°°°
“Sampai lebaran monyet datang pun, yang namanya berantem nggak akan menyelesaikan masalah.”°°°
Zee-zee terus menundukkan kepala selama pelajaran pertama di hari ini berlangsung. Ia merasa kurang nyaman dengan teman sebangkunya sekarang. Sulit bergaul yang menjadi ciri khasnya membuat ia kesulitan mendapat atau menerima teman baru.
“Woi, diem-diem bae!”
Tubuh Zee-zee menegang karena terkejut. Entah siapa namanya, cewek di sampingnya ini berseru keras tepat di depan telinganya sambil menyenggol-nyenggol kakinya yang berada di bawah meja.
“Jawab, dong! Gue ini manusia, bukan iblis yang harus lo abaikan?”
“Aku lagi nulis, nggak lihat?”
Lagi, Zee-zee dibuat terkejut lantaran teman barunya tiba-tiba tertawa. Ia merasa tidak ada yang lucu. Berusaha mengabaikan, ia kembali fokus mencatat informasi yang tertera di papan tulis.
Ketika rasa ingin tertawa sudah benar-benar hilang, cewek di samping Zee-zee kembali bersuara, “Gue ketawa karena lo,” ungkapnya tiba-tiba.
Dalama hati Zee-zee bertanya, Emang gue ngapain sampai bikin lo ketawa?
“Lo bikin gue katawa karena cara ngomong lo sama gue. Apa-apaan pakai aku-kamu? Emangnya kita pacaran?” Ucapan itu seperti jawaban atas pertanyaan Zee-zee dalam hati.
“Itu karena kita nggak saling kenal,” tukas Zee-zee merasa kesal. Hanya karena ia memakai panggilan aku-kamu, cewek yang menurutnya aneh itu malah menertawakannya.
Menurut dirinya tidak ada yang salah dan wajar saja untuk orang yang baru bertemu menggunakan panggilan seperti itu. Justru baginya terasa tidak sopan, jika tidak saling mengenal memanggilnya dengan panggilan lo-gue.
“Ya, udahlah,” katanya mengibaskan tangan. “Karena lo bilang kita belum saling kenal, ayo kita kenalan!”
Ajakan itu Zee-zee tanggapi dengan melihatnya sejenak. Lewat isyarat mata, ia mempersilakan temannya untuk terlebih dulu mengenalkan diri.“Kenalin, gue Raquensha. Panggil aja Quen atau Shasha,” jelasnya sambil mengulurkan tangan.
Cewek bernama Raquensha memandang Zee-zee dengan tatapan tidak percaya, cewek itu benar-benar di luar ekspetasinya.
Dari raut muka, ia mengira bahwa teman sebangkunya adalah sosok yang mudah terbuka sama orang baru dan bisa diajak ngobrol santai. Namun, nyatanya tidak seperti itu.
Dari sini, ia harus bersikap lebih friendly agar komunikasi antara mereka bisa seperti teman-temannya yang lain.
“Nama lo siapa dan lo mau panggil gue apa?” tanya Shasha gemas sendiri. Tadi, saat ia mengenalkan diri, respon yang diberikan hanya anggukan kecil tanpa menoleh padanya.
“Panggil aja Fiandra.” Setelah sedikit berdebat dengan dirinya sendiri, Zee-zee akhirnya mengutarakan siapa namanya. Dipikir-pikir, tak enak rasanya kalau terus menutup mulut sedangkan lawan bicara seperti berusaha mencaikan suara menjadi lebih santai.
“Fiandra?” Zee-zee mengangguk.
“Lha, tadi si Ara manggil lo bukan gitu,” ujar Shasha merasa bingung.
“Iya, panggilannya Zee-zee,” jawab Zee-zee membuat Shasha akhirnya mengangguk.
“Terus panggilan buat gue?” tanya Shasha mengingat dirinya memberi dua pilihan. Yang ia harapkan, opsi pertama yang dipilih oleh temannya.
“Pilihan kedua aja.”
“Oh, oke.” Shasha mengangguk-anggukan kepala. “Jadi, sekarang kita udah jadi teman, kan? Nggak perlu pakai aku-kamu?“
KAMU SEDANG MEMBACA
Kopi Sianida
Teen Fiction"Woi, kopi kesayangan gue mana?" Seruan itu membuat teman si pengucap langsung berlagak mencari apa yang dimaksud. "Kopi, mana, kopi?" Seru lainnya dengan muka menahan tawa. "Kopinya kan lagi jalan. Noh, orangnya!" Cewek yang asyik dengan minumann...