Goede Morgen
★"Tabik, Nona! Mobilnya sudah siap."
Aku menoleh ke arah suara pria itu dan tersenyum.
"Sebentar, Kardi. Aku akan memanggil Papa," ucapku dan tak lama Kardi mengangguk dan pamit.
Aku beranjak dari ruang keluarga dan segera melangkah menuju kamar Papa yang terletak terpisah dari ruangan lainnya dengan pintu ganda berukiran bunga yang rumit nan indah.
Kuketuk beberapa kali sebelum aku membukanya tanpa seizinnya akibat tak ada sahutan dari dalam. Saat itu pula aku menemukan kamar tidur itu kosong, hanya ada perabot dan sebuah meja di dalamnya. Sunyi.
Lalu aku pergi mencari ke tempat lain seperti kamar mandi dan taman belakang, hingga akhirnya kecemasanku sedikit berkurang ketika sosok Papa akhirnya kutemukan tengah berdiri memandangi sebuah lukisan besar di dinding. Dekat dengan tempat dimana buku-buku milik Papa terpajang rapi dalam rak.
"Papa, mari kita pergi sekarang?" ucapku sambil berjalan perlahan menghampirinya.
"Ya, tentu."
"Kau merindukannya?" Papa berbalik dan menatapku datar, dia mengusap wajahnya dengan kasar.
"Ya, sudah lama sekali, bukan?"
Aku tersenyum getir, perlahan perasaan sedih itu kembali hadir setelah sekian lama. Semenjak kejadian pilu itu menimpa keluargaku.
"Mama pastilah sudah bahagia, lebih baik kita pergi sekarang. Kita bisa mendoakan Mama disana, lagipula Kadir sudah menyiapkan mobil sedari tadi." Papa tersenyum simpul dan menuruti perkataanku.
Aku menggapit tangannya dan berjalan ke luar. Aku melihat Kardi yang menunggu di samping mobil dan dengan sigap membukakan pintu ketika Papa hendak masuk dan duduk di kursi belakang.
Sementara aku berputar ke sisi lain mobil untuk duduk di samping Papa. Kardi pun memulai tugasnya sebagai sopir.
"Papa, ik kan niet wachten om het te zien (Papa, aku tak sabar untuk melihatnya)."
Papa menoleh padaku dengan mengerutkan dahinya. "Je bent als een kind (Kau seperti anak kecil saja!)."
"Tidak!" Elakku, berpura-pura merengut kesal, layaknya anak kecil yang merajuk. "Ini pertama kalinya kita akan pergi ke gereja bersama. Salahkah jika aku bersemangat?"
"Tentu tidak, aku pun bahagia. Tinggal di Hindia tanpa sanak saudara terasa sangat menyedihkan, Corrie."
"Andai saja aku datang kemari lebih awal, Papa. Ikut serta denganmu, mungkin lain ceritanya." Aku memeluk lengan Papa dan menyandarkan kepalaku disana.
"Tentu aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Pendidikanmu di Nederland lebih penting daripada kau harus menemaniku pergi ke tanah jajahan."
Papa mengeluarkan sebuah buku kecil dari sakunya, aku yang merasa sedikit penasaran mencoba untuk bertanya, "Apa itu?"
"Bukan apa-apa, hanya buku catatan untuk membantu orang tua ini meminimalisir lupa." Aku melihat Papa menuliskan sesuatu di atas kertas kosong itu. Aku sendiri tak dapat melihatnya dengan jelas, karena terhalang oleh telapak tangan Papa yang seakan sengaja menutup-nutupi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepucuk Surat Dari Noordwijk
Fiksi SejarahCorrie van Zaandam, berhasil berlabuh di Hindia Belanda. Negeri asing yang dia ketahui hanya dari surat kabar, Film dan cerita orang. Sudah waktunya Corrie menyusul sang Ayah yang lebih dulu berlabuh ke Hindia empat tahun sebelumnya akibat pekerjaa...