Prolog

386 34 110
                                    

°°°
"Kalau kalian merasa tidak salah dan membuat masalah, apa pun omongan yang mencela, abaikan saja."

°°°

Seorang cewek berjalan menunduk sejauh langkahnya menyusuri koridor. Dengan tutup telinga, tidak mengacuhkan setiap omongan yang ada, dirinya terus berjalan. Tidak hanya dirinya yang merasakan hal seperti ini, teman-temannya pun merasakan hal yang serupa.

Berbeda dengan cewek di depannya, seorang cowok berjalan santai. Pandangannya lurus ke depan tanpa ekspresi. Meskipun santai, ia akan memperlebar atau memperkecil langkah kaki sesuai dengan cewek di depannya.

"Penasaran gue, pake dukun siapa, sih, cewek banyak gaya itu? Enak bener hidupnya."

"Iya. Muka pas-pasan gitu kok dapet cowok ganteng."

"Ya, itu karena cowoknya yang nggak buka mata."

"Lho, katanya mereka itu sahabat."

Semakin banyak suara yang mencibir, langkah kaki dua remaja itu semakin cepat. Lebih tepatnya, si laki-laki yang mengikuti langkah terburu-buru cewek di depannya. Kalau sudah seperti ini, suasana hati cewek itu yang sedari pagi sudah hancur akan semakin berhampuran ke mana-mana.

"Pacaran, nggak, sih?"

Suara lain terdengar dari kelas yang berbeda. Bertanya dengan nada keras dan pandangan tertuju pada dua remaja yang baru saja melewati kelas mereka.

"Bibir bilang nggak, tapi kelakuannya iya," jawab salah satu dari jajaran siswi yang duduk rapi di teras kelas.

"Santai. Gue punya kenalan dukun yang lebih manjur daripada dukun si cewek belagu itu."

☕☕☕

"Cepetan masuk!"

"Iya! Udah, sana pergi!"

Cowok yang tadinya berhenti melangkah, menunggu seseorang untuk masuk ke dalam kelas mulai melanjutkan langkahnya dengan tangan yang sibuk membongkar simpul dasi. Lehernya terasa tercekik jika memakai dasi.

Cowok itu bertanya dalam hati seraya melirik kanan-kirinya, Gue kenapa, ya?

Jika tengah berjalan sendirian seperti saat ini, ia kadang menjadi hilang kepercayaan diri karena menjadi objek tontonan di sepanjang jalan. Ia berpikir, apakah ada yang salah dengan dirinya; mungkin tentang tatanan rambutnya, cara berpakaian dirinya, dan yang lain atau karena tampang rupawannya?

"Yok, bareng!"

Helaan napas lega berhembus. Reza, teman sekelasnya itu membuat dirinya merasa biasa saja meskipun dipandang dengan tatapan lapar.

☕☕☕

"Woi, kopi kesayangan gue mana?"

Seruan itu membuat teman si pengucap langsung berlagak mencari apa yang dimaksud.

"Kopi, mana, kopi?" seru lainnya dengan muka menahan tawa.

"Kopinya kan lagi jalan. Noh, orangnya!" Cewek yang asyik dengan minumannya berkata seraya menunjuk ke arah depan.

Beberapa anak laki-laki dan perempuan yang berjalan beriringan memasang muka tebal dan telinga tuli. Bisa dibilang, perkataan seperti itu menjadi makanan mereka sehari-hari.

°°°

Tepat satu tahun yang lalu, aku memublikasikan cerita berjudul 'Redangga'. Nah, bagi kalian yang pernah baca 'Redangga' pasti bingung karena cerita itu tidak berlanjut lalu hilang entah ke mana.

Tenang, 'Redangga' nggak hilang, kok. Cerita cowok bernama lengkap Samuel Redangga itu sedang aku perjuangkan untuk naik cetak.

Dan sekarang, ditanggal dan bulan yang sama, tapi berbeda tahun, aku akan kembali memublikasikan cerita berjudul 'Kopi Sianida'.

Penasaran, nggak, sama isi cerita ini?

Apa, sih, maksudnya Kopi Sianida?

Bagi yang penasaran, masukin cerita ini ke perpustakaan kamu dan jangan lupa follow akunnya. Kalian akan mendapatkan jawabannya setelah membaca cerita ini sampai selesai.

Ingat!
Vote dan komennya jangan lupa.

°°°

Kopi Sianida, 12 Juni 2020
Salam manis,

Dwi Varianty

Kopi SianidaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang