempat kerja belum lagi ditempat yang lainnya. Sejak kecil ia belajar agama baik dimadrasah maupun disurau tempat ia belajar membaca Al Qur'an, tidak pernah kyai dan guru ngajinya mengajarkan hadits yang sangat berharga tersebut. Dia sangat gundah menyadari dosa dosanya itu. Dan kegelisahan itu ia rasakan setiap pagi.
Setelah meletakkan tas buluk di meja kerjanya, dia mengambil uang 10 ribu dari dalam dompetnya. Dia siapkan disaku celananya dan beranjak pergi.
"Kemana Pak?" tanya Bu Firda.
"Biasa bu, ngopi pagi dulu sebelum bekerja," jawabnya.
"Apa tadi belum ngopi?" Tanya Bu Firda lagi
"Sudah bu, tapi yang disini belum," jawabnya.
Bergegas ia menuju pos satpam. Setelah berjabat tangan dengan orang orang yang sedang duduk duduk santai di pos satpam, dia menyapa satpam.
"Tolong kopi dan gorengan," sambil mengulurkan uang sepuluh ribu kepada pak satpam. Setelah itu dia mencari tempat duduk dikursi yang tersisa.
Pos satpam merupakan tempat yang strategis untuk ngopi. Makanya ada yang menyebut TKP (Tempat Kopi Pagi). Tempat itu terdiri dari kursi panjang dua, meja kecil dua, ada stop kontak, radio dan kipas angin. Ditambah lagi ruangannya terbuka terletak dibawah pohon. Kalau pagi ada sinar matahari yang masuk, kalau siang ada angin yang bebas menerpa. Jadi merupakan tempat yang asik untuk cangkruk (duduk duduk santai/kongkow), ngobrol kesana kemari. Semakin betah jika ada kopi dan gorengan yang masih hangat. Cangkruk semakin nikmat diiringi music dangdut koplo dari radio. Tidak terkecuali bapak direktur juga tergoda untuk cangkruk disitu. Awal pertama cangkruk, semua yang biasa ngopi disitu merasa canggung karena ada pak direktur. Obrolan obrolan sering putus tidak bersahut. Lama kelamaan mereka jadi biasa karena lama kelamaan bapak direktur sering ikut nimbrung di TKP. Bukan hanya bapak direktur, para tukang kebun kalau sedang beristirahat juga sering nimbrung di TKP. Bahasa yang dipakai di TKP betul betul bahasa non formal, santai dan tidak jarang berisi gojlokan gojlokan yang berakhir dengan gelak tawa. Itulah TKP asik yang menurut mereka tempat paling syahdu diarea perkantoran tersebut.