Vote dulu hyunk. Warning, bab ini mengandung ads sense. Ahihi
.
.
.
.
.
Jaki masih saja bungkam perihal masalahnya dan membuat Cista pusing. Selain itu, Jamyla juga sedang uring-uringan juga. Sepanjang hari, Jaki hanya mengurung dirinya di kamar. Bahkan, makanan yang dibawakan Cista dari pagi pun tak disentuhnya sama sekali. Itu menandakan kalau keadaannya tidak baik-baik saja."Jak, ini udah masuk waktu makan siang kok sarapan aja gak dimakan?"
"Nanti Jaki makan kok, Mak. Masih ngumpulin niat."
Cista hanya menggeleng mendengar jawaban Jaki. Meski sarapannya tak dimakan, Cista masih mengantarkan makan siang untuk putra bungsunya.
Kalau dipikir-pikir, tak ada untungnya juga Jaki seperti ini. Meski galau, tapi perut dia tak bisa kompromi juga. Belum makan sejak pagi membuat tubuhnya lemas. Rasa galaunya mendadak hilang saat melihat dua porsi makanan di atas nakasnya.
Selain diajarkan untuk tidak membuang-buang makanan, cacing di perut Jaki juga sepertinya dua kali lebih ganas dari biasanya. Buktinya, ia sanggup menghabiskan dua porsi makanan itu dengan sangat cepat.
Setelah makan, ia merasa lebih baik. Namun, badannya terasa tidak nyaman karena ia belum beranjak dari kasur kesayangannya sejak pagi dan tentu saja ia belum mandi.
Dengan kondisi acak-acakan, Jaki berjalan gontai menuju dapur untuk menaruh piring kotornya. Ia tidak sakit, tapi sejak dua hari lalu, ia tak keluar kamar dan selalu di antarkan makanan oleh Cista.
"Mak," panggilnya.
Cista yang tengah mencuci piring menoleh ke arah Jaki. Ia miris juga melihat putra bungsunya yang terlihat berantakan.
"Eh, anak baik. Dimakan, kan gak dibuang?"
"Nggak, Mak. Masa Jaki buang-buang makanan? Dosa tau."
Senyum kecil tercetak di bibir Cista. Ia mengusak rambut Jaki gemas.
"Biar Jaki bantu keringin piringnya, Mak."
"Eh, gak usah, Jak. Mending kamu mandi aja," tolak Cista.
Jaki menurut saja dan kembali ke kamarnya. Apa untungnya ia menangis tak jelas? Toh, yang ditangisinya pun tidak peduli sama sekali.
Ia melirik ponselnya yang tergeletak mengenaskan di samping tempat tidurnya. Ponselnya sudah kehabisan daya sejak kemarin karena ia enggan mengisi daya. Namun, saat ini ia berniat mengaktifkan kembali ponselnya. Walau bagaimanapun, ia sayang ponselnya. Bagaimana tidak? Itu adalah android merk ternama dengan series terbaru yang ia dapatkan karena berhasil membujuk rayu bapaknya yang terkenal sangat sayang uang.
"Gak boleh buka instekgeram pokoknya gak boleh!" Jaki komat-kamit di depan ponselnya yang sedang dihidupkan.
Beberapa pesan masuk ke ponselnya termasuk pesan dari Basuki. Sahabat karibnya itu kembali mengirimkan pesan.
Bas aja udah : Jak, ketemunya di taman belakang kampus aja ya. Sampai bertemu besok!
"Apaan sih gak jelas banget Bas!" Jaki mengunci ponselnya. "Mau block kontak Bas tapi gak tega. Mending ganti nama lagi apa gimana, ya?" pikirnya yang kembali membuka ponsel yang sudah ia letakkan ke atas nakas.
Jaki dan Bas punya kebiasaan unik yakni mengganti nama di kontak masing-masing sesuai dengan keadaan mereka. Jadi, jika kontak mereka agak tidak menyenangkan dibaca, artinya hubungan pertemanan mereka sedang dalam prahara. Meski begitu, tak ada yang separah sekarang. Mereka seakan sangat jauh. Entah, Jaki yang menjauh atau memang keadaan juga turut berperan menjauhkan mereka.
Seperti tak mau peduli dengan itu semua, Jaki memilih tidur karena besok sudah kembali kuliah. Cukup dua hari ia begadang dan sekarang saatnya membayar tidur yang ia sia-siakan itu. Kalau bisa, ia ingin bangun besok pagi saja. Ya, kalau Cista tidak mengamuk dan menggebrak pintu kamarnya sampai roboh.
****
Dengan perasaan yang biasa saja, Jaki berjalan menuju kelasnya. Ah tidak biasa saja juga, ia agak mengantuk karena niat hibernasinya gagal total karena Anyu menerornya dengan tugas. Gara-gara galau tidak jelas, ia lupa kalau ada tugas yang harus dikumpulkan senin ini.
"Semalam begadang dong, Jak?"
Belum juga Jaki duduk, Anyu sudah melontarkan pertanyaan yang cukup menyebalkan.
"Kenapa lo gak ngabarin dari sabtu sih?" tanya Jaki sewot.
"Ngaca, hyung! Emang HP lo aktif? Nggak kan?"
Mendengar perkataan Anyu yang tak kalah sengit, Jaki hanya membalasnya dengan cengiran polos. Sok polos lebih tepatnya.
"Bagus udah ngerjain tugas?" Anyu beralih pada Bagus yang tak banyak bicara sejak tadi.
"Nggak. Karena lo ngerusuh kemarin, gue pikir lo udah. Jadi Bagus tinggal nyontek."
Rasanya, Anyu ingin menempeleng wajah si sipit ini. Bisa-bisanya berpikir demikian.
"Hah? Kamu siapa? Kamu siapa?" dendang Anyu sambil menirukan gaya penyanyi berambut panjang sang empunya lagu.
"Anyu sehat?" tanya Bagus yang tak sadar kalau Anyu menyindirnya.
"Au ah! Capek gue!"
Setelah perselisihan itu, mereka kembali tenang dan menunggu dosen killer yang memberikan tugas tak manusiawi kepada mereka.
Namun, setelah setengah jam menunggu, sang dosen tak kunjung masuk dan berakhir dengan kabar kalau beliau sedang ada urusan mendadak.
Jaki membuang napas kasar. Ia benci waktu yang ia habiskan semalaman menjadi sia-sia. Bisa ia tebak kalau di pertemuan selanjutnya, tugas ini akan menguap begitu saja seperti air terkena panas.
Di tengah rasa kesalnya, ia membuka ponselnya yang bergetar menandakan pesan masuk.
Karena penasaran, Jaki memutuskan untuk pergi ke taman belakang seperti yang tertera pada pesan. Ia tetap berpikir positif. Tak mungkin ini Bas yang akan mencelakainya, kan?
Sesampainya di sana, ia dikejutkan dengan apa yang terjadi. Jaki masih tidak percaya dengan apa yang dialaminya. Kalau memang ini mimpi, ia tak ingin bangun cepat-cepat.
(Situasi lebih detail terdapat di novel Keluarga Bangsul. Sudah tersedia dalam bentuk ebook di google play book jika penasaran apa yang terjadi. Terima kasih)
****
"Lo kenapa, Jak? Kesurupan?" tanya Adul yang melihat adiknya masuk ke rumah dengan keadaan yang terlihat aneh.
Senyum manis tercetak di bibirnya. Gelagat aneh itu membuat Adul keheranan. Apa adiknya ini kesurupan? Apa ia perlu memanggil ustadz untuk merukiyah Jaki?
Karena penasaran, Adul mengikuti Jaki sampai ke depan pintu kamarnya. Namun, ia gagal kepo karena Jaki menutup pintu kamarnya cepat. Meski begitu, Adul yang penasaran menempelkan kupingnya pada daun pintu kamar Jaki. Setelah itu, ia bergidik ngeri karena Jaki ternyata sedang bernyanyi tak jelas dengan diselingi tawa-tawa juga.
Adul semakin khawatir kalau Jaki memang benar-benar kesurupan. Apa ia harus membicarakan ini pada Cista? Ah, memang sepertinya harus.
"Mak," panggilnya ragu.
"Apa, Dul?"
"Mak, Jaki aneh banget masa? Dari pulang kuliah senyum-senyum gak jelas. Terus tadi Adul denger dia nyanyi sambil ketawa gitu. Adul jadi takut."
"Adikmu itu lagi kasmaran kali, Dul. Soalnya kan beberapa hari lalu dia galau banget. Udah biarin aja. Kayak kamu gak gitu aja."
Adul menggaruk tengkuknya yang tidak gatal mengingat ia juga pernah seperti itu.
Heyheyhey... Gimana bab ini?
#SalamKetjupBasyah 😘💦
#authorterjomlosedunia
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahasiswa Bangsul
HumorKalau kata bang Haji, darah muda darahnya para remaja. Kalau kata Mujaki, darah muda berarti gak tua. Yang bikin dia heran, kenapa darah muda warnanya bukan merah muda? Memang, pemikiran absurd tak pernah lepas dari bungsu keluarga Toro-Cista ini. B...