Hujan

403 25 0
                                    


Baru ku sadari, menunggu bisa seasyik ini

***

Langit terlihat begitu gelap. Bel sekolah telah berbunyi 10 menit yang lalu. Namun, Clara masih betah duduk di depan kelas 12 IPS menunggu Gara keluar.

"Betah banget tuh guru ngajar, iyalah orang yang diajar ganteng," batin Clara kesal.

"Clara? Ngapain disini?" tanya Bintang lalu duduk disamping Clara. Pemuda itu baru saja dari ruang osis yang terletak dekat kelas 12 IPS.

"Nunggu pangeran, Kak" jawab Clara tersenyum manis.

"Enak ya jadi Gara, ditungguin Bidadari terus," goda Bintang. Melihat pipi chubby Clara memanglah hal yang menyenangkan.

"Ya kan, Bidadari pasangannya pangeran."

Bintang terkekeh mendengar itu. Ia mencubit pipi Clara gemas.

"Balik!" Suara bariton yang begitu datar membuat Clara dan Bintang menoleh. Dilihatnya Gara yang begitu kusut. Tas disampirkan di salah satu sisi pundaknya, baju dikeluarkan, dan juga rambut acak-acakan.

Clara langsung berdiri. Mengelendoti lengan Gara manja. "Kak Gara capek banget, ya?" tanya nya merapikan rambut Gara.

Lelaki itu hanya berdehem. Tak menolak perlakuan manis Clara.

"Duluan Kak Bintang," pamit Clara menoleh ke belakang.

Gara memutar kepala Clara agar melihat ke depan. "Jalan itu liat depan! Kejedot mampus!"

Clara mempoutkan bibirnya. Kesal dengan sikap Gara. Belum lagi tatapan menilai dari siswa lain memperburuk mood nya.

"Apa lu liatin gue gitu? Iri?! Cantik dulu makanya!" bentak Clara.

Gara menggeleng melihat itu. Sisi Barbar Clara keluar. "Buruan! Nggak lihat tuh mendung."

Clara melirik sinis Gara. "Lu juga yang bikin lama!"

***

Sudah menjadi kewajiban Clara memeluk erat perut Gara ketika dibonceng. Pemuda itu juga tak lagi keberatan. Tak bisa menampik bahwa dirinya merasa nyaman.

Saat ini, mereka berteduh di halte. Hujan begitu deras membuat mereka harus menunggu reda. Clara mengusap wajahnya yang terkena cipratan air.

"Make up gue luntur kan, Kak Gara sih, lama," gerutu Clara.

Gara melirik Clara. Gadis itu sebenarnya lebih cantik tanpa make up.

"Nggak ada yang nyuruh lu nunggu," jawab Gara acuh.

Clara mendengus sebal. Jantungnya berdebar mengetahui Gara tengah menatapnya intens.

"Kak Gara jangan lirik-lirik! Gue lagi jelek. Cantik aja gue susah dapetin, apalagi jelek, ntar Kak Gara ilfeel lagi."

Gara tersenyum tipis  mendengar itu. Mereka duduk di halte. Gara mengusap tangannya mencari kehangatan. Rasa dingin begitu menusuk kulitnya.

"Dingin?" tanya Gara menyadari bibir Clara membiru. Ia menyodorkan jaket yang ia pakai.

Clara menolak. "Kak Gara pake aja jaketnya, terus peluk gue biar anget."

Pemuda itu menggeleng. Clara memanglah gadis yang begitu absurd. Baru saja gadis itu kedinginan. Sekarang justru ia bermain  air hujan. Sesekali tertawa lepas ketika cipratan air mengenai wajahnya. Clara merintih perih, ketika air masuk matanya.

"Bocah!" sarkas Gara lalu meraih wajah Clara. Membersihkan air di kelopak matanya lalu meniupnya lembut.

Jantung Clara berdegub cepat, menyadari posisi mereka yang terlihat intim. Jujur, Gara menyukai mata bulat itu. Cukup lama mereka bertatapan sebeum suara petir memyambar begitu keras.

Dor

Reflek, Clara memeluk Gara erat. Menyembunyikan wajahnya di dada bidang Gara. Gara pun terkejut, namun ia membalas pelukan Clara.

"Mau pulang," rengek Clara dengan suara bergetar. Gadis pecicilan itu ternyata takut petir?

"Nunggu hujan reda?

Clara menggeleng. Memeluk  semakin erat. "Nggak mau, mau pualng."

Gara menghembuskan napas panjang, masih mencoba menenangkan ketakutan Clara.

***
Si eneng modus ya, Bang Gara?

AutographTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang