Hi readers semua...
Ini adalah cerita pertama aku
Jangan lupa bintang, share, sama komennya yakk. ❤Yogyakarta, Sabtu, 27 Mei 2006
Aktivitas pagi sudah dimulai di sebuah rumah sederhana yang letaknya tak jauh dari pusat Kota Yogyakarta. Rumah itu terlihat sederhana, namun asri dengan kebun kecil di depannya. Ada tiga pohon besar yang mendominasi kebun kecil itu, dua pohon manga dan satu pohon kelengkeng. Di sekeliling pohon-pohon besar itu, tampak puluhan tanaman hias berjajar dengan rapi. Sembilan dari tanaman itu tampak berbunga.
Seorang wanita di awal 40 tahun terlihat tengah menyiram tanaman dengan senyum menghias di matanya. Bibirnya terlihat bergerak, melafalkan shalawat dengan pelan. Hawa dingin tak menjadi halangan wanita itu untuk berkecamuk dengan air.
Pukul 05.25.
Hari masih terlalu pagi, namun semua itu tak lantas membuat wanita itu enggan beraktivitas. Justru ini adalah saat-saat menyenangkan dalam harinya. Menikmati kebun kecilnya dengan sinar jingga yang belum terlalu ketara.
Di dalam rumah, terlihat seorang gadis yang berusia 9 tahun tengah sibuk memetik daun bayam dari batangnya. Hari ini ia akan membantu sang ibu memasak sayur bening. Di belakang gadis itu, tampak seorang anak kecil dengan kepang dua tampak asik dengan mainan puzzlenya. Ia duduk di sebuah kursi yang menghadap langsung pada kakak perempuannya itu. Sesekali sang adik terdengar mengeluh kesusahan untuk menyusun mainan yang baru didapatnya seminggu yang lalu itu. Mendengarnya, sang kakak hanya tersenyum kecil.
Terdengar suara gemuruh saat seorang pria dari keluarga itu menyalakan mobilnya. Sang ayah sudah bersiap-siap menuju ke sekolahnya di pagi ini. Tempat mengajarnya yang berada jauh di Kulon Progo membuatnya harus selalu berangkat pagi, ya, maksimal jam 05.45. Jaraknya yang lumayan jauh, membuat waktu tempuh lama.
“Ya, panggilkan Bunda dong, bilangin bayamnya udah kakak petik,” kata sang kakak kepada adiknya, Hilya. Hilya lantas mengangguk.
Hilya berlari-lari kecil menuju ibunya yang tengah menyiram tanaman di kebun depan rumah.
“Bun, kata Mbak Da, bayamnya sudah selesai dipetik,” katanya setelah mendapati sang ibu di sebelah utara bangku kecil di kebun sederhana itu.
“Iya, Sayang, tunggu di situ sebentar. Bunda tinggal sedikit lagi ini nyiramnya.”
Hilya mengangguk. Ia lantas menuju ke bangku taman dan duduk di atasnya. Namun, tak lama ia duduk, ia merasakan goncangan yang menggetaran bangku tamannya. Ia terlihat kebingungan sembari menatap tanah yang ia pijak. Dalam pandangannya, tanah itu tiba-tiba bergetar, tak seperti biasanya yang tenang. Sebelum sadar apa yang tengah terjadi, ia merasakan sang ibu telah menggendongnya menjauhi kebun dan menuju jalan kecil menuju rumahnya.
Sang ibu terlihat panik, tapi masih berusaha tenang menatap putrinya sayang.
“Hilya dengarkan Bunda,” katanya menatap anak bungsunya itu, “Hilya di sini sebentar, Bunda mau nyusul kakak dan ayah di dalam.”
Hilya memberengut. Ditatapnya sang ibu dengan pandangan mata kabur. Ia tak mau sendirian.
Namun, ibunya menguatkan dengan tatapan sayangnya itu. Lantas mengecup sekilas dahi anaknya itu dan bergegas menuju pintu garasi yang hampir roboh di sisi sebelah kanan. Langkahnya terhenti ketika sang suami berkata, “Bunda di luar saja, Ayah yang menyusul Aida.”
Sang ibu tak serta merta setuju, tapi ia tak bisa membantah suaminya. Ia lantas mengangguk dengan pasrah dan segera menghampiri putri kecilnya yang tengah ketakutan di jalan.
Sang suami segera masuk menuju dapur di mana anak sulungnya berada. Ia melihat sang sulung terduduk di lantai dengan baskom menimpa kakinya. Di sekelilingnya terlihat daun bayam berceceran di dekat baskom yang mengenai kakinya.
“Ayah,” katanya pelan ketika mendapati sang ayah berlari menujunya.
Sang ayah segera menggendong Aida sembari mengucapkan dzikir mengingat Tuhannya. Aida menangis di pelukan sang ayah. Ia mengeratkan pegangannya pada baju kerja ayah.
“Aida takut, Ayah,” katanya pelan.
“Dzikir, Nak, ingat ada Allah,” kata sang ayah menenangkan. Aida yang paham langsung melafalkan kalimat dzikir mengingat Sang Penciptanya.
Kebun rumahnya sudah terlihat. Namun, sebelum mereka keluar dari rumah, dinding yang menyangga pintu garasi jatuh tepat di depan keduanya. Aida mengeraskan dzikirnya. Sang ayah menggertakkan gigi sejenak, lantas ia merlari menuju sisi selatan yang juga hampir ambruk. Namun, itu adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan mereka, menyelamatkan putri bungsunya, setidaknya. Ketika tepat mereka berada tepat di bawah pintu garasi itu, sang ayah merasakan sesuatu jatuh menimpa punggungnya.
Sang ayah menoleh ke belakang cepat. Rak sepatu dari besi berhasil membuatnya terduduk dengan Aida masih di dekapannya. Ia mendengar anaknya menjeritkan namanya.
“Ayah!" seru Aida lantang.
Mendengar jeritan putri sulungnya, sang Ayah menatapnya sayang. Setelahnya, ia segera megedarkan pandangannya. Sebelum kesadarannya hilang, ia melihat seseorang berlari ke arahnya.
“Tolong… tolong bawa anak saya,” katanya pada orang itu.
Aida menangis keras. Ia berkali-kali menggelengkan kepala, menolak. Sang ayah tersenyum, menatap anaknya sayang.“Kakak, dengarkan Ayah. Kakak harus pergi ke tempat Bunda. Jaga Bunda dan Hilya buat ayah,” katanya sembari mengusap rambu anaknya, “jangan lupa pesan-pesan ayah".
“Mas, tolong….., bawa pergi,” katanya menatap laki-laki di samping Aida yang telah terlepas dari dekapannya.
Aida yang menolak mentah-mentah, kini hanya bisa pasrah. Sembari menengok ke arah ayahnya, ia berjalan dengan diseret oleh lelaki asing itu.
“Ayaaaaaaaah!!!!!” teriak Aida ketika melihat dinding pintu menimpa sang ayah. Setelahnya ia tak melihat apa-apa lagi karena ia merasakan tangan seseorang tengah menutup matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Destiny for Aida
Romance"Saya nggak akan mungkin tega menolak permintaan Mama saya, " ucap Harist sembari memilin tangannya, "jadi, perjodohan ini sepenuhnya saya serahkan padamu". Aida menoleh kaget. Ditatapnya dosen yang selama ini menghantui kepalanya sebentar. Tentu s...