Kasih Tak Sampai

37 3 0
                                    

#14DaysChallenge
#Day3

#kelompok3
No. Absen 35 Laela 💚

Tema: First Love
Jumlah kata: 978
Judul: Kasih Tak Sampai

Isi

Aku tak tau sejak kapan rasa ini ada dan berkembang, apakah saat kami sama - sama mengaji di surau, saat mulai bermain sepak bola di lapangan kampung, atau apakah saat kami bersama - sama melanjutkan pendidikan di sekolah yang sama.

Entahlah, aku sendiri tak paham.

Yang aku pahami bahwa desiran di dada ini tak pernah sirna setiap kami bertegur sapa atau sekedar berpapasan di gang sempit kampung kami.

Kami bertetangga, hanya terpisah lima rumah saja. Jadi banyak hal yang aku ketahui dari anak bungsu Paman Mardi itu.

Seingatku, saat aku beranjak remaja tingkahku bisa dikatakan tidak seperti anak gadis pada umumnya. Aku dikatakan gadis tomboi. Karena aku lebih suka menonton dan bermain sepak bola dibandingkan beajar memasak atau menjahit.

Ada alasan aku menyukai permainan sepak bola itu. Semua karena dia.

Dia yang memiliki hobi bermain bola sepak itu, membuat aku ikut - ikutan menggilai permainan itu. Sehingga banyak waktu kami luangkan bersama. Di lapang kami bertanding bersama, di luar lapang kami memperbincangkan pertandingan - pertandingan sepak bola baik liga nasional maupun internasional.

Kami terpaut usia 3 tahun, tapi saat kami menjalani hobi kami bersama ini, usia tidak tampak penting. Kami bertingkah selayaknya teman sebaya, teman seusia.

Aku ingat kala itu aku berusia 15 tahun dan dia 18 tahun. Aku yang baru masuk SMA dan dia yang sudah kelas 3 SMA di sekolah yang sama. Sejak hari pertama aku masuk SMA, dia selalu menemaniku. Kami berangkat bersama dan pulang saling menunggu untuk bersama - sama naik angkot ke kampung kami.

Teman - teman kelasnya sering menggodaku kala aku menunggui dia yang sedang belajar tambahan persiapan ujian akhir.

"Pacar aku nih" kalimat itu sering dia katakan untuk menghalau temen - temannya yang bermaksud usil padaku. Memang aku tomboi, tapi rambutku tetap tergerai panjang, wajahku tetap terawat walau berwarna coklat karena sering kepanasan dan parasku lumayan cantik untuk ukuran anak kampung.

Entah dia serius atau bercanda saat mengatakan aku sebagai pacarnya, tapi aku tak mampu menghalau bunga - bunga yang beterbangan di dadaku.

Bagaimana aku tidak merasa kegeeran, jika perlakuan dan perhatiannya selalu ditunjukkan dimana pun baik di lapang maupun di sekolah.

Pernah satu kejadian, aku pingsan di lapangan upacara karena tidak kuat dengan terik matahari dan malam sebelumnya aku bergadang menyelesaikan tugas matematika. Dia bolos pelajaran demi menungguiku yang beristirahat di UKS.

Tapi kata cinta tak pernah dia ucapkan dan kalimat jadian tidak pernah dia berikan.

Aku gadis remaja, wajar kalau menganggap ucapan "Kamu mau jadi pacarku?" atau "Aku suka ama kamu" adalah hal yang maha penting. Tapi tidak pernah ada kalimat itu terlontar dari mulut dia, dan aku hanya bisa menunggu tanpa kepastian.

Sampai tiba saatnya dia lulus SMA dan melanjutkan kuliah di Surabaya. Ku kira di malam perpisahan kami, dia akan mengucapkan kalimat - kalimat yang aku tunggu. Namun harapanku hanya harapan kosong.

"Tetap maen sepak bola ya walau aku ga jadi kapten tim lagi" ucapnya seraya mengacak - acak rambutku.

Bukan ini kalimat yang aku tunggu. Tapi aku tak mampu menyuarakan isi hatiku.

Bulan pertama kami berjauhan, komunikasi di antara kami masih terjalin intensif. Kami masih saling berbalas SMS tiap hari dan berteleponan di malam hari.

Bulan kedua, kami masih berbalas SMS setiap hari namun dia sudah jarang menelepon. Alasannya tugas perkuliahan mulai banyak. Aku maklumi.

Bulan ketiga, SMS yang ku kirim baru dibalas dua atau tiga hari kemudian. Telepon pun sudah sangat jarang. Sibuk katanya.

Ku lihat di akun Facebook-nya pun tidak ada aktivitas yang berarti, karena memang dia tidak suka memposting apapun di Facebook. Bagi dia Facebook hanya untuk dibuat bukan untuk memamerkan kehidupannya.

Bulan keempat, nyaris tidak ada komunikasi.

Jangan dikira aku tidak ada yang melirik dan hanya mengharapkan dia. Ada beberapa temanku yang menyatakan perasaannya, tapi aku selalu menolak dengan alasan mau fokus belajar.

Hingga saat libur semester tiba, ku kira dia akan pulang kampung dan kami bisa bertemu. Ternyata dari obrolan ibunya di warung sayur punya ibuku, aku mengetahui kalau dia tidak pulang dengan alasan sayang uang karena tiket kereta Bandung - Surabaya lumayan mahal.

Aku pun kembali mencoba merajut komunikasi dengan dia. Ku coba mengirim SMS lagi. Gayung bersambut, komunikasi kami kembali terjalin karena dia sedang libur perkuliahan jadi tidak banyak tugas yang dikerjakan. Aku maklum.

Namun saat dia kembali menjalani hari - hari perkuliahannya, dia kembali susah dihubungi. Aku memahami, dia yang ingin fokus belajar.

Aku dan permaklumanku.

Sampai tiba saatnya aku lulus SMA, kebetulan berdekatan dengan libur Idul Fitri. Dia pulang. Dia memberikan selamat atas kelulusanku. Dia menemaniku ke pesta perpisahan sekolah.

Bunga - bunga cinta yang pernah lalu itu bermekaran kembali atas perhatiannya.

Walau dia memujiku yang tampil cantik dan feminim di hari itu, tapi lagi - lagi tak ada kalimat yang ku harapkan selama ini.

Hingga dia kembali ke Surabaya dan aku memulai aktivitas sebagai mahasiswi baru di salah satu universitas negeri di Bandung.

***
Kini empat tahun sudah aku menempuh pendidikan dan meraih gelar sarjana di kampus yang terletak di seberang terminal Ledeng. Bagaimana kehidupan asmaraku? Hampa.

Entahlah apa mungkin aku masih mengharapkan dia sehingga tidak berminat untuk melirik atau tertarik pada pria lain. Aku sendiri tak paham. Yang pasti aku fokus belajar karena berkuliah di kampus ini berbekal beasiswa jadi aku harus sungguh - sungguh belajar dan lulus tepat waktu.

Namun harapan tinggal harapan.

Sepulang aku mengajar di salah satu sekolah swasta, aku mendengar pembicaraan ibunya dengan ibuku.

"Saya kira teh Haikal pacaran ama Wulan, da setahu saya mereka cukup deket. Udah mengharap kita bakal besanan, jadi ga jauh kalau seserahan. Eh ini Haikal minta dilamarin ke Surabaya. Dia mah lulus kuliah teh langsung kerja di Surabaya jadi weh dapat gadis Jawa"

Ada yang perih namun tak berdarah saat mendengar pembicaraan itu. Aku yang salah, aku yang terlalu berharap. Aku yang terlena dengan perasaan sendiri. Ingin menangis, ingin marah. Rasa itu bercampur di dada.

Bahkan saat dia pulang dan memberikan surat undangan pernikahannya, aku teap tersenyum dan mendoakan.

Mungkin inilah nasibku yang mencintai tanpa mengungkapkan.

Nasibku yang kalah sebelum bertanding.

Nasib cinta pertamaku yang tak berbalas.

Kasihku yang tak sampai.

Kumcer Challenge SPFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang