Chapter 7

48 3 0
                                    

Aku benar-benar frustasi. Melihat segalanya telah berubah sangat cepat. Seakan hanya butuh selintas kilat untuk menghancurkan apa yang sudah melekat dalam diri kami. Erin sudah tak sudi lagi kembali ke kos sejak malam menyedihkan itu.

"Aargh!!"

Aku menendang asal kaleng bir sampai terpental jauh ke tengah jalanan sunyi. Rasanya ini tak benar-benar cukup untuk melampiaskan betapa menderitanya aku tanpa Erin. Tubuhku terduduk pasrah di pinggir jembatan. Dan diam-diam ... aku dapat merasakan bulir-bulir hangat mulai jatuh di pipi. Tangis air mata itu. kapan terakhir kalinya aku menangis?

Dalam keadaan kemelut rasa bersalah yang terus mengejekku, pikiran ini juga ikut memutar memori yang semakin membuat aku ingin menjerit lepas seorang diri. Tenggelam dalam kesunyian malam.

"Aaaaarrggh!!!!!" aku kembali menjerit. Dengan isak yang kini memenuhi ruang dadaku.

Aku hanya berdiri dari kejauhan pabrik – tempat biasa Erin keluar dari bangunan besar itu saat pulang tiba. Menanti seseorang yang amat kurindukan itu muncul, dan tetap saja aku tak bisa menampakkan wajahku di hadapannya. Ia pasti akan sangat marah, malu, dan jijik karenaku. Dan itulah mengapa aku hanya bisa bersembunyi diam di sini. Melihat lautan karyawan mulai keluar dari areal.

"Erin," panggilku dalam hati.

Tak berani kuberteriak, apalagi melambaikan tangan seperti yang biasa kulakukan saat menjemputnya. Gadis itu keluar. Bersama gadis lainnya menuju tempat parkir. Kulihat juga senyumnya melebar. Seakan telah lupa yang sebenarnya terjadi diantara kami. Ataukah ... ia hanya pura-pura lupa dan berusaha menutupi dengan seulas senyum bibir penuh itu?

Kutelan saliva sejenak. Sembari menahan diri untuk tidak merasakan sesuatu yang menusuk hati. Ada rasa yang tak terjabarkan, tetapi selalu menyiksaku setiap saat. Rindu. Aku sangat merindukannya.

Sebenarnya aku ingin sekali menyapanya. Dan pada akhirnya aku hanya bisa melakukannya dari jauh – tak terlihat oleh gadis itu.

Dan sekembalinya aku dari pabrik, kulihat pintu kos terbuka. Ada Erin di dalam.

"Erin,"

Ia tak meresponku sama sekali, kecuali lebih memilih sibuk memasukan baju-bajunya ke dalam tas. Secepat mungkin.

"Rin ... please! Jangan tinggalin gue," Ucapku kembali memohon. "Gue tahu seberapa besar kesalahan yang udah gue lakuin sama elu."

"Apaan sih?!"

Tatap mata itu masih menyiratkan kebencian yang tak pernah usai. Ia segera menutup almari dan bergegas pergi meninggalkan tempat ini. Tapi aku bersigap mencegahnya. Tak peduli bahwa kami sedang menjadi tontonan beberapa anak kos lain.

"Lepasin gue!!! lepasin gue!!!!!"

Erin terus memberontak sampai genggaman tanganku terlepas dari lengan yang terbalut jaket. Kudengar suaranya makin meninggi. Dan terus melangkahkan kaki gusar menuju tangga. Aku menjambak rambutku keras-keras.

"Arrrrghhhhh!!!!!!!!!"

Lalu menyadari bahwa mereka masih mengarahkan tatapan aneh dan herannya kepadaku. hingga aku memilih pergi dan menutup pintu kos sedikit lebih keras.

Kuseka kasar air mataku. rasanya seberapa banyak air mata ini terburai keluar, sama sekali tak dapat membuat Erin kembali di sisiku. Bahkan ... seribu kali aku memohon, apakah ia juga akan kembali? tidak akan pernah.

Aku tak tahu apa yang haruskulakukan pada saat ini. ketika aku kembali diingatkan oleh sesuatu yangmengusik pikiran. Lantas aku segera bangkit dan menuju motorku. Tanpa membuangwaktu deru kendaraan ini segera meracau meninggalkan jalanan gelap dan mencekam.

APA ARTI KITA? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang