Yang Kepagian

10 1 0
                                    

M Zidan: Gue udah di bawah Zid.

"What??" Seketika ada rasa ingin marah sesaat setelah membaca pesan dari Zidan itu.

Tadi malam laki-laki itu mengiriminya pesan, ajakan untuk berangkat sekolah bareng. Zidni tidak menolak, tetapi ia minta dijemput lebih awal karena hari ini ia tugas piket kelas. Maka dengan gerakan malas, Zidni turun ke bawah.

Adalah muka bete Zidni yang menyambut Zidan ketika perempuan itu membuka pintu. "Gue bilang jam enam kurang sih, tapi nggak kurang tiga puluh lima menit juga kali, Dan."

Zidan menyengir. "Hehehe, peace out. Gue bangun kepagian Zid karna inget janji jemput lo, jadi semangat gue."

"Siapa dek?"

Shit. Zidni mengumpat dalam hati.

"Halo tante." Zidan berusaha melongokkan kepalanya untuk melihat ibu Zidni.

"Eh, nak Zidan. Kok pagi banget? Masuk, masuk. Dek, Zidannya diajak masuk dong." Langkah ibu terdengar menjauhi pintu rumah.

Berbeda dengan ekspresi wajah Zidan yang sumringah, Zidni terlihat masam. Ia membuka lebih lebar pintu rumahnya tanda mempersilakan Zidan masuk.

Zidni membuang napas dari mulut. Astaga, padahal untuk menyapu satu kelas Zidni selalu butuh mood yang bangus, tapi Zidan malah merusak mood Zidni sepagi ini. Huh, Zidni ingin mengeluh, tetapi ia sudah terlalu banyak mengeluh belakangan ini.

Lagipula kenapa Zidan datang sepagi ini sih? Zidni merasa sedikit menyesal tidak menolak tawaran Zidan semalam.

Ini semua gara-gara PMS yang datang tiba-tiba!

Saat Zidan duduk di salah satu kursi meja makan di dapur, Zidni meneruskan langkahnya ke kamar. Gadis itu memang sudah mengenakan seragam sekolahnya, jadi ia hanya perlu menata ulang rambutnya yang tadi tergerai dan mengambil tas yang ia letakkan di atas meja belajar semalam. Lalu turun lagi ke bawah.

"Tante mau punya menantu kayak Zidan nggak?"

Zidni langsung melongo mendengar pertanyaan itu ketika dirinya baru saja menuruni anak tangga terakhir. Mama sedang membantu mbak Ani memasak, mungkin tadi mereka sedang bercerita.

"Tante mah terserah Zidni-nya."

"Zidan anak baik loh tante."

Gila, pede banget. "Nggak ada. Lo nggak ada baik-baiknya." Semprot Zidni yang baru saja datang, berdiri di samping meja makan dekat mama.

"Eh, adek. Sini, dek." ucap Zidan sambil menepuk kursi kosong di sebelahnya. Sering ke rumah Zidni karena berteman dengan Radifan, membuat Zidan tak sungkan berlaku seperti itu di depan ibu Zidni. Dan kedua orangtua Zidni pun tahu kalau anak remaja laki-laki itu memiliki ketertarikan kepada anak gadis mereka.

Mereka tidak terlalu ambil pusing, hal seperti itu dirasa biasa diusia-usia mereka. Entah Zidan serius atau bercanda, orangtua menganggap mereka berteman. Yang penting Zidan tidak menganggu privasi Zidni yang lain dan tidak melewati batas.

Dan tentu saja semuanya terasa asing bagi Zidni, maksudnya, mendapati 'teman' laki-laki bertamu ke rumahnya dalam skala yang lumayan sering membuat Zidni merasa aneh. Jujur ia kurang suka kondisi seperti itu. Karena memang ia belum pernah mengalami hal ini sebelumnya. Bahkan Zidni tidak pernah berteman dekat dengan laki-laki.

Zidni menatap Zidan dengan tatapan tak terbaca. "Ma, kita berangkat dulu."

Zidan yang sedang mengunyah roti dimulutnya mendadak berhenti.

"Ih cepet banget. Masih jam berapa ini, sekolah pasti juga belum buka. Zidan aja masih makan itu kamu sarapan juga, itu udah mama bikinin roti." Mama menduduki Zidni di kursi yang berhadapan dengan Zidan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 05, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cerita ZidniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang