CHAPTER : 10

52 0 0
                                    

"Eriiin ...."

"Er..rrin, maafin... gue,"

Aku membuka pelan dua mataku. Kembali mendapati sesuatu yang berbeda, melalui terang benderangnya lampu dan ruangan serba putih.

Dimana aku? gumamku masih terlalu payah untuk mencerna apa yang terjadi. Nyeri perutku masih terasa. Sejenak aku mendengar suara ventilator, dan merasakan hembusan oksigen keluar dari benda yang terpasang di lubang hidungku.

Lantas kucoba menggerakkan kepala ke arah lain. Menangkap bayangan sosok Erin yang duduk di sisiku.

"E...Eriinn?" ujarku lirih, "D...dimana gue?"

Ia tampak mengusap bulir hangat yang jatuh berlinangan di pipi. Lalu bekata, "Lu ada di rumah sakit sekarang. Syukurlah ... gue takut banget, lu pergi ninggalin gue."

Mendengar rentetan kalimat itu, aku tertegun sesaat. Seharusnya aku lah yang paling takut ia pergi. Kuambil napas dalam-dalam, dan memandang wajah sembab Erin sejurus lamanya.

"Gue nggak akan pernah pergi ninggalin elu, Rin. Gue yang justru takut elu pergi. Karena gue... gue nggak bisa hidup tanpa elu, Rin."

Kurasakan Erin mengenggam erat tanganku. Dan aku kembali melanjutkan, "Gue janji, nggak bikin lu kecewa dan marah sampai kayak gini, Rin. Lu mau kan tetap jadi sahabat gue?"

Gadis itu hanya mengangguk pelan. Seperti tak ada kata yang dapat terungkapkan. Atau ia butuh waktu yang tidak sedikit untuk mengatakan sesuatu hal?

"Gue tahu, perasaan macam apa yang ada di dalam hati lu buat gue. Tapi..."

Kupotong untaian kata yang belum sempat diselesaikannya. "Gue sadar itu salah, Rin."

"Tak seharusnya gue menyimpan perasaan lebih dan nggak wajar sama lu, sebagai sahabat gue. hingga akhirnya, gue sadar diri ... seberapa besar rasa sayang dan cinta gue sama elu. Tapi gue nggak bakal bisa memiliki lu, lebih dari apa yang seharusnya ada diantara kita."

Di sana Erin hanya bisa terdiam di tempat. Sepasang matanya mulai membening kembali.

"Kita bakal terus saling memiliki, dan melengkapi satu sama lain." Ujarnya sedikit tersendat karena sendu yang ditahannya. "Lu tetap sahabat gue sampai kapan pun. Dan gue janji bakal ada di sisi lu. Memberikan apa yang seharusnya lu dapatkan tanpa harus menyalahi kodrat kita."

Aku diam lagi, mengulang-ulang ucapan Erin barusan di dalam pikiranku. Sementara kubiarkan waktu melambat. Dan kutatap dalam-dalam gadis yang duduk di hadapanku ini. 

Lalu mempertanyakan diri, sanggupkah aku? menepis semua perasaan yang sudah terlanjur mengakar kuat dalam sudut hati tentang dirinya? 

Dan setelah ini hanya menganggapnya sahabat, menerima kenyataan bahwa kodrat kami sama – tak akan ditakdirkan untuk dimiliki selamanya. Aku tak bisa menjawab itu ... kecuali dibutuhkan waktu yang tidak singkat untuk membiasakan diri dengan situasi yang berbeda di kemudian hari --- Aku tahu itu sangat berat. Menyakitkan. 

Ketika hari demi hari berlalu. Masih terkurung di dalam ruang yang beraroma obat-obatan khas, aku terus merenung.  Mencari tahu  bagaimana kah aku harus melalui hari tanpa ada perasaan apa pun kepada Erin seorang. Membuat rasa sayang dan cintaku terlihat wajar untuk dikatakan kawan baik. Saat ini ... ingatan tentang Erin pergi meninggalkanku, menanggalkan bekas memori yang tak mampu kulupakan. 

Aku tidak ingin kehilangan dia lagi. Dan jika memang aku harus melupakan diri yang pernah menyimpang dari kodrat, demi tetap bersamanya .... apa pun akan aku lakukan. Demi sahabatku – Erin. Dan persahabatan abadi kami

The End

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

APA ARTI KITA? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang