Derap langkah kaki memenuhi lorong kelas. Tepat lima belas menit lagi kuliah umum akan di laksanakan dan mahasiswa semester akhir diwajibkan untuk mengikutinya. Tampak seorang perempuan di antara kerumunan itu tergopoh-gopoh menyesuaikan langkah teman-temannya. Tingginya yang minimalis seakan tak terlihat di antara teman-temannya yang mayoritas laki-laki berbadan tinggi itu.
Dengan sedikit tenaga dan memanfaatkan badannya yang mungil, ia berhasil menyelinap di antara teman-temannya dan masuk ke sebuah ruangan yang telah terisi tiga per empatnya. Ia mengedarkan pandangannya, hingga tatapannya berhenti pada wanita berjilbab yang telah duduk di deretan kelima.
“Aida,” panggilnya pada perempuan yang tengah menatap gawai itu setalah jaraknya hanya lima langkah. Marasa dipanggil, wanita berjilbab itu menolehkan kepalanya ke arah sumber suara.
“Sini, Nay,” katanya smbari mengangkat tas yang ada di sebalahnya.
Naya mengangguk, lantas dengan sedikit menunduk menunjukkan kesopanannya, ia berjalan di depan teman-teman sengkatannya.
“Permisi ya, Nad, Jef, Ndo,” katanya pada tiga temannya yang duduk di depannya.
“Iya, Nay,” kata Ando.
“Parah, Da. Tadi rame banget. Mana bau keringat lagi,” kata Naya pada Aida setelah ia mendudukkan dirinya di kursi sebelah Aida.
“Lah, salah kamu sendiri, datengnya mepet banget,” kata Aida santai. Ia lantas mengeluarkan buku tebalnya dari dalam tas dan meletakkannya di atas meja.
“Soalnya tadi aku—”
“Bapaknya sudah dateng, Nay,” Aida mengingatkan.
“Lah, ini masih jam 9 kurang lima loh,” protes Naya.
“Ih, udah, ah. Ntar aja ceritanya.”
Begitu Aida mengatupkan bibir, Naya berseru tertahan, “Astaga, Da, lihat depan!”Aida pun menatap ke arah depan, seperti apa yang Naya intruksikan. Tak mendapati apa yang dimaksudkan Naya, ia segera menolehkan kembali kepalanya ke arah Naya. “Apaan?” tanyanya tak begitu tertarik.
“Dosen barunya ganteng banget, Da, meleleh aku,” sahut Naya dibuat-buat. Aida hanya menggelengkan kepalanya.
“Mata kamu, Nay, bisa copot lama-lama kalau natapnya kayak gitu,” kata Aida sembali menggelengkan kepalanya geli. Pasalnya Naya sedari tadi melihat ke arah dosen baru itu dengan pandangan yang melotot dan senyumnya yang tidak jelas.
“Bukan cuma aku, Da, lihat yang lain,” bela Naya seraya mengedarkan pandangannya yang diikuti dengan Aida. Benar saja, kebanyakan teman cewek seangkatannya menatap kearah dosen baru dengan penuh binar—seakan tak peduli bahwa mereka duduk berdampingan dengan pacarnya.
“Ganteng banget kan, Ndo?” tanya Naya pada Ando yang duduk di sebelah kirinya.
Ando lantas menatap ke arah dosen baru itu lantas memutar bola matanya malas. “Lo tanya kayak gitu ke gue, ya jelas gue jawab nggak lah.”
“Bilang aja sirik,” kata Naya malas. Ia lantas beralih ke Nadya yang duduk di sebelah Ando, “Ganteng ya, Nad,” gumamnya.
Nadya yang merasa diajak bicara menoleh ke arah Naya, dengan penuh senyum, ia berkata, “Banget, Nay. Idaman banget dah tu dosen.”
Naya mengangguk mantap. “Tuh, ka, Da,” katanya kembali pada Aida yang tengah menuliskan sesuatu di buku tebalnya, seolah tak memerhatikan apa yang dikatakan Naya.
“Aida!” seru Naya tertahan.
“Sssttt.” Aida lantas menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya. “Iya, ganteng banget, Nay, udah, ah! Bapaknya udah mau mulai,” sahut Aida tak acuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Destiny for Aida
Romance"Saya nggak akan mungkin tega menolak permintaan Mama saya, " ucap Harist sembari memilin tangannya, "jadi, perjodohan ini sepenuhnya saya serahkan padamu". Aida menoleh kaget. Ditatapnya dosen yang selama ini menghantui kepalanya sebentar. Tentu s...