roti

14 2 0
                                    

Zidni mencabut earbuds dari ponselnya kemudian menggulung kabel ajaib itu dan memasukkannya ke dalam saku rok ketika ia hampir tiba di kelas. Masih kurang lima belas menit lagi sampai waktu belajar, koridor masih sepi. Zidni menggantungkan kedua tangannya di tali tas sambil bersenandung lagu terakhir yang ia dengar dari ponselnya tadi. Langkahnya di tengah pintu kelas sempat terhenti ketika ia melihat seseorang sudah menduduki mejanya, kemudian ia melanjutkan langkahnya.

"Pagi, Zee," sapa Zidan cerah, secerah matahari pagi ini.

Zidni masih berdiri di samping mejanya, melirik Zidan malas. "Don't Zee me." Ia meletakkan tasnya di atas meja kemudian duduk.

"Lo tadi ke sekolah naik apa Zid?"

"Naik unta."

"Emangnya lo mau pergi ke bulan? Naik delman atau onta." Zidan tertawa sendiri dengan jawabannya. Ia pernah mendengar ada lirik lagu seperti itu.

Zidni melirik sekilas, sebenarnya itu lucu tapi Zidni menahan diri untuk sekedar tidak terkekeh. Ia menarik bibir kirinya. "Apaan sih."

"Udah sarapan?"

"Udah."

"Gue belum."

"Gak urus, ya, Dan."

"Temenin sarapan sih, Zid."

Zidni diam sejenak, lalu melihat Zidan. "Apaan sih, Dan, apa-apa minta temenin. Gak sekalian aja ntar kalo lo berak minta temenin gue. Gak usah sok akrab deh." ia belum pernah seketus ini sebelumnya tapi Zidni betulan kesal dengan tingkah Zidan pagi ini. Padahal laki-laki itu tahu kalau dirinya tidak begitu menyukainya, tetapi kenapa Zidan terus mengusik Zidni? Mood Zidni sudah benar-benar buruk sepagi ini.

"Galak banget si bu aji, lagi PMS lo ya? Yaudah iya, ini gue kantin sendirian." Zidan bangkit berdiri, menyimpulkan sebelah tali ranselnya ke pundak kanan. "Belajar yang bener ya," Laki-laki itu menepuk puncak kepala Zidni sebelum berjalan keluar kelas.

Setelah Zidan benar-benar hilang dari pandangan Zidni, ia menghela napas entah kenapa ia jadi merasa tidak enak karena sudah membentak Zidan tadi. Dan beberapa murid yang sudah di kelas pastilah mereka mendengar suara Zidni yang memang lumayan keras. Zidni yakin, pasti semua murid sedang memperhatikannya sekarang. Ia malu sebenarnya tapi ia mencoba untuk tidak peduli.

Kemudian tak berapa lama Mili datang dengan mengunyah sesuatu di mulutnya. "Zidan abis dari sini?" tanyanya ketika sudah duduk di kursi.

Zidni hanya mengangguk.

"Bad things happened, right? Muka lo bete mulu dah kalo habis ketemu Zidan." Ledek Mili yang mulai mengeluarkan buku pelajaran pertama hari ini, karena sebentar lagi bel pasti akan berbunyi. Ia merobek kertas kecil lalu membuang permen karetnya ke kertas itu, membungkus lalu memasukkannya ke saku.

Zidni yang melihat kegitan sahabatnya dari sudut mata itu bergedik. "Jorok banget sih."

Mili menyengir lebar "Mager, Zid."

Zidni kembali diam. Mili yang bingung akan sikap Zidni menoleh ke arah perempuan itu, memerhatikan wajah Zidni yang sangat datar "Zidan ngapain lo? Bete banget kayaknya."

Zidni bergumam sambil menggeleng. "Dia emang kayak gitu." jawabnya. "Gue cuma lagi agak sensitif aja." lanjut Zidni.

Mili membuka sedikit mulutnya lalu manggut-manggut. "Okeee." ujar Mili. "Kalo butuh penghibur bilang ya, gue akan menghibur lo dengan cerita-cerita lucu gue." kata Mili lagi dengan senyum lebar, meyakinkan Zidni.

Zidni menepuk sebelah pundak Mili beberapa kali, menarik bibir lurus sambil menganggukkan kepala dua kali. "Terimakasih banyak Militia Gunadinata, tapi gue lagi nggak butuh." Lalu keduanya tertawa. Zidni pernah merasa sangat bersyukur dipertemukan oleh seseorang seperti Mili, perempuan itu sangat pengertian tidak pernah men-judge Zidni dengan mood-nya yang sangat tidak berarturan bahkan terkesan egois. Mili sangat sabar terhadap dirinya. Dan Zidni beruntung akan itu.

Cerita ZidniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang