°°°
"Yang praktis memang memudahkan, tapi soal rasa tetap hasil sendiri yang memuaskan. Dan jika semua serba praktis, tingkat kemalasan akan semakin meningkat, bukan?"
°°°
Zee-zee memasang jaket ketika hujan tiba-tiba mengguyur. Baik ia maupun Sasha belum mendapatkan angkutan umum. Halte yang tadinya hanya ada mereka berdua, kini penuh oleh siswa lainnya yang tengah berteduh dari siraman hujan.
Hari semakin sore, langit pun sudah menggelap sejak tadi karena mendung dan lampu-lampu jalan juga sudah menyala sejak beberapa waktu yang lalu. Mungkin, adzan magrib sebentar lagi akan berkumandang.
"Mana, sih, angkot?" gerutu Sasha nengok ke arah kiri, berharap ada kendaraan umum yang lewat walaupun itu kemungkinan kecil terjadi mengingat hujan turun membasahi bumi.
Zee-zee menghela napas dalam-dalam. "Bisa magrib ini baru sampai rumah."
Siswa lain yang ada di sekitarnya diam-diam mengangguk, setuju dengan ucapan Zee-zee barusan.
Andai daya ponselnya masih ada, nggak papa meski cuma dua persen, ia bisa meminta Jame menjemput dirinya. Namun nahas, ponselnya sudah mati tak berdaya sejak ia belum keluar kelas. Mau ngecas sebentar di kelas tadi, tapi ia takut karena semua temannya sudah mangkat dari sana.
Huftt! Sudah menjadi langganan, ponselnya mati ketika pulang sekolah. Ini gegara ponselnya yang memang udah low bat-an ditambah ia malas jika membawa power bank. Kalau dalam keadaan begini, ia jadi menyesal karena tidak pernah, eh jarang, menggunakan alat tersebut.
"Ditunggu ajalah!" ujar Zee-zee terdengar pasrah.
Sasha hanya mengangguk saja sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya.
"Minggir! Minggir! Minggir!"
Seorang perempuan berjalan menerobos kerumunan, menyikut orang-orang yang tidak memberinya jalan ke tengah-tengah halte. Tubuh yang setengah basah itu akhirnya sampai di tengah halte, di tengah kerumunan peneduh lainnya. Menurunkan tas yang tadi digunakan sebagai payung dadakan, perempuan itu mengibas-ngibaskan tangan ke arah permukaan tas yang terdapat sedikit genangan air.
"Ihh!" ringisan tidak terima karena pundaknya tersenggol membuat cewek itu mendapat delikan tajam dari Aylin, cewek yang sedang mengibas-ngibaskan tangan. Gerakan tangannya yang bertenaga lebih ternyata mengenai orang lain. Wajar, sih, sebenarnya karena di sini pada desak-desakan.
Aura tidak enak seketika terasa, Aylin mendekati cewek yang tadi meringis. "Apa lo? Nggak terima?" tanya Aylin jumawa. Dagunya terdorong maju. Orang yang melihat itu, pasti langsung menerka jika dirinya merasa terusik. Itu adalah salah satu bentuk menantang.
Kesal sebenarnya. Namun, melihat Aylin-lah yang menyenggol dirinya, ia lebih merasa takut saat ini. Terlebih, cewek itu berkata sambil menarik ke atas lengan jaketnya.
"Nggak. Gue nggak papa, kok. Cuma kaget aja makanya ngomong gitu." Jawaban itu terlontar dengan nada bergetar. Terlihat sekali jika cewek itu benar-benar merasa takut.
"Oh." Aylin mengangguk singkat sebelum memilih duduk di kursi halte. Hanya dengan kibasan tangan, cewek yang tadi duduk di antara cewek lainnya memilih langsung berdiri. Lebih baik berdiri daripada mendapat masalah.
Aylin, cewek itu memang sangat menghindari main fisik, terutama dengan namanya perempuan. Juga memilih bungkam jika ada yang sengaja mengajaknya berdebat pasal hal yang tidak penting baginya. Namun, secara diam-diam, cewek itu akan mengerjai korbannya sampai sang korban datang ke kelasnya guna meminta maaf, ya, meskipun yang salah juga dirinya. Ingat, ia tak akan berbuat jika tidak dipancing terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kopi Sianida
Teen Fiction"Woi, kopi kesayangan gue mana?" Seruan itu membuat teman si pengucap langsung berlagak mencari apa yang dimaksud. "Kopi, mana, kopi?" Seru lainnya dengan muka menahan tawa. "Kopinya kan lagi jalan. Noh, orangnya!" Cewek yang asyik dengan minumann...