"Mau kemana, Ji?"
Kala itu Jisoo baru keluar pintu apartemennya berbarengan dengan pintu tetangganya yang terbuka menampilkan sosok Jennie yang hanya menggunakan tanktop dan celana pendek berbahan tipis, Jisoo bisa menebak dengan mudah kalau Jennie baru bangun tidur.
Semalam Jennie mengangkat telepon Jisoo, katanya dia tidak apa-apa, dia akan pulang ke apartemennya, Jennie juga bilang untuk jangan mengkhawatirkannya lagi.
"Ke rumah sakit." Jawabnya.
Jennie hanya ber'oh'ria, kemudian Jisoo menekan tombol lift. Jennie berdiri di sampingnya membuat Jisoo mengerutkan kening.
"Kamu mau ke mana?"
"Beli nasi uduk di depan."
"Dengan pakaian begitu?"
Jennie menunduk mengamati penampilannya, lantas menatap Jisoo kembali. "Ngapa emang?"
"Nggak apa-apa. Tapi paling kamu bakal digoda sama bapak-bapak pos ronda di depan."
"Nggak bakal, bapak-bapaknya malah pada bubar liat muka dia yang kayak preman." Suara lain ikut nyeletuk, kedua perempuan itu memutar badan seiring pintu lift terbuka.
Lelaki yang berceletuk tadi mengambil jalan tengah, langsung masuk ke dalam lift yang kosong, sejenak memperhatikan kedua perempuan itu dengan tatapan aneh.
"Nggak mau masuk?" Tanyanya, tangannya sudah siap menekan tombol.
"Kamu mau ke mana?" Jisoo malah bertanya.
"Mau nganter istri ke rumah sakit."
"Tadi katanya nggak mau nganter."
Mark tersenyum. "Bercanda. Aku kira kamu nggak seserius itu bilang mau ke rumah sakit."
Jennie hanya menatap bergantian sepasang suami-istri di depannya ini. Tiba-tiba ada yang menyelusup masuk ke dalam lubuk hatinya. Iri? Bukan. Bukan rasa iri melainkan rasa bersalah yang belakangan ini menghantuinya kembali timbul.
"Lo nggak mau masuk?"
Keterdiaman Jennie terpecahkan oleh suara Mark, sedikit tersentak sebelum akhirnya dia menggeleng cepat. "Ng--nggak. Dompet gue ketinggalan. Duluan aja."
Akhirnya pintu lift itu tertutup meninggalkan Jennie yang masih mematung di depan pintu. Bingung mau melakukan apa, rasa laparnya juga telah hilang. Jadi yang dia lakukan adalah berdiam diri saja, tak sadar helaan napas gusarnya terdengar.
"Nggak apa-apa, semuanya bakal baik-baik aja." Katanya sambil mengelus perut ratanya.
***
Hari ini, Jisoo libur bekerja, Mark juga sengaja cuti bekerja selama dua hari, tadinya mau mengajak Jisoo ke rumah Mama, beliau bilang sedang tidak enak badan jadi Mark ingin menjenguk Mama, rasanya sudah lama juga Mark tidak bertemu Mama.
Matahari telah naik lebih tinggi di atas kepala, sekitar pukul 11.30 Jisoo keluar dari ruangan dokter, langkahnya terburu-buru, wajahnya pun memerah layaknya seseorang yang tengah menahan emosi, Mark menyusul dari belakang, beberapa kali menggapai tangan istrinya, tapi selalu di tepis, hingga mereka sampai di parkiran. Jisoo berjongkok, membenamkan wajahnya di kedua tangannya, lalu berteriak sekencangnya disusul dengan isak tangis setelahnya.
Mark sudah menduga apa yang selanjutnya terjadi. Seperti yang sudah dia ketahui, Jisoo tidak akan pernah sanggup mendengar kebenarannya sampai kapanpun. Membeberkan semuanya ke Jisoo hanya akan membuat perempuan itu semakin jatuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Perfect Husband [END]
Fiksi Penggemar[17+] Kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga tidak semata-mata ditentukan oleh ada atau tidaknya keturunan. Begitu yang Mark pikirkan, tak masalah jika memang rumahnya akan sepi tanpa tangisan seorang bayi, baginya bisa hidup berdua dengan Jisoo...