Vote dulu tukhon!
.
.
.
.
.
Senyum Jaki pagi ini mengalahkan sinar mentari yang mulai naik dengan teriknya. Bukan tanpa alasan, hari ini motor kesayangannya membonceng seseorang yang bukan Basuki untuk pertama kalinya. Siapa lagi kalau bukan pacarnya? Gadis yang berbeda empat semester dengannya."Jak, aku bilang gak usah jemput, kan? Nanti Bas berangkat sama siapa?"
"Dia juga kan ada motor sendiri. Lagian ya, si beruk -motor kenangannya- (yang entah dari mana ia mendapatkan nama itu) juga pengin bonceng cewek cantik. Masa Bas mulu? Capek deh."
Celetukan Jaki sontak mendapat tabokan mesra di punggungnya.
"Aneh-aneh aja. Besok gak usah, ya? Kita ketemu di kampus aja. Lagian aku kan udah bilang kalo aku berangkat bareng adekku."
Jaki sengaja belum turun dari motornya meski mesinnya sudah dimatikan. Ia juga sudah melepas helmnya.
"Adek kamu? Siapa? Kuliah di sini?"
Anggukan Pur membuat Jaki penasaran. Siapa adik pacarnya itu? Apakah laki-laki atau perempuan? Ah, apa mungkin adiknya itu masih seniornya juga?
"Penasaran banget yang mana adek kamu, yang."
"Dibilang gak usah yang-yang! Pundung nih!"
"Okay, Kak Pur. Adeknya yang mana?"
"Lah, aku pikir kamu udah tau? Kayaknya, kalian akrab banget deh."
Jaki sempat berpikir kalau Bagus adalah adiknya, tapi tidak mungkin. Tidak cocok jadi kakak-beradik. Apa mungkin Anyu? Tapi sahabatnya yang satu itu selalu serius mendengarkan ceritanya tanpa berkomentar apa-apa.
"Abimanyu itu adekku, pinter. Dia gak pernah bilang, ya?" kekeh Pur.
"Anjir sengaja banget si Anyu. Mana gue cerita mulu sama dia. Wah gila, gue tengsin banget! Pasti si Anyu kampret itu ngadu yang macem-macem! Makanya, dia gak ngasih tau gue!" Begitulah kira-kira gerutuan Jaki dalam hati.
"Malah bengong. Kenapa? Kaget ya?"
Jaki hanya diam karena sungguh, ini adalah perasaan malu paling besar dalam hidupnya. Mengalahkan rasa malunya karena pernah mengompol di sekolah sewaktu taman kanak-kanak.
"Ayo. Kamu ada kelas pagi, kan?"
Tepukan lembut di pundaknya membuat Jaki melangkah juga. Meski wajahnya masih memerah karena menahan malu, ia tetap berjalan di samping pacarnya. Masalah Jaki belum selesai sampai di sini, sepanjang jalan menuju kelasnya, ia terus mendapat tatapan dari orang-orang yang dilewatinya.
Ah, Jaki baru ingat kalau hari ini Pur kelas siang, tapi ia malah memaksa menjemputnya. Lagi-lagi.
"Kak, bukannya Kakak hari ini kelas siang? Kok tadi Jaki jemput gak nolak?"
"Kamunya udah depan rumah. Mana tega?"
Jaki semakin merasa bersalah. Ia hampir saja memilih bolos dan menemani pacarnya sampai kelasnya dimulai. Namun, Pur menolak mentah-mentah dan mengancam Jaki untuk tidak bicara dengannya selama empat puluh hari. Bisa gila dia hanya dengan memikirkannya.
Senyum yang terukir di bibirnya sejak pagi, kini luntur sudah. Wajahnya tampak kusut saat masuk ke kelas. Rasanya, ia sudah tidak semangat belajar hari ini. Padahal, tekadnya saat di rumah tadi adalah berangkat kuliah, belajar dengan semangat demi masa depan yang cerah. Sekarang? Boro-boro memikirkan masa depan, dua menit ke depan saja ia enggan memikirkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahasiswa Bangsul
HumorKalau kata bang Haji, darah muda darahnya para remaja. Kalau kata Mujaki, darah muda berarti gak tua. Yang bikin dia heran, kenapa darah muda warnanya bukan merah muda? Memang, pemikiran absurd tak pernah lepas dari bungsu keluarga Toro-Cista ini. B...