Kopi Sianida || 1

222 25 85
                                    

°°°
Segala hal yang akan terjadi adalah sebuah misteri dan bagian dari garis takdir.”

°°°

Sebuah lapangan luas dengan dominan hijau rumput mulai dipadati banyak orang, lebih tepatnya oleh siswa lama maupun baru, para jajaran dewan guru, serta wali murid. Semua berdiri sesuai barisannya, menanti dimulainya upacara pertama dalam tahun ajaran baru sekaligus penerimaan peserta didik baru.

”Untuk para wali murid yang baru datang, silakan bergabung dengan wali murid lainnya di sebelah sana!” Laki-laki berbadan tegap yang berdiri di depan mikrofon memberi arahan seraya menunjuk sisi lapangan yang disediakan khusus untuk wali murid. Untuk memberi kenyamanan selama upacara berlangsung, tempat yang diperuntukkan wali murid sengaja disedikan tempat duduk dengan atap tertutup.

Suara bising dari siswa maupun wali murid tidak lagi terdengar ketika protokol mulai membuka suara.

☕☕☕

“Upacara telah selesai. Setelah semua wali murid meninggalkan lapangan, siswa baru kelas sebelas dan dua belas boleh meninggalkan lapangan.”

Semua siswa bersorak senang. Akhirnya, mereka tidak terus-menerus berdiri di bawah terik matahari.

“Perlu diingat, harus tetap tertib!” peringat seorang laki-laki yang menjabat sebagai ketua OSIS.

Sesuai instruksi, kini lapangan mulai ditinggalkan dan para siswa berbondong-bondong ke area utama sekolah.

“Re, kita sekelas lagi, nggak?”

“Semoga aja sekelas,” timpal cewek bernama Rere. Lantas mereka bergegas mengambil tasnya masing-masing dan mulai menelusuri kelas sebelas.

Sudah menjadi tradisi yang tidak pernah berubah. Setiap tahun ajaran baru, calon-calon penghuni kelas akan dibuat penasaran di manakah mereka akan tinggal untuk menempuh pendidikan setahun ke depan. Semua diacak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pastinya, tidak sampai membuat siswa pindah jurusan, dari kelas IPA ke kelas IPS atau sebaliknya.

Jumlah kelas dalam setiap angkatan adalah sembilan kelas. Lima untuk kelas IPA dan sisanya kelas IPS. Sebenarnya, banyaknya kelas disesuaikan dengan pagu atau batas berapa banyak siswa yang diterima dalam satu angkatan.

Satu per satu kelas mereka datangi. Rere sudah tahu di mana kelas barunya, sedangkan teman sekelasnya dulu yang bernama Zee-zee ternyata tidak satu kelas lagi dengannya. Raut kecewa tergambar jelas, tapi mau bagaimana lagi.

“Bantuin gue nyari kelas, ya,” pinta Zee-zee terlihat pasrah.

Zee-zee merasa takut jika namanya tidak ada di daftar kelas mana pun. Hampir semua kelas sebelas IPA telah mereka datangi dan lembar kertas yang tertempel di setiap pintu kelas tidak mencantumkan namanya.

“Zee, cepet kita ke kelas IPA 3. Jangan-jangan lo masuk di sana.”

Zee-zee menahan tarikan Rere. “Tadi kan udah ke sana, Re.”

“Mana ada. Tadi kita cuma lewat aja karena di depan kelas itu rame banget.” Rere sangat yakin jika temannya ini masuk ke kelas tersebut mengingat cewek dengan rambut sebahu itu salah satu siswa pintar di kelasnya dulu.

Zee-zee tetap menggeleng. Dari tatapan mata, terlihat jelas guratan pesimis di sana. “Gue nggak yakin kalau masuk kelas itu.”

“Kita coba dulu, oke?” Akhirnya, Zee-zee mengangguk pasrah.

Dengan semangat penuh, Rere menarik lengan Zee-zee menuju kelas yang ia maksud. Halangan apa pun yang mengganggu jalan mereka akan diterobos dengan tidak sabaran.

Kopi SianidaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang