BAB 1 Keluarga Alam Ishak

121 18 39
                                    


Alunan musik piano yang dimainkan Alam menambah kedamaian bagi Agnes untuk menyelesaikan soal logaritma yang cukup sulit. Ia menggerakkan pena dengan begitu cepat di selembar kertas untuk mencari jawaban dari setiap soal yang ada. Matanya tetap terfokus pada bilangan-bilangan yang membuat mengantuk bagi mereka yang tidak menyukainya. Dua bersaudara ini memiliki kepribadian yang jauh berbeda. Alam lebih tidak peduli di bidang pelajaran yang membuat pikirannya menjadi tidak karuan.

"Coba kamu lihat adikmu ini, menggunakan waktu sebaik mungkin untuk belajar. Lah kamu malah asik dengan piano itu," sindir Sundari Ibu dari kakak beradik itu dengan membawakan teh hangat lengkap dengan pisang goreng.

Alam menatap tidak suka karena dirinya harus terus-terusan dibandingkan dengan adik perempuannya. Tidak ada satu kata yang terucap dari bibir lelaki itu.

"Sudahlah, Bu, lagian Mas Alam kan punya bakat di musik, jadi jangan disindir kaya gitu." bela Agnes terhadap kakak lelakinya itu.

"Bukan Ibu ingin membanding-bandingkan kalian, hanya saja Ibu ingin kalau Masmu mencontoh giat belajarmu itu," ucap Ibu dengan tangan menarik kursi untuk ia duduki.

Alam bangkit dari meja pianonya, ia berdeham lalu melangkah menghampiri Ibu dan juga adiknya yang tengah duduk di sofa ruang keluarga. Tidak ada basa basi, lelaki itu langsung menyomot pisang goreng yang ada di hadapannya, dengan segera ia menghabiskan satu potong pisang goreng dan tidak ketinggalan menyeruput teh hangat itu.

"Bukan bakat Alam di bidang pelajaran, Bu! Aku nggak remedial saat ujian aja udah seneng banget, kok," sahut Alam dengan tengan menyapu bibir yang sedikit berminyak dan basah.

Agnes tertawa kecil mendengar perkataan kakaknya barusan. Ibu hanya bisa menghela nafas pasrah dan mengatakan,"Ya, biar jadi bakat harusnya kamu latih seperti adik kamu ini."

Lelaki itu hanya mengembangkan senyum terpaksa dan menjatuhkan tubuhnya di samping Agnes. Ia mengambil buku matematika adiknya dan menunjukkan pada ibu sambil berkata,"Lagian ya, Bu, soal-soal kaya gini sudah Alam lalui semua."

"Terus, kalau nilaimu kecil untuk apa?" tanya Ibu.

"Sudahlah, Bu, sampai kapan pun aku ndak akan sama seperti gadis kesayangan Ibu." jawab Alam.

Ibu hanya bisa menggelangkan kepala dengan mengusap dadanya. Mendengar jawaban Alam yang terus melakukan pembelaan terhadap dirinya sendiri. Mau bagaimana lagi bakat sesorang itu berbeda-beda. Anak kembar pun pasti memiliki kepribadian yang berbeda. Terlihat Ibu sedang menguap dan menggerakkan tanggannya untuk menutupi mulut yang tengah terbuka. Kemudian meregangkan kedua tangannya ke atas.

"Haduh," keluh ibu sambil bangkit dari sofa,"Ya udah, Ibu mau ke kamar dulu udah ngantuk. Kalian jangan tidur larut malam, loh, ya!" perintah Ibu.

"Siap, Bu!" sahut mereka kompak.

Angin bergemuruh menggerak kan awan hitam yang kemudian menjatuhkan tetesan air. Tidak ketinggalan kilatan cahaya hadir sebagai salam pembuka sebelum petir menggelegar. hujan turun begitu deras membasahi kawasan Bantul, Yogyakarta. Jam masih terus berputar dan sedang berlabuh di pukul 21.00 WIB.

"Belajar yang rajin, dek supaya keinginan almarhum Ayah agar kamu menjadi Dokter terwujud!" nasihat Alam dengan mengelus-elus kepala adiknya.

Agnes mengganggukkan kepala sebagai isyarat meng-iyakan perintah kakaknya."Mas juga, harus jadi seniman musik kebanggan keluarga."

"Kayaknya nggak mungkin, Nes. Kamu tahu sendiri Ibu cuma pengin Mas itu jadi pegawai kantoran, memakai dasi dan juga mengenakan jas." ujar Alam.

"Ndak seharusnya Ibu banding-bandingin kita, Mas."

You Will DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang