Setelah pergi dari rumah keluarga Mark, Jisoo berniat pulang ke rumah Mamanya yang berlokasi di Komplek Runjani. Jisoo juga sudah mengirimkan pesan pada Mark untuk jangan mencarinya, dia bilang dia ingin menenangkan diri, dan semoga saja Mark mengerti.
Malam semakin larut, kakinya melangkah di jalanan komplek yang sepi. Tatapan matanya hampir tidak ada titik fokus, hanya melamun di sepanjang perjalanan. Hingga tidak terasa dia sampai di depan rumahnya, tapi ada ketakutan untuk melangkah masuk, seakan kakinya dirantai dan tidak dapat berjalan.
Ini terlalu sakit untuknya ya tuhan. Tolong katakan apa salah Jisoo di masa lalu hingga sang pencipta marah padanya, Jisoo tidak bisa hidup seperti ini. Terlalu berat, terlalu sulit untuknya. Apa yang perlu dispesialkan dari seorang wanita yang tidak bisa melahirkan seorang anak? Belum lagi mertua yang ingin memisahkannya dengan suaminya. Rasanya Jisoo ingin mati saat ini juga.
Akhirnya dengan segala keberanian yang ada, Jisoo masuk ke dalam. Mama tentu terkejut ketika anaknya berkunjung malam-malam. Tapi beliau mengerti dan tidak banyak bertanya.
"Papa ke mana, Ma?" Jisoo bertanya karena tidak melihat Papa.
"Belum pulang, atau mungkin nggak bakal pulang."
Ya. Papa sedang tidak ada di rumah, mungkin menginap di rumah sakit tempat bekerjanya, Jisoo mengangguk mengerti, setelah itu Mama langsung menyuruh Jisoo beristirahat di kamarnya.
Paginya, ketika matahari baru mengintip keluar. Jisoo terbangun dan merasakan tarikan napas teratur di atas kepalanya, tersadar bahwa ada tangan yang melingkar di pinggangnya, dia mendongak hanya untuk melihat wajah suaminya.
"Ka——kamu...."
Perlahan mata Mark terbuka, lelaki itu tersenyum, menyapa Jisoo dengan satu kecupan dibibirnya.
"Pagi, sayang."
"Kamu tau dari mana aku ada di rumah Mama?"
"Emang kamu punya tempat tujuan lain selain rumah Mama?"
Jisoo terpojok, mengembungkan kedua pipinya serupa ikan mas koki membuat Mark gemas sendiri dan berakhir menghujamnya dengan ciuman.
"Kamu nggak kerja?"
"Aku kan ngambil cuti dua hari, biar sama kayak kamu." Mark merapatkan tubuhnya dengan Jisoo, berusaha mencari kehangatan di pagi hari yang berembun hingga tak ada lagi jarak diantara keduanya.
Pagi hari yang menyenangkan. Seharusnya, kalau saja Jisoo lupa dengan apa yang didengarnya kemarin.
"Mark..."
"Hmm?"
"Ayo kita pisah."
"Ayo, satu detik aja ya pisahnya, soalnya aku nggak bisa jauh-jauh dari kamu."
"Aku serius, ayo kita bercerai."
Mark spontan menatap wajah Jisoo berusaha mencari pancaran kebohongan dari kedua mata istrinya. Namun yang dia temukan adalah mata yang mulai berair, tanda kalau ucapannya bukan hanya sekedar jokes di pagi hari.
Apa karena ini semalam Jisoo menangis dalam tidurnya?
Sekedar info, Mark datang ke rumah Mama jam satu dini hari, jangan ditanya kenapa dia datang selarut itu, selain karena khawatir, Mark juga tidak bisa tidur kalau disampingnya tidak ada orang sama sekali. Mungkin karena sudah terbiasa tidur berdua bersama Jisoo.
Lampu kamarnya dimatikan, pencahayaan kamarnya hanya mengandalkan sinar bulan yang menerobos lewat jendela, sepertinya Jisoo lupa menutup gorden jendelanya. Meski gelap, Mark bisa melihat bagaimana wajah itu berekspresi dalam tidur, kemudian air mata turun dari pelupuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Perfect Husband [END]
Fanfiction[17+] Kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga tidak semata-mata ditentukan oleh ada atau tidaknya keturunan. Begitu yang Mark pikirkan, tak masalah jika memang rumahnya akan sepi tanpa tangisan seorang bayi, baginya bisa hidup berdua dengan Jisoo...