Mark Leeovi Artamaja
Jisooya Tritasana
_
_~ (Prolog) ~
Kata orang kebahagiaan itu tidak dapat dijelaskan dengan nalar.
Jisoo setuju, sebagian orang berpikir kebahagiaan itu sederhana, suatu perasaan yang dapat diukur oleh waktu, sebagian lagi menganggap kebahagiaan adalah sebuah anugrah. Dan Jisoo punya pendapat sendiri tentang kebahagiaan, ia adalah bentuk kebersyukuran yang besar terhadap tuhan.
Tetapi, Jisoo selalu bertanya-tanya bagaimana jadinya jika hidup hanya berisi tentang kebahagiaan, pasti hidup tidak akan sempurna. Sejatinya hidup yang sempurna adalah hidup yang lengkap dengan suka-dukanya, karena disetiap duka akan ada suka yang menyusuli.
"Hari ini, aku mau check up kandungan." Jisoo berbicara ditelepon.
"Di luar lagi hujan, nggak bisa nanti aja?"
Jisoo mengulurkan tangannya, membiarkan kulitnya dikecupi rinai. "Di sini cuma gerimis sedikit, Mark."
"Lagi di mana sekarang? Aku bentar lagi ke situ, mau anter kamu ke rumah sakit."
Jisoo tersenyum, dia menggeleng meski tahu suaminya tidak akan melihat.
"Nggak perlu, kamu kan baru aja berangkat kerja, aku sekarang lagi di halte, nunggu bus."
"...."
Cukup lama Jisoo tidak mendengar sahutan dari Mark, dia melihat sebentar ponselnya, dan panggilan itu masih tersambung.
"Mark?..."
"Eh, Iya. Sebentar Ji, nanti aku telepon lagi. Kamu hati-hati ya."
"Hmm." Jisoo menjawab dengan gumaman, tidak lama sambungan terputus.
Dasar, lagi sibuk juga so-soan pengen nganter.
Ini adalah trimester pertama masa kehamilannya, setahun menikah dan mereka akan dikaruniai seorang anak, bukankah itu sebuah kebahagiaan, maka Jisoo bersyukur karenanya.
Tidak sampai sepuluh menit, bus yang akan dia tumpangi sudah datang, Jisoo masuk ke dalam, kemudian duduk diseblah kiri dekat jendela, sejenak dia terlempar ke masa lalu, mengingat bagaimana dulu dia pernah menggunakan bus untuk pergi kesuatu tempat dengan Mark, entah kenapa bus punya caranya tersendiri untuk Jisoo mengingat moment itu.
Bus melaju, pagi baru saja dimulai, penumpang bus cukup ramai. Langit masih menangis bahkan tetesnya bertransformasi menjadi hujan lebat yang mengguyur kota tanpa ampun.
Dan, takdir. Kata orang engkau itu adalah keadaan yang tidak bisa dirubah, juga sudah ditentukan.
Selekas itu, semuanya terjadi begitu saja. Benturan keras bus dengan truk pengangkut kayu terdengar keras diantara hujan. Jerit tangis, teriakan seakan menulikan telinganya, tubuh-tubuh tergeletak tak berdaya, darah yang tumpah mengalir terbawa hujan.
Tapi, kenapa engkau begitu kejam pada kami?.
Dan kematian adalah rahasia tuhan sebagai pencipta kita semua. Apa yang kita jalani di dunia ini sudah digariskan oleh Tuhan kepada kita. Tinggal bagaimana kita menyikapinya, dalam menerima atau menolak takdir tersebut.
^Happy Reading^
KAMU SEDANG MEMBACA
A Perfect Husband [END]
Fanfiction[17+] Kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga tidak semata-mata ditentukan oleh ada atau tidaknya keturunan. Begitu yang Mark pikirkan, tak masalah jika memang rumahnya akan sepi tanpa tangisan seorang bayi, baginya bisa hidup berdua dengan Jisoo...