Maafkan Anakmu, Mak!

25 2 0
                                    

Langsung ku pacu kuda besiku yang menyisakan 13 kali cicilan lagi ketika waktu kerja sudah habis. Biarlah aku dikatakan karyawan teng-go, toh aku sudah menyelesaikan seluruh pekerjaanku hari ini. Tak ada lemburan juga karena kebijakan kantor di tengah wabah Covid-19 ini meniadakan over time jika sekiranya tidak terlalu penting.

Pesan bergambar Emak yang masuk ke WA-ku tadi sekitar jam 3 sore membuatku takut. Aku takut kejadian lalu terulang lagi. Andai minggu inu jatahku WFH tentu aku tidak sewas-was ini setelah menerima pesan Emak. Sialnya minggu ini giliranku untuk WFO. Oh Covid-19 dan WFO/WFH, kapan kau berakhir?

Jarak antara Sunter dengan Bulak Kapal tidak terlalu jauh kalau dilihat dari Google Map. 21 km dengan waktu tempuh 51 menit. Tapi itu jika jalanan lengang. Apalah daya jam pulang kantor kendaraan berjubel di jalan, dengan suara klakson bersahutan yang membuat gila. Betul kata orang bahwa Bekasi itu berada di planet lain. Buktinya waktu tempuh ini tak kunjung berkurang namun terus bertambah lama.

Ditambah pula check point Satgas Covid-19 yang memeriksa SIKM dan segala tetek bengeknya yang kadang bikin bengek, akhirnya aku sampai ke rumah mungilku yang masih 12 tahun lagi menuju lunas. Satu setengah jam, Saudara, bayangkan betapa tersiksanya bemper tipisku. Panas, Jenderal!

Bergegas aku turun dari motor setelah memarkirkannya di halaman rumah. Sengaja aku tidak membunyikan klakson, karena aku tidak ingin dia mengetahui kepulanganku.

Dengan hati berdebar aku memegang handle pintu bercat orens itu.

Brak!

Bukan inginku membuka pintu dengan kasar, tapi memang pintunya susah dibuka kalau tidak mengerahkan sepenuh kekuatan.

Di sana, di dalam rumah, ku lihat istriku terkejut melihat kedatanganku. Mata belonya membulat terbelalak kaget.

'Tertangkap basah kamu, ya' Batinku.

"Abang... Abang udah pulang?" Sapanya gugup.

'Kaget kamu, ya' masih aku membatin.

"Hmmmm" Jawabku.

Ku lihat istriku salah tingkah. Gesture tubuhnya memperlihatkan betapa dia merasa bersalah.

Aku masuk dengan santai. Ku lepas sepatuku lalu ku simpan di rak sepatu. Ku longgarkan dasiku, demi mengurangi rasa sesak yang ku rasakan. Ku lempar tas kerja ke sofa berwarna ungu di ruang tamu.

Aku berjalan menghampirinya sembari menyodorkan tangan untuk dia cium punggung tanganku seperti ritual harian kami. Namun dia menggeleng, tidak lantas mencium tanganku.

Aku semakin geram. Sudah tertangkap basah, menolak pula berlaku santun kepadaku. Mungkin dia malu dengan kotornya tangan itu. Aku tak ambil pikir.

Aku duduk di sampingnya. Menatap tajam istriku yang tak lagi kurus seperti waktu pertama aku mengenalnya. Dia mengatakan telah mengalami kenaikan 10 kg selama empat bulan pernikahan kami.

"Abang... Maafin Adek, Bang" Dia mulai menghiba, "Adek khilaf, Bang. Maafin ya, Bang"

Ku lihat tangan kotornya. Aku mendengus.

"Ini sudah ketiga kalinya Adek melakukan kesalahan yang sama" Jawabku datar.

"Maafin, Bang, Adek menyesal. Adek khilaf. Adek... " Perkataannya terpotong oleh isakan lirihnya.

Perempuan dan air mata. Suatu perpaduan yang seolah menyatakan kepada dunia bahwa mereka lemah. Haahh... Nonsense.

"Kemaren - kemaren juga Adek bilang Adek menyesal tidak akan mengulangi lagi. Nyatanya berkali - kali pula Adek melanggar" Aku berdiri membelakanginya untuk mengambil air dari dispenser. Haus juga memendam kekesalan ini.

Kumcer Challenge SPFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang