1.[Tespack]

2.3K 230 46
                                    

"Hasilnya gimana?"

Ada denyut nyeri di dadanya. Entah berasal dari mana. Jisoo masih menatap benda itu dengan mata berkabut akibat air mata ketika Mark berdiri di ambang pintu kamar mandi, dan menanyakan tentang hasil yang akan benda itu tunjukan.

Ya, walaupun Mark sudah tahu hasilnya akan tetap sama seperti bulan-bulan kemarin.

"Nggak tau, aku rasa tespacknya rusak."

Mark berjalan mendekati istrinya diiringi tarikan napas panjang, kemudian lelaki itu berlutut dihadapan Jisoo yang duduk di atas kloset, menggenggam kedua tangan ringkihnya dengan erat.

"Kita bisa coba lagi nanti, sekarang mungkin tuhan masih belum bisa mempercayai kita buat menjaga anugerahnya." Mark tersenyum tipis, menghapus jejak air mata istrinya dengan ibu jari. "Kita bisa mencobanya lagi, berdoa dan terus berusaha, keinginan kita perlahan pasti akan terwujud, nggak ada yang nggak mungkin kalau tuhan sudah berkehendak."

"Tapi ini udah dua tahun sejak terakhir aku mengandung, sebelum tuhan mengambilnya kembali, dan bahkan aku nggak diberi kesempatan untuk menggendong anakku sendiri." Jisoo terisak lagi, kali ini lebih kencang.

Mendengar tangisannya membuat Mark semakin diselimuti rasa bersalah. Benaknya kembali mengingat kecelakaan yang menimpa Jisoo dua tahun silam.

Waktu itu dia sedang ada meeting bersama kliennya disebuah Restoran, dan kebetulan di Restoran itu ada sebuah televisi yang sedang menayangkan sinetron pagi, namun tiba-tiba acara televisi diganti menjadi berita eklusif, di mana sebuah bus dan truk pengangkut kayu saling bertabrakan, menciptakan kebulan asap beradu dengan hujan, pecahan beling berserakan, darah bergelimangan terbawa aliran air. Mark merasa dunianya berhenti ketika kamera menyoroti para korban, dan Jisoo ada diantaranya, bajunya basah, juga bersimbah darah. Lantas dengan gerak impulsif Mark berlari melupakan meeting pentingnya yang begitu berpengaruh besar pada perusahaannya. Namun bagi seorang Mark Leeovi, Jisoo lebih penting dari segalanya.

"Aku tau, jangan terlalu buru-buru, Ji. Lagi pula kita masih muda, kita bisa menjalaninya perlahan."

"Pernikahan kita udah tiga tahun, emangnya kamu nggak mau punya anak? Kamu nggak mau jadi ayah?" Jisoo membalas cepat.

"Nggak gitu." Mark menatap lembut mata Jisoo yang basah. "Kalau kamu nanya aku mau apa nggak, jelas aku mau. Nggak ada laki-laki yang nggak mau jadi ayah, Jisoo. Tapi kalau misalnya itu nggak memungkinkan buat aku menjadi ayah, aku bisa apa? Aku cuma bisa menerima apa yang sudah tuhan kehendaki."

"Salahnya itu ada di aku kan, Mark? Aku nggak bisa hamil lagi."

"No, ini salah aku. Aku yang lalai sebagai suami kamu." Mark beranjak dari posisi berlututnya. Tak lupa dia memberikan satu kecupan di bibir gadis itu. "Nanti siang Mama sama Maria akan kemari, hari ini kamu libur kerja kan?"

"Dua hari liburnya. Hari ini dan besok." Jisoo berdiri, berjalan ke wastafel, menyalakan keran, lalu mencuci tangan dan membasuh wajahya. "Mama kamu udah tahu apartemen baru kita?"

"Udah aku kirim alamatnya."

"Yaudah."

Mereka memang baru pindah apartemen, Mark tidak tahu kenapa Jisoo meminta pindah, waktu ditanyapun dia bilang "Bosen, pengen cari suasana baru." Jadilah, dua hari yang lalu Mark sibuk mengurus kepindahan, barang-barangnya masih terbungkus kardus dan belum sempat dirapikan, Karena hari ini pun dia mesti datang ke kantor, dan tidak punya waktu untuk membereskan apartemen.

Mark mengambil handuk yang tergantel di dekatnya, kemudian menyusul mendekati wastafel, menarik bahu Jisoo untuk berhadapan dengannya, lantas tanganya bergerak mengeringkan wajah gadis itu.

A Perfect Husband [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang